"A-apa benar ini rumahmu?" tanya Gladis, tatapannya kini berfokus pada sebuah bangunan tua yang masih berdinding kayu. Terlihat sudah rapuh, atap rumah tersebut pun terlihat sudah reot.
"Kanapa? Tidak suka, tidak usah masuk!" jawab Zidan, sambil berlalu melajukan kursi rodanya.
Ck! lagi-lagi Gladis dibuat kesal oleh pria itu. "Sudah miskin, nyebelin lagi!" gerutu Gladis.
Gladis pun berjalan mengikuti Zidan, hatinya ragu saat hendak memasuki rumah tersebut. Bagaimana kalau tiba-tiba rumah itu roboh, Gladis benar-benar tidak bisa membayangkan.
"Emm, kau tinggal di sini sendirian?" tanya Gladis, tatapannya menatap Zidan yang kini tengah terdiam sambil menatap sebuah bingkai foto yang terpampang di dinding sana.
"Menurutmu?" Bukannya menjawab pertanyaan Gladis, Zidan malah berbalik bertanya.
"Emm, kelihatan memang tidak ada penghuni lagi selain dirimu saat ini, benar bukan?"
"Benar, sekarang aku hanya sendirian. Karena orang satu-satunya yang aku miliki sudah tiada," jawab Zidan sambil tersenyum miris.
Gladis langsung terdiam, tentu saja ia faham atas perkataan Zidan. Rasa bersalah kembali bersarang di hatinya.
"Ma-maaf, aku tahu aku salah. Tapi, aku tidak sengaja, aku benar-benar ... "
"Sudahlah jangan dibahas, sekali pun kau mengucap ribuan kali maaf atau jutaan, kata maafmu tidak akan bisa mengembalikan Bapakku," tegas Zidan memotong ucapan Gladis.
"Tapi,"
"Sebaiknya kamu pergi!" usir Zidan, lagi-lagi ia memotong ucapan Gladis yang belum usai.
"Ya aku akan pergi, tapi sebelumnya izin aku berbicara sesuai, emm ... membicarakan soal kita."
Zidan menoleh kearah Gladis, menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Gladis langsung menunduk, tentu saja ia merasa sedikit takut.
"Aku rasa tidak perlu ada yang dibicarakan lagi, aku sudah tahu semuanya. Papa-mu sudah memberitahuku."
Ya, tempo hari Papa Santoso sudah memberitahu semuanya. Tentang amanat terakhir mendiang Pak Rusli pada Zidan, agar Zidan menikah dengan Gladis.
Mendengar hal tersebut, tentunya Zidan merasa terkejut. Bahkan sampai saat ini Zidan tidak tahu harus mengambil keputusan seperti apa, haruskah ia menerima semuanya, atau sebaliknya? Menolaknya.
Semuanya itu menjadi pilihan yang teramat sulit. Di sisi lain, Zidan ingin menuruti permintaan terakhir dari mendiang sang Bapak, tapi di sisi lain Zidan ingin menolaknya. Bagaimana bisa Zidan menikah dengan wanita yang sudah membuat cacat serta membuat ia harus kehilangan orang tercintanya?
"Jadi, apa kamu setuju?" tanya Gladis.
Zidan terdiam, entahlah.
"Aku tahu semua ini sangat sulit bagi kamu, pun dengan aku. Kita sama sekali tidak saling kenal sebelumnya, aku tahu menikah bukan perkara yang mudah. Aku menerima semua ini, kerena ingin bertanggung jawab dan aku sudah terlanjur berjanji pula, jadi ... aku harap kamu juga bisa menerimanya, anggap saja jika pernikahan kita nanti hanya sebatas status saja, aku tidak akan menuntut apa pun darimu, aku menikah kerena ingin bertanggung jawab saja, tidak lebih dari itu," jelas Gladis panjang lebar.
Zidan masih terdiam, entah apa yang ada dibenak pria itu. Sikap serta ekspresi dari pria itu benar-benar tidak bisa Gladis tebak.
"Sudah selesai?" tanyanya.
Gladis mengangguk pelan.
"Pergi!" usirnya.
Gladis menghelai nafasnya, ia mencoba bersikap sabar menghadapi Zidan, walaupun sebenernya ia sangat jengkel. Karena pria itu terkesan irit bicara.
"Baiklah, aku akan pergi. Nanti ada orang yang akan datang ke sini, dia akan membantu menjaga kamu dan melayani sebuah kebutuhan kamu untuk sementara waktu," ucap Gladis sebelum berlalu.
"Tidak perlu!" sahut Zidan, setalah itu ia langsung berlalu mengayuh kursi rodanya menuju kamar.
Gladis mengepalkan kedua tangannya. Huh, sungguh menyebalkan, pikirnya.
"Ya Tuhan, dosa apa sudah aku perbuat selama ini. Kenapa aku bisa dipertemukan dengan pria seperti dia! Bermimpi pun rasanya aku tidak Sudi, dan ini? Aku harus menikah dengannya?"
Dengan perasaan yang dongkol, Gladis pun berlalu meninggalkan kediaman Zidan. Ia kembali melajukan mobilnya.
Tiba-tiba saja ponsel milik Gladis berbunyi, segara ia meraih ponselnya itu. Di lihatnya satu panggil masuk dari seseorang.
"Hallo," ucap Gladis mengangkat telepon tersebut.
"Hallo Sayang, akhirnya kamu menerima telepon aku juga. Gladis kamu baik-baik saja kan? Kenapa seminggu lebih kamu gak kasih kabar sama aku, pesan dan telepon aku pun kamu abaikan! Di mana kamu sekarang, pokoknya aku tunggu kamu di tempat biasa, kamu harus menjelaskan semuanya, aku tunggu, oke. Awas kalau tidak datang!" lawan bicaranya dalam sambungan telepon tersebut langsung memberondong banyak pertanyaan pada Gladis.
Zosua, namanya, yang tak lain adalah kekasihnya Gladis.
"Hallo, Gladis. Apa kamu masih di sana?" Kembali terdengar suara Zosua memanggilnya. Kerena pria itu tak kunjung mendapatkan sahutan dari Gladis.
"Ah iya, oke, a-aku ke sana sekarang," jawab Gladis.
"Baiklah, aku tunggu. See you sayang."
Panggil telepon pun terputus. Berulang kali Gladis mengatur nafasnya. Harus bagaimana ia menjelaskan nanti pada Zosua?
Apakah Gladis harus mengatakan jika ia akan menikah dengan Zidan, pria yang di tabraknya?
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Dwi Winarni Wina
mungkin sangat sulit bagi gladis n zidan menikah krn baru bertemu,,,,itu jalannya terbaik dipertemukan gladis n zidan mungkin jodoh,,,,lanjut thor......
2023-06-19
0
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
berdua keberatan untuk menikah tp itu adalah amanat terakhir ayah Zidan
2023-06-13
1