Jenazah Arya sudah langsung di makamkan sore tadi. Para tetangga yang datang untuk melayat pun juga sudah kembali ke rumahnya masing-masih. Rumah sudah terlihat lebih rapi. Sisa bunga untuk meronce pun sudah di bersihkan dan di tumpuk di luar rumah. Hanya terlihat tumpukan kain jarik bekas untuk memandikan jenazah Arya serta menutupi jenazah Arya sebelum di mandikan. Mungkin esok Surti yang akan mencucinya. Aku menatap pilu tumpukan kain yang sengaja di letakkan di dalam ember yang sudah di sediakan oleh pelayat yang membantu acara pemakaman Arya.
Suasana rumah begitu sepi. Tak ada suara canda dan tawa maupun keributan lagi yang sering di lakukan oleh Arya dan ibunya. Surti pun juga tak terlihat sejak kepulanganku dari makam tadi.
Aku menjatuhkan bobot tubuhku di sofa ruang tamu. Dimana dulu semua sofa ini hanyalah sebuah lincak yang sudah reot yang ku dapat dari pemberian tetangga yang sudah tidak terpakai lagi oleh mereka.
Mataku menyapu ruangan. Sungguh berbeda dengan suasana tadi pagi. Dimana Arya masih berlarian kesana kemari karena di minta mandi oleh Surti, ibunya. Namun sore ini keadaan berubah total. Tak terasa aku meneteskan air mata mengenang masa-masa itu yang tak akan pernah lagi ku rasakan.
Entah berapa lama aku terlelap. Rasa lelah dan kantuk yang menyergap membuatku tiba-tiba saja tertidur entah berapa lama. Kondisi rumah sudah tampak gelap. Bahkan satu pun lampu tak ada yang di nyalakan. Bergegas aku bangkit dan menekan tombol saklar tak jauh dari tempatku duduk.
“Bu.” Aku mencari keberadaan Surti, wanita yang sangat ku cintai itu. Hanya ada satu tempat yang ku tuju, kamar Arya. Perlahan ku tekan gagang pintu kamar putra semata wayangku itu. Rupanya Surti berada di sana. Dengan suara isak tangis yang terdengar tertahan. Surti masih meratapi kepergian Arya yang secara tiba-tiba.
Ku nyalakan lampu kamar Arya yang mungkin sengaja tak di nyalakan oleh Surti.
“Bu, sedang apa kamu gelap-gelapan disini?” tanyaku menghampiri Surti yang menangis terisak.
“Paaaakkk...” Surti menghambur ke pekukanku. Menangis sesenggukan hingga membuatku kebingungan. Aku hanya bisa menepuk punggungnya perlahan. Rasa bersalah sudah pasti ada. Mengingat semua kejadian ini aku yang menginginkannya. Namun aku tak bisa mengakuinya pada Surti. Apalagi semua ini ku cari untuk menyenangkan hidupnya.
“Sudah, Bu. Biarkan Arya beristirahat dengan tenang. Jangan di tangisi terus seperti ini.” Ucapku berusaha menenangkan hatinya.
“Pak, maafkan Ibu. Ibu tak bisa menjaga Arya.” Ucapnya di sela-sela isak tangisnya.
“Sssttt... Sudah, sudah. Jangan menyalahkan diri sendiri seperti ini. Semua sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Kita hanya bisa pasrah, dan ikhlas dalam menjalani.” Ucapku dengan nasehat yang ku buat sebijak mungkin.
Ikhlas? Aku sendiri pun tak bisa ikhlas dengan kondisi hidup yang serba pas-pasan, sehingga membuatku nekat melakukan hal-hal yang di larang oleh agama tentunya.
*
“Pak, sedang apa disini?” aku terlonjak kaget saat Surti tiba-tiba saja muncul dari belakang.
“Oohh, eeehh... Enggak, Bu. Ini, tadi Bapak dengar ada suara berisik di dalam. Bapak lihat, siapa tahu ada tikus.” Ucapku setelah dengan cepat menutup kembali pintu gudang dan menyimpan kuncinya ke dalam kantong celana. Jangan sampai Surti curiga dengan keberadaanku di dalam gudang tengah malam begini.
Wajah Surti mengernyit, namun tak banyak tanya. Ia hanya diam dan berlalu. Ku ikuti langkah kakinya, rupanya ia hanya ingin ke dapur. Surti menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya hingga tandas.
“Kok belum tidur, Bu?” tanyaku perlahan. Takut membuat Surti curiga.
“Tadi sudah tidur, tapi tiba-tiba Surti mimpi buruk.” Jawabnya. Ia langsung duduk di kursi meja makan dan meraih tanganku dengan cepat hingga membuatku kaget.
“Pak, Arya minta tolong sama Surti.” Ucapnya kemudian. Matanya memerah, terlihat kedua matanya berkaca-kaca.
“Mi-minta tolong kenapa?” tanyaku dengan wajah takut.
“Surti tidak tahu, Pak. Tapi yang pasti, anak kita kesakitan di sana. Surti melihat kedua tangan Arya di ikat dengan rantai, begitu juga dengan kakinya. Banyak sekali anak kecil di sana yang bernasib sama dengan Arya.” Ucapan Surti membuat tenggorokanku tercekat. Aku tak mampu memberikan jawaban atas cerita Surti.
“Pak.” Panggilnya.
“I-iya, Bu. Itu hanya bunga tidur. Jangan terlalu di pikirkan. Mungkin kamu masih belum ikhlas dengan kepergian Arya.” Ucapku terbata.
“Bagaimana kalau Arya mati di santet? Atau jadi tumbal?” kedua mataku membelalak mendengar penuturan Surti.
“Tu-tumbal?” tanyaku. Surti mengangguk. Sedangkan aku tak mampu berkata-kata.
“Pak, kamu sakit?” Surti meraba dahiku, namun ku tepis.
“Ayo istirahat. Kamu tampak pucat dan berkeringat.” Surti memapahku masuk ke dalam kamar.
Hari menjelang pagi, Surti masih terlelap dalam tidurnya setelah menangis semalaman meratapi mimpi buruknya. Mungkin itu pertanda yang di perlihatkan pada Surti tentang kondisi Arya disana. Hanya saja, aku tak bisa mengakui kalau semua itu salahku. Aku yang menumbalkan Arya dan menjadikannya budak di tempat bangsa jin tempatku meminta kekayaan.
Bergegas aku berjalan mengendap-endap keluar dari kamar, layaknya seorang pencuri yang takut ketahuan oleh sang pemilik rumah. Secepat kilat aku menyelinap masuk ke dalam gudang. Tak lupa juga aku menguncinya dari dalam untuk berjaga-jaga jika saja Surti tiba-tiba terbangun dan mencari keberadaanku.
Kedua bola mataku terbelalak melihat begitu banyak emas dan tumpukan uang berwarna merah di dalamnya. Aku meraupnya dan menciuminya dengan rasa yang sulit di gambarkan. Begitu banyak uang yang dulu selembar pun aku tak punya. Seketika aku melupakan rasa sedihku atas kehilangan Arya. Semua terganti begitu saja setelah melihat banyaknya harta yang ku dapat dari menukarkan nyawa Arya.
"Akan ku belikan sesuatu untuk Surti. Pasti dia akan senang sekali jika ku berikan sebuah kejutan." gumamku. Aku memasukkan banyak sekali lembaran uang berwarna merah itu ke dalam ransel yang sudah ku siapkan.
"Pak. Bapak." tiba-tiba saja Surti memanggil. Rupanya dia sudah bangun. Dengan cekatan aku menyimpan kembali gentong berisi harta itu ke tempat yang tertutup agar tak di ketahui oleh Surti. Serta menyembunyikan ransel yang ku gunakan untuk wadah uang yang belum ku masukan semuanya.
Terdengar langkah kaki melewati gudang. Rupanya Surti berjalan ke arah dapur. Ia tak lagi mencariku. Terdengar ia sedang mengiris sesuatu yang baru saja ia keluarkan dari dalam lemari es. Mungkin ia akan memasak untuk sarapan.
Perlahan aku membuka pintu gudang agar Surti tak mendengar. Ku lihat dia masih fokus dengan sesuatu di tangannya. Aku menghampirinya dan memeluknya dari belakang.
"Pak, dari mana tadi?" tanyanya. Rupanya ia sedang mengiris bawang.
"Bapak habis jalan-jalan sebentar tadi." jawabku berbohong.
"Yasudah, tunggu disitu. Biar Ibu masak dulu, ya." jawabnya masih dengan suara parau. Meskipun Surti sudah tampak biasa, namun wajahnya tak bisa berbohong. Masih ada kesedihan yang mendalam di dalam hatinya yang masih terpancar dari raut kedua matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
FiaNasa
hidup kaya raya tp didapat dg menjual nyawa anaknya
2024-01-24
1
FLA
makan tu harta hasil numbalin anak mu
2023-08-28
0
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
Surti belum tentu senang dgn hadiah2 itu, jangan kepedean 😒
2023-07-01
2