Bab 2
"Kita sudah sampai," ujar Roberto mematikan mesin mobil pikupnya. "Biar kubawakan tasmu. Kau bisa turun sendiri?" tanya Roberto lagi.
"Kau tak perlu mengkhawatirkan diriku, Ayah. Aku bisa turun sendiri dengan kakiku," sahut Albert.
"Baiklah." Roberto segera membuka pintu kemudi dan turun dari sana sekalian membawakan tas Albert.
Sedangkan Albert berusaha untuk mengeluarkan dahulu kakinya dan turun perlahan dari mobil itu. Setelah berhasil menginjakkan kakinya ke tanah, dirinya lantas menutup pintu mobil. Menyusul ayahnya yang sudah terlebih dahulu memasuki rumah yang telah lama ditinggalkan oleh dirinya.
Tak ada yang berubah dari rumah itu, baik bangunan maupun kenangan yang ada di dalamnya. Ia rindu ibunya yang telah meninggal karena sakit. Keadaan ekonomi mereka waktu itu tidak sebaik sekarang. "Ibu, maafkan aku. Aku berjanji akan menjadi kebanggaan keluarga kita," gumamnya dalam hati.
"Apa kau lapar?" tanya Ayahnya yang menuju ke meja dapur.
"Aku bisa memasak untukku, Ayah," sahut Albert lagi.
"Kalau kau lapar, bukalah di dalam kulkas. Banyak sekali persediaan yang bisa kau masak. Aku akan ke atas, ke kamarku untuk beristirahat sebentar." Roberto meninggalkan Albert yang masih berdiri di ruang tengah. "Biarkan aku yang meletakkan tasmu di dalam kamarmu."
"Terima kasih, Ayah." Albert menatap punggung ayahnya yang pergi meninggalkan dirinya. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Selain Roberto yang memang sudah lelah bekerja di tokonya.
Albert pun mengangkat kakinya dengan pelan, bergerak menuju ke arah dapur. Dilihatnya semua tak ada yang berubah, baik tata letak barang yang ada. Ayah sangat mencintai Ibu sampai-sampai dirinya tidak ingin semua yang diperbuat oleh tangan Ibu berubah tempat. Samar-samar Albert mengukir senyuman di bibirnya.
Bayangan ibunya nampak jelas berjalan mondar-mandir dengan sibuk menyiapkan hidangan untuk keluarga agar bisa makan bersama. "Aku sungguh merindukanmu, Ibu..." raungnya dalam hati. Albert membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa makanan cepat saji. Tak butuh waktu lama untuk menyiapkannya. Ia dengan pelan menyantap makanan itu sendiri.
Di sisi lain, Roberto terbayang dengan istrinya yang telah lama meninggalkan dirinya. Ia pun tak kalah merindu. Albert adalah cerminan dari istri tercintanya, hanya saja tak memiliki tubuh yang sempurna. Walaupun Roberto mengakui bahwa Albert mewarisi mata indah istrinya, biru terang bagaikan air laut cerah di bawah sinar matahari.
...****************...
Dengan adanya musibah yang menimpa salah satu keluarga petani di Victoria, membuat beberapa petani lainnya waspada dengan kebakaran yang terjadi. Malam itu, lumbung Herman telah terbakar dikarenakan kelalaiannya dalam menaruh lentera. Tak sengaja kakinya menyandung lentera yang tak digantung pada tempatnya. Bisa dibilang, mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit.
Herman memiliki dua orang anak, yang pertama putri tunggalnya, Gadis. Dengan perawakan seperti istrinya, Maria, Gadis yang masih berusia dua puluh dua tahun itu memang mewarisi gen istrinya. Mata hazelnya yang berbinar berubah menjadi ketakutan dan kepanikan akan kejadian malam itu. Tak ingin membuat Gadis ketakutan dan panik, Herman pun menenangkan Gadis.
Max, adik Gadis yang berbeda dua tahun dengannya sama dengan Gadis. Ia pun panik dan ketakutan akan hilangnya hewan-hewan peliharaannya, kuda dan beberapa domba. Api yang melahap malam itu sangat dahsyat dan meraung-raung bagikan lidah yang menjilati langit-langit.
"Ayah, apakah besok kita mulai membangun lumbung baru lagi?" tanya Gadis yang berada dipelukan Herman sambil tersedu.
"Biarkan toko bangunan milik Tuan Roberto datang kemari. Max akan membantuku untuk membangun lumbung baru. Kau tak perlu khawatir. Kudamu aman bersama Max," sahut Herman menenangkan.
Gadis melepaskan pelukan ayahnya dan kembali kepada Maria, Ibunya. Ibu membalas, mendekap erat pelukan sang gadisnya.
...****************...
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments