TUMBAL

TUMBAL

Bab 1 Awal Sebuah Perjanjian

“Astaghfirullahal’adzim. Pak, Bapaakkk...”

“Arya... Bangun, Nak. Banguunn...”

“Bapaaakk. Cepat kesini, ini Arya kenapa.”

Aku yang mendengar suara teriakan Surti, istriku, bergegas lari masuk ke dalam rumah untuk melihat apa yang saat itu sedang terjadi di dalam rumah. Saat itu aku sedang sibuk memberi makan kambing-kambingku di kandang belakang rumah. Tiba-tiba saja, Surti berteriak histeris seperti telah terjadi hal-hal yang mengerikan di dalam sana.

“Arya kenapa, Bu? Bukannya tadi dia baru saja pulang dari bermain?” Tanyaku saat melihat kondisi Arya, anakku, yang sangat memprihatinkan. Tubuhku bergetar hebat melihat apa yang terjadi pada anak semata wayang kami. Tubuh mungil Arya bergetar hebat, mengejang dengan tatapan mata kosong, kedua bola matanya melotot menatap ke atas langit-langit seolah sedang menahan kesakitan yang luar biasa. Surti menangis tergugu.

Aku terdiam saat melihat kondisi Arya, anak kesayanganku itu. Namun aku tak bisa berbuat apa pun. Bahkan untuk menghentikannya pun aku tak mampu. Ya, akulah orang yang membuat Arya seperti itu.

Tahun lalu, aku sudah membuat sebuah perjanjian dengan bangsa jin untuk diberikan kekayaan secara mudah. Aku sudah lelah di hina oleh warga kampung dan juga keluarga Surti.

“Heh, kamu mau nyolong, ya?” teriak salah satu warga yang melihatku sedang mengorek tempat sampah di depan rumahnya. Aku yang kebetulan sedang memunguti barang bekas di tempat sampahnya menjadi bulan-bulanan warga. Orang itu membuat cerita jika aku berusaha mencuri rumahnya. Padahal aku hanya memungut barang bekas yang kemungkinan besar sudah di buang olehnya sebagai pemilik rumah.

“Sabar, Mas. Memang kalau orang kaya seperti itu. Semena-mena.” Ucap Pak Andi, lelaki yang menolongku dari amukan warga.

“Te-terimakasih banyak, Pak.” Jawabku tertunduk. Pak Andi tersenyum, kemudian menghela nafas panjang sambil menepuk pundakku.

“Saya bisa bantu kamu, biar semuanya bisa berubah.” Ucapnya kemudian. Aku menoleh bingung ke arahnya.

“Serius. Kamu bisa kaya seperti orang itu dalam sekejap.” Tunjuknya pada sebuah rumah mewah di ujung jalan.

“Ah, mana mungkin, Pak.” Tepisku sambil tersenyum kecut. Entah apa maksud Pak Andi, tapi yang pasti aku tak ingin terlalu banyak berharap untuk bisa memutar roda kehidupan keluargaku.

“Kalau kamu mau, kamu bisa bertemu denganku kamis besok. Ini alamatku.” Pak Andi menyerahkan secarik kertas berbentuk persegi panjang kepadaku. Ia kembali menepuk pundakku perlahan dan meninggalkanku seorang diri dengan sejuta kebingungan.

Ya, aku dulunya hanyalah seorang pemulung, kerjaanku setiap hari hanya mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas yang ku temukan di sepanjang jalan dengan berkeliling desa berjalan kaki. Kini aku sudah memiliki gudang pengepul sendiri. Tak hanya terbesar di desa kami, tapi juga terbesar di kota kami.

“Pak, jangan bengong saja. Ayo bawa Arya ke Rumah Sakit.” Teriakan Surti mengagetkanku.

“I-iya.” Gugup aku mengambil dan segera membopong tubuh Arya yang terus mengejang. Aku tahu kalau saat ini Arya sedang berjuang dengan rasa sakit yang luar biasa. Hanya saja, aku tak bisa menolongnya. Sesuai perjanjian, aku hanya bisa menatap tubuh anakku yang mengejang menahan sakit tanpa bisa melakukan apa pun untuk membantunya.

Semakin lama tubuh Arya semakin melemah. Tubuhnya yang awalnya kaku karena mengejang lambat laun mulai melambat, melemah kemudian berhenti dengan sendirinya. Tangannya yang tadi sempat mencengkeram lengan bajuku, kini perlahan terlepas. Surti menangis meraung-raung melihat kondisi Arya saat ini. Detak jantungnya sudah tak terasa. Namun karena paksaan dari Surti, aku tetap membawa Arya ke Rumah Sakit untuk di periksa.

“Aneh, tapi anak Bapak dan Ibu benar-benar sehat. Bahkan jantungnya pun tak ada sumbatan sedikit pun. Syaraf-syaraf di otaknya juga semuanya normal.” Ucap Dokter yang memeriksa kondisi Arya sambil geleng-geleng kepala merasa heran.

 Atas permintaan Surti, pihak Rumah Sakit memeriksa keseluruhan kondisi Arya dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Arya. Hanya saja, Dokter yang berpengalaman pun tak menemukan penyebab dari kematian Arya.

Di ujung ruangan, aku menyunggingkan sedikit senyum. Membayangkan jumlah uang dan emas yang sebentar lagi akan ku terima dari menukarkan nyawa Arya, anakku.

“Baik, permintaanmu akan ku kabulkan. Tapi ada syarat yang harus kamu penuhi.” Ucap dukun yang membantuku berinteraksi dengan jin pemberi kekayaan.

“Apa pun syaratnya, Mbah. Yang penting saya bisa kaya. Saya capek di hina terus.” Ucapku memohon.

“Tumbal.” Seketika aku terdiam. Menelan saliva yang terasa sesak dan menyakitkan di tenggorokan. Mendengar kata tumbal saja sudah membuatku merinding, apalagi ini aku belum mendengar syarat tumbal yang harus ku penuhi.

“A-apa tumbalnya, Mbah?” tanyaku lirih.

“Nyawa.” Jawab Mbah Kromo jelas.

“Nya-nyawa? Nyawa si-siapa, Mbah?”tanyaku lirih. Mendengar syarat tumbal yang harus ku penuhi membuatku sedikit menciut. Namun rasanya tak mungkin ku urungkan niatku untuk meminta kekayaan setelah jauh-jauh sampai di tempat ini. Dengan beralasan ingin mencari pekerjaan lain di kota pada Surti, tak mungkin juga jika aku harus kembali dengan tangan kosong tanpa membawa hasil apa pun.

“Terserah kamu. Kamu tinggal pilih saja. Nyawa istrimu, anakmu, atau bahkan bisa di tukar dengan nyawamu sendiri.” Ucap Mbah Kromo dengan suara yang menggelegar.

Sejenak aku terdiam, menimang keputusan mana yang akan ku ambil. Mengingat Surti adalah wanita pilihan yang ku perjuangkan dengan sekuat tenaga hanya untuk mendapatkan hatinya, aku tak mungkin mengorbankan dirinya untuk menukar dengan harta. Bagiku, Surti adalah wanita tercantik yang mau menerima kondisiku seperti ini. Aku mencari harta pun untuk membahagiakannya. Jadi, salah jika aku harus kehilangan dia hanya untuk mendapatkan kekayaan.

Sedangkan jika aku harus menukarkan dengan nyawaku sendiri, jelas aku tak akan mau. Untuk apa aku bersusah payah menjadi kaya jika aku tak bisa menikmati hasilnya. Tentu saja aku tak mau menukarkan nyawaku dengan harta. Akan rugi jika aku harus mati tanpa merasakan apa yang sudah ku upayakan.

“Bagaimana? Apa pilihanmu? Kalau tidak mau menerima syaratnya, mending pulang saja. Masih banyak yang mengantri untuk datang kesini.” Ucap Mbah Kromo kasar.

Pak Andi yang ikut serta datang bersamaku, menyikut lenganku perlahan. Membuatku tersentak, tersadar dari lamunanku.

“Sa-saya pilih a-anak, Mbah.” Ucapku ragu. Bagaimana pun, ada yang harus ku korbankan untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.

“Tak apalah, toh anak masih bisa punya lagi.” Ucap Pak Andi memberikanku semangat. Aku yang mendapat dukungan dari pria yang telah menolongku hanya mengangguk pasrah. Meskipun di dalam hatiku terasa berat, namun inilah konsekuensi yang harus ku ambil untuk mendapatkan apa yang ku inginkan.

“Setiap kamu memiliki anak, dan setiap anakmu berusia lima tahun, penguasa akan mengambilnya. Maka, jangan pernah kamu halangi semua itu meskipun menyakitkan bagimu.” Ucap Mbah Kromo tegas, aku pun mengangguk pasrah.

Terpopuler

Comments

me.ch

me.ch

kasian aryaa/Whimper/

2024-02-14

0

FiaNasa

FiaNasa

sudah buta harta nyawa anak pun tiada artinya

2024-01-24

1

FLA

FLA

hanya demi harta rela mengorbankan nyawa, dan itu anak nya sendiri

2023-08-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!