Hingga hari ke tujuh setelah kematian Arya, Surti masih mendiamkanku. Meskipun ia masih mau melayani semua keperluanku dari makan, minum, mencuci dan segala sesuatunya, namun ia selalu diam dan tampak enggan untuk mengobrol denganku. Bahkan Surti hanya akan menjawab pertanyaanku seperlunya saja. Semua itu membuatku frustasi. Bagaimana tidak, di diamkan oleh wanita yang sangat ku cintai membuat aku bingung setengah mati.
“Bu.” Aku menghampiri Surti yang sedang duduk di teras rumah. Kini ia sudah terlihat lebih baik. Surti sudah tak menangis lagi di dalam kamar Arya. Ia sepertinya sudah mulai ikhlas. Ia hanya masuk ke dalam kamar Arya untuk membersihkan dari debu dan kotoran, itu pun Cuma sebentar.
“Bu, lihat deh.” Aku menyerahkan sebuah kotak berwarna merah padanya. Ia meraihnya tanpa ekspresi. Meskipun Surti banyak diam, namun ia tak pernah marah-marah ataupun menolak saat ku ajak bicara.
“Buka, Bu. Jangan di pegang saja.” Pintaku dengan nada ku buat seperti sedang merajuk.
“Kalung? Dari mana ini, Pak?” tanyanya dengan kalimat sedikit lebih panjang dari jawaban yang beberapa hari ini biasa ia berikan padaku selain kata ya dan tidak.
“Bapak beli kemarin.” Jawabku tersenyum.
“Untuk Ibu?”
Aku mengangguk.
“Terima kasih, Pak.” Ucapnya sambil berlalu. Ku ikuti dia yang langsung masuk ke dalam rumah meninggalkanku seorang diri setelah membuka dan melihat isi kotak yang ku berikan padanya.
“Kok disimpan, Bu?” tanyaku saat melihat Surti memasukkan kalung yang baru saja ku berikan padanya ke dalam lemari.
“Lalu?” Tanyanya singkat.
“Di pakai dong, Bu. Cantik, loh.” Bujukku.
“Ibu sudah memakai kalung, Pak. Nih.” Ia menjulurkan kalung yang menjuntai di lehernya. Ukurannya kecil, jauh lebih kecil ketimbang kalung yang baru saja ku berikan. Modelnya saja sangat sederhana. Itu kalung pertama yang ku berikan padanya dulu setelah kami menikah. Aku membelinya dengan uang hasil menabung sedikit demi sedikit dari menjual rongsok setiap harinya.
“Itu kecil, Bu. Ganti yang itu saja. Lebih besar dan bagus.” Ucapku. Surti terdiam, kepalanya menunduk. Namun tak segera menuruti apa yang ku minta.
“Kenapa? Ibu tidak suka sama modelnya? Mau ganti dengan yang baru? Nanti kita beli lagi, kamu yang pilih sendiri mau seperti apa.” Bujukku karena bingung melihat Surti yang tiba-tiba saja terdiam.
“Bukan, Pak. Tapi Ibu lebih suka kalung ini. Ini mengingatkan Ibu pada perjuangan kita dulu, Pak. Di mana kamu harus menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil jual rongsok untuk sekedar memberikanku hadiah kalung ini.” Jawabnya membuatku trenyuh. Bagaimana tidak, dia wanita yang penuh rasa syukur dengan apa yang ku berikan. Lalu apa salahnya jika sekarang aku sudah bisa memberikannya lebih dari itu. Mengapa ia tidak berterima kasih dan menikmati saja semua jerih payah yang sudah ku upayakan untuk membahagiakannya.
Aku memilih untuk duduk sendirian di teras. Dengan secangkir kopi dan beberapa potong kue bolu yang sudah di siapkan oleh Surti, menemani malamku saat ini. Surti entah sedang apa. Sejak Maghrib tadi dia sudah tak terlihat.
“Biarlah, mungkin dia sedang ingin sendiri. Atau mungkin sedang sibuk di dapur.” Batinku.
“Pak.” tiba-tiba Surti datang.
“Apa, Bu?” aku menoleh pada sosok wanita yang sangat ku cintai itu. Tubuhnya terlihat kurus, mungkin karena terlalu memikirkan Arya akhir-akhir ini.
“Kunci gudang di mana, ya?” tanya istriku membuatku menelan saliva seketika.
“Aahh... U-untuk apa, Bu?” tanyaku. Keringat dingin mulai keluar membasahi dahi.
“Ibu mau memasukkan beberapa barang Arya ke gudang, Pak. Ibu kepikiran Arya terus jika semua mainan ini masih terlihat oleh Ibu.” Ucapnya sambil menunjuk ke tumpukan kardus yang sudah tersusun rapi di dekat lemari.
“Ehh... Besok saja, Bu. Bapak bantu kamu bersih-bersih.” Kilahku.
“Tidak usah, Pak. Mumpung Ihu lagi nggak ada kerjaan. Biar tempatnya lebih rapi juga.” Jawabnya membuatku berpikir keras. Jawaban apa yang akan ku berikan padanya kali ini.
“Eemmm... Kamu mandi saja, Bu. Badanmu kotor. Biar ini semua, Bapak yang bawa. Lagi pula ini berat.” Aku mencoba membujuk Surti agar tak masuk ke gudang. Sejenak ia tampak berpikir.
“Baiklah, Pak. Lagi pula Ibusudah gerah sekali. Makasih banyak, ya, Pak.” Segera ia menghilang dari hadapanku setelah ku lihat ia melilitkan handuk di lehernya. Secepat kilat ku pindahkan semua kardus-kardus yang di maksud oleh Surti ke dalam gudang. Sekalian aku memindahkan gentong yang ku pakai untuk pesugihan ke tempat yang tak mudah terlihat oleh Surti. Untuk berjaga-jaga saja, takutnya jika Surti curiga.
“Pak, sudah semua, ya?” Tanyanya saat aku baru saja menutup pintu gudang. Segera ku kunci lagi pintu gudang dan ku masukkan ke dalam kantong celana.
“Su-sudah, Bu.” Jawabku.
“Kok, Bapak pucat, sih?” pertanyaan Surti membuatku sedikit berkeringat.
"Pak." panggilnya lagi membuyarkan lamunanku.
“Aahh... Enggak. Bapak cuma capek saja, Bu. Di dalam pengap dan berdebu sekali.” Kilahku agar Surti tak curiga.
Surti mengangguk, lantas meninggalkanku begitu saja. Aku menarik nafas lega karena Surti tak banyak bertanya.
Aku mengekor di belakangnya. Rupanya ia pergi ke dapur untuk memasak.
"Bu." panggilku. Surti menghentikan aktifitasnya mengiris bawang.
"Kita makan di luar saja, yuk." ajakku untuk mengalihkan pikirannya. Meskipun Surti tadi tak banyak bertanya, namun aku khawatir jika Surti diam-diam kepikiran dan curiga padaku.
"Hhhmmm... terus ini mau di apain?" tanyanya.
"Masukin aja lagi ke lemari es. Ayo kamu siap-siap. Kita berangkat sebentar lagi." ucapku sambil tersenyum.
Surti bergegas masuk ke dalam kamar. Sedangkan aku memilih untuk tetap menunggunya di depan. Sekilas terdengar suara bergemuruh dari dalam gudang. Aku tahu apa yang menimbulkan suara itu. Hanya saja aku memilih untuk diam. Toh Surti tak akan mendengarnya, karena hanya aku yang akan melihat dan mendengar mereka berada di dalam sana. Bibirku tersenyum lebar. Membayangkan pundi-pundi rupiah yang akan ku dapatkan setiap hari meskipun tak sebanyak saat aku baru saja menyerahkan nyawa Arya.
Kekayaan yang ku dapatkan akan langsung banyak saat aku menumbalkan nyawa anak. Tetapi untuk sehari-hari, aku akan mendapatkannya dari ramainya pengepul yang menyetorkan rongsokan ke tempatku. Mereka akan menurut saja bila aku memberikan harga yang murah dan akan menjualnya kembali ke tempat daur ulang dengan harga yang mahal. Entah mengapa mereka akan menurut begitu saja dengan apa yang ku katakan. Dan tentu saja itu akan memberikanku keuntungan yang banyak.
"Pak, kenapa senyum-senyum senyum sendiri begitu?" tiba-tiba saja Surti datang dan mengagetkanku.
"Oh, eh, eng-enggak, Bu." jawabku gugup.
"Ada apa, sih? Bapak kok terlihat senang sekali?" tanyanya dengan wajah penasaran.
"Bapak hanya merasa senang saja, Bu. Akhirnya Ibu mau mengobrol lagi dengan Bapak. Bahkan Ibu mau Bapak ajak makan di luar kali ini." ucapku memberikan alasan yang menurutku masuk akal. Surti tampak tersenyum, meskipun kini ia tak pernah lagi tersipu dengan rayuanku, paling tidak kini dia tak lagi mendiamkanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Ai Emy Ningrum
iyah bu Surti ,kalung yg pertama diperoleh, dibeli dgn uang yg halal ,beda dgn kalung yg sekarang,hasil menumbalkan Arya 😔😔
2023-07-02
3