5. masa lalu

8 tahun yang lalu ...

Jeslin tampak imut dengan seragam putih abu-abu nya yang kini penuh coretan tanda tangan berwarna warni, hasil karya teman-teman sekolahnya. Tahun ini dia lulus SMA dan kini baru saja hendak pulang ke rumah.

Ia jalan seorang diri, menyusuri trotoar jalanan yang sepi. Biasanya saat berangkat sekolah, dia akan diantar oleh sang Papa bersama Daniel. Tapi karena sekolah Jeslin dan Daniel berbeda maka keduanya jarang pulang bersama. Apalagi dengan kegiatan masing masing yang cukup menyita waktu keduanya.

Gadis remaja dengan rambut sebahu itu tampak berjalan tanpa beban. Wajahnya bersinar dengan mata berbinar. Sepanjang jalan yang ia lewati, Jeslin tampak bahagia. Karena ternyata dia baru saja mendapat nilai ulangan Matematika yang cukup memuaskan. Sehingga proses belajar semalam suntuk yang ia lakukan kemarin tidak sia sia. Jeslin memang termasuk orang yang suka menumpuk tugas dan menjadi seorang pengejar deadline rutin. Dia memang tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan santai, tapi jika diburu waktu, maka hasil pekerjaan nya justru menjadi lebih bagus. Jadi dia hanya akan belajar saat akan ada ulangan saja. Di luar itu, Jeslin lebih memilih membaca novel atau jalan jalan di gramedia untuk berburu benda tersebut.

Dia sampai di gapura bertuliskan gelanggang olahraga Satria. Melihat situasi di dalam sepi, membuat hati nya tergerak untuk masuk. Tempat itu memang cukup luas dengan beberapa spot tempat olahraga yang bagus dan terawat. Jeslin bukan ingin joging, basket, atau panjat tebing, tapi hanya untuk duduk sambil membaca novel yang selalu ia bawa di dalam tas. Jeslin memang sangat pemilih dalam menentukan tempat di mana ia hendak membaca kisah fiksi pilihannya.

Jeslin berjalan terus ke dalam, melewati lapangan voli pantai yang sepi, lalu terus melewati arena panjat tebing, dan pandangan tertambat pada sebuah pendopo di mana ada beberapa anak anak yang sedang berlatih taekwondo di sana. Jeslin duduk di sebuah pagar dengan hiasan pohon cemara kecil di tengahnya. Hanya duduk saja sambil menyaksikan anak anak tersebut berlatih sangat kompak. Sesekali Jeslin menarik kedua sudut bibirnya memperhatikan mereka. Apalagi anak anak tersebut masih tergolong lucu dan menggemaskan.

Kali ini, Jeslin kembali teringat pada tujuan awalnya. Ia segera merogoh tas selempang berwarna pink muda di sisi kiri bahunya, dan mengambil sebuah buku tebal yang langsung dapat ia kenali walah tanpa melihat ke dalamnya.

Kali ini Jeslin membawa sebuah novel remaja berjudul Jilbab Spears, karya Herlinatiens. Sebuah novel bergenre teenlit yang sedang ia gemari sekarang. Mungkin karena sesuai dengan umurnya juga yang masih remaja. Dia baru membaca beberapa halaman saja saat istirahat siang di sekolah, dan kini ingin melanjutkan kisah tersebut yang makin membuat penasaran.

Tak terasa hari makin sore, Jeslin menutup novel di tangan diakhiri dengan gemeretak tulang yang ia ciptakan karena rasa pegal akibat menunduk terlalu lama. Matahari sudah bergeser dari tempatnya, membuat beberapa tempat mulai redup dan suasana tidak lagi terlalu panas. Saatnya pulang bagi Jeslin.

Rupanya arena latihan taekwondo sudah berakhir. Walau beberapa anak kecil masih duduk sambil menikmati snack, tapi tempat itu tidak seramai sebelumnya. Jeslin tengak tengok sekitar, kondisi yang justru makin ramai di beberapa sudut, membuatnya harus segera angkat kaki dari tempat tersebut. Karena di jam jam ini, memang banyak orang orang yang hendak olahraga. Dan Jeslin termasuk orang yang tidak suka keramaian.

Jeslin beranjak, menepuk nepuk rok nya yang sedikit kotor terkena debu. Samar samar ia mendengar suara pertengkaran orang. Tentu saja Jeslin menoleh yang ternyata ada sepasang kekasih yang sedang bertengkar di dekatnya. Suara si perempuan yang cukup kencang, membuat Jeslin mampu mendengar jelas perkelahian mereka.

"Kasihan banget. Baru pacaran, udah mau dikuasai. Tapi emang cewek begitu sih, kebanyakan," batinnya.

Sepasang kekasih itu masih bertengkar sambil menunjuk nunjuk. Jeslin mulai berjalan menjauh.

"Ya kamu jangan gitu dong! Masa aku mau ngajar latihan aja nggak dibolehin!" bentak si pria, kesal.

"Kan, kamu udah janji mau temenin aku nonton!"

"Kapan?"

"Kemarin!"

"Masa sih!"

"Iya! Masa kamu kayak gitu aja lupa! Padahal kita baru aja pacaran! Gimana coba kalau kita udah nikah nanti? Pasti kamu bakal cuekin aku!" omel si gadis.

"Cih, gila! Bisa gila gue nikah sama lo!"

"Loh maksud kamu apa, Ben? Kok kamu ngomongnya gitu?"

"Iya. Nggak bakalan kita nikah! Paham lo?"

"Kamu kok gitu? Kamu nggak serius sama aku? Kamu cuma main main? Iya?" wanita tersebut menarik seragam sekolah Ben hingga membuat satu kancing bajunya terlepas. Ben yang memang hendak pergi ditahan dengan sekuat tenaga oleh Chika, kekasih yang baru ia pacari satu bulan ini. Itu pun karena ulah Daniel yang terus menjadi mak comblang mereka berdua. Chika memang cantik dan menarik, tapi Ben tidak terlalu menginginkan gadis itu.

"Eh, Cik, lo itu mikirnya udah kejauhan. Kita masih sekolah loh! Bisa bisanya mikir nikah! Ya kali gue lulus SMA langsung nikahin lo. Mau gue kasih makan daun kering? Pikir dong pakai otak! Jangan norak!" kata kata Ben memang terlalu kasar, sehingga Chika mulai menunjukkan aksi dramatisasi nya. Kelopak matanya mulai menggenang karena air mata yang hendak tumpah.

"Ben ... Kamu nggak sayang aku?" tanya Chika mulai menunjukkan sisi lemahnya.

"Enggak," jawab Ben, tegas.

"Terus sebulan ini ... Kita apa?"

"Lo pikir hubungan yang seperti ini disebut sebuah hubungan sehat, Cik? Di saat lo selalu nempel gue ke mana mana? Lo sadar nggak sih, lo itu aneh! Dan gue nggak bakal nikah sama lo! Oke gue akui, awal kita deket, pacaran, itu karena gue yang ngejar lo duluan. Tapi gue nggak sangka kalau lo itu begini karakternya."

"Kok kamu gitu! Terus kamu mau nikahin siapa? Jangan jangan kamu emang udah selingkuh ya. Makanya kamu giniin aku."

"Gue nggak pernah melakukan hal menjijikkan seperti itu ya. Tapi, gue pastikan, kalau gue ... Nggak akan mau nikah sama cewek manja dan posesif kayak lo. Daripada gue nikah sama lo, mending gue nikah sama ... Dia!" tunjuk Ben ke Jeslin yang sedang membantu salah satu anak muridnya merapikan barang barang yang tercecer akibat jatuh dari sepeda.

"Memangnya dia siapa? Kamu kenal dia? Dia selingkuhan kamu?"

"Gue nggak kenal siapa dia, tapi setidaknya mata hati gue bisa melihat kalau perempuan itu jauh lebih punya hati, timbang lo. Boro boro lo mau bantu anak kecil jatuh, Tyas yang temen deket lo aja nggak lo bantu kemarin, kan?"

"Kenapa jadi merembet ke Tyas? Kamu suka sama dia?" Chika kembali naik pitam akibat asumsinya yang belum pasti.

"Tuh, kan! Ini nih yang bikin gue ilfeel sama lo. Gampang banget lo nge- judge kalau orang itu jahat hanya dengan cara berpikir lo yang sempit!"

"Tapi, Ben ...."

"Nggak ada tapi tapi. Kita putus!"

Berbanding terbalik dengan kondisi Ben dan Chika yang terus dipenuhi emosi, di sisi lain justru ada pemandangan indah antara Jeslin dan Aldo.

"Makasih, kak," kata Aldo yang kini sudah berhasil mengayuh sepedanya. Ia melambaikan tangan ke arah Jeslin yang tadi membantunya.

"Hati hati di jalan, ya," sahut Jeslin yang kini balas melambaikan tangan pada anak kecil berumur 8 tahun itu.

Kini tinggal Jeslin yang harus segera melangkah keluar. Hari semakin sore dan ia harus segera pulang ke rumah. Jika tidak pasti kedua orang tuanya akan cemas dan menyuruh Daniel mencari keberadaannya. Kasihan Daniel selalu direpotkan dengan tingkah Jeslin.

Ben pergi tanpa mengganti dobok yang ia kenakan. Bahkan Ben pergi tanpa alas kaki. Dia hanya berhasil menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas tas miliknya tadi. Ia gagal mengajar taekwondo karena ulah Chika.

Dengan mengendarai mobil, Ben segera pergi dari lingkungan gelanggang olahraga, meninggalkan Chika yang terus menangis di depan tempat latihan tadi. Berkali-kali Ben mengumpat kesal, ditambah lagi dengan luka di lengan kirinya akibat kuku tajam Chika yang berhasil menggores dalam.

"Perempuan gila! Heran, kenapa gue nurutin aja omongan Si Daniel sih!" Ben terus merutuki kesalahan yang ia buat karena jebakan sang sahabat.

Ben kini sudah keluar dari gerbang gelanggang olahraga. Mobilnya berbelok ke kanan. Di trotoar jalan terdapat banyak pemandangan penjual kaki lima yang berjejer rapi.

Di samping gelanggang olahraga terdapat sebuah kantor kwarcab yang memang kosong pada sore hari seperti sekarang. Tapi ada sebuah pemandangan yang membuat Ben mengalihkan perhatiannya.

Gadis di pinggir jalan itu sedang diganggu beberapa preman sekolahnya.

"Ngapain si kunyuk pada di sini!" kata Ben lalu segera meminggirkan mobil. Dengan cekatan Ben turun dari mobil dan mendekat ke gerombolan preman sekolah yang terkenal di sekolahnya.

"Lagi pada ngapain lo pada di sini?" tanya Ben sambil berdiri di depan mereka. Gadis yang ia lihat beberapa menit lalu, sedang diganggu oleh mereka.

"Eh, elu lagi elu lagi! Bukan urusan lo, Ben, kita lagi ngapain di sini. Toh, ini bukan sekolahan. Ini jalan umum, jadi lo mending minggir deh, daripada kenapa-napa. Apalagi genk lo itu pada nggak ada, kan?" ejek Agus sambil melirik ke teman-temannya.

Mereka memang terlihat sangat menyepelekan Ben yang terlihat seorang diri, tanpa satupun teman-teman dekatnya.

Ben tersenyum sinis, dia melangkah pelan mendekat sambil sesekali memperhatikan sekitar yang memang sepi. Walau ada beberapa tenda penjual makanan, tapi sepertinya mereka tidak terlalu memedulikan kejadian di sekitar.

"Memangnya kenapa kalau gue sendirian sekarang? Kalian pikir gue takut?" tanya Ben dengan kalimat yang terdengar santai. Dia menatap ke gadis di belakang Agus yang terlihat ketakutan dan terus menatap balik Ben dengan ekspresi memohon pertolongan.

"Bukannya lo itu pengecutnya genk Pasgabat?"

Pasgabat adalah nama genk milik Ben, Daniel dan beberapa kawan lainnya, yang artinya pasukan gagal tobat. Sementara genk Agus bernama Elit, yang mereka artikan sebagai ekonomi sulit. Kedua genk tersebut memang bagai bumi dan langit di sekolah. Genk milik Ben dan Daniel, memang memiliki anggota dari kalangan atas. Orang tua mereka semua adalah orang-orang kaya yang terkenal se-antero sekolah. Sementara genk milik Agus merupakan dari kalangan menengah ke bawah, maka dari itu mereka menamakan diri mereka kelompok Elit, yang ternyata kebalikan dari arti sebenarnya.

"Sok tau. Udah deh, mending kalian lepasin itu cewek. Lagi badmood gue, males ribut," kata Ben sambil menunjuk Jeslin.

"Apa? Lepasin? Enak aja lo. Kita yang dapet duluan, eh elu yang mau hasilnya? Jangan sok kaya lo," tandas Agus. Mengetahui kedatangan Ben untuk menyelamatkan buruan mereka, tentu Agus dan teman-temannya tidak akan tinggal diam. Mereka menghadang Ben yang makin mendekat.

"Oh jadi nggak mau. Oke, jangan salahin gue, ya, kalau besok kalian nggak masuk sekolah. Kebetulan, gue emang lagi pengen mukul orang!" kata Ben dengan smirk di wajahnya.

Dalam hitungan detik terjadilah perkelahian di antara mereka. Satu lawan lima orang. Bagi Ben menghajar mereka berlima bukan hal sulit, apalagi karena dia adalah pemegang sabuk hitam sekarang. Benar saja, hanya dalam beberapa kali gerakan, Agus dan kawan-kawan terkapar dengan luka lebam di beberapa bagian tubuh mereka, terutama wajah.

"Gimana? Puas?" tanya Ben jongkok di atas Agus yang sedang terkapar di trotoar jalan sambil memegangi pipinya yang terluka. Dia hanya diam, tak menanggapi. Tapi hanya menatap Ben dengan ekspresi kesal.

Apa yang dilakukan Ben sangat mempermalukan Agus, karena kini banyak mata memandang mereka di jalanan. Tentu sangat lucu melihat satu orang yang dapat merobohkan lima orang di trotoar jalan itu. Tapi tentu penonton akhirnya mengangguk paham, karena Dobok yang dipakai oleh Ben, menunjukkan kalau pemuda itu bukan orang sembarangan.

Ben berjalan mendekat ke Jeslin, dia mengulurkan tangan pada gadis itu dan menggandengnya masuk ke mobil.

"Rumah lo di mana?" tanya Ben begitu mobilnya mulai berjalan meninggalkan tempat itu.

"Perumahan Permata Hijau," jawab Jeslin singkat.

"Oh, oke."

Suasana kembali hening. Ben hanya fokus pada kemudi, sementara Jeslin terus menoleh ke kaca jendela sampingnya. Keduanya banyak diam, terutama Jeslin. Sementara Ben sesekali melirik ke gadis di sampingnya itu.

"Lo nggak kenapa-napa, kan?" tanya Ben berusaha memecah kesunyian.

"Nggak apa-apa." Tapi Jeslin tidak menatap pemuda penolongnya itu walau cuma sedetik saja. Tatapan matanya terus tertuju pada suasana di luar mobil. Di mana dia bisa leluasa melihat kendaraan di samping yang berlomba-lomba melaju ke depan.

"Oke. Baguslah." Ben mendengus sebal sambil mengacak-acak rambutnya frustrasi. Tidak ada itikad baik dari gadis yang baru saja ia tolong. Padahal Ben tidak mengharapkan apa pun, hanya respon baik dari Jeslin saja. Tapi melihat tanggapan Jeslin yang dingin, membuat Ben malas melanjutkan obrolan lagi.

"Yah, macet. Ada apa, ya, mana nggak ada jalan lain lagi," gerutu Ben berbicara sendiri, sambil berusaha melongok ke depan, walau ia tau kalau hal itu tidak mungkin bisa terlihat jelas dari tempatnya.

Jeslin tertarik menatap ke depan, sama seperti Ben. "Sepertinya ada perbaikan jalan. Tadi pas aku berangkat sekolah udah ada alat-alat berat di ujung jalan sana," tunjuk Jeslin.

Ben terkejut melihat respon Jeslin yang berbeda dari beberapa menit lalu.

"Pengaspalan jalan? Atau perbaikan gorong-gorong?"

"Pengaspalan jalan. Tadi ada bau-bau asap dari aspalnya sih."

"Oh. Hm. Semoga nggak lama sih, macetnya. Sebentar lagi malam."

Jeslin menoleh ke kanan dan kiri, menyadari kalau ucapan Ben ada benarnya juga. Namun, gadis itu hanya diam. Tapi terlihat jelas kalau ia mulai gelisah dengan kondisi sekitar yang hampir gelap.

"Tenang aja, nggak lama lagi kita sampai kok," kata Ben berusaha membuat Jeslin lebih tenang. Jeslin otomatis menoleh ke pemuda di sampingnya. Ia mengangguk dan berusaha mengatur degup jantungnya yang tadi berdetak dengan ritme lebih cepat.

Ben meringis, sambil memperhatikan lengan kiri yang masih terluka. Memang tidak besar dan tidak mengeluarkan banyak darah, tapi cukup pedih jika dibiarkan terus menerus.

"Kenapa? Luka, ya?" tanya Jeslin yang kini memperhatikan lengan pemuda di sampingnya.

"Eum, iya. Tapi nggak apa-apa kok. Ini mah luka sebelum berantem sama si Agus sialan itu."

"Tetep aja. Harus diobati, nanti infeksi."

"Iya, tau. Tapi nanti aja kalau udah di rumah. Ribet."

Ben menoleh ke samping kanan, menatap jengah dengan lalu lintas yang mulai padat. Di tambah harus menahan pedih di lengannya.

Tapi tiba-tiba, tangan Ben terasa dingin. Saat dia menoleh ke lengan kirinya, rupanya Jeslin sedang membersihkan luka Ben dengan tisu yang sudah dibasahi dengan air mineral yang beras dari botol minum milik Jeslin. Sambil meniup-niupkan luka itu, dia membersihkan dengan perlahan dan hati-hati.

Ben yang terkejut dan tidak menyangka akan mendapat perlakuan demikian dari Jeslin, hanya bisa terpaku sambil terus menatap gadis di sampingnya itu.

"Aku nggak punya obat. Kayaknya di mobil kamu juga nggak ada kotak P3K, jadi aku plester aja, ya. Kebetulan aku punya banyak," jelas Jeslin sambil meraih tiga setrip plester dengan motif lucu yang ada di saku kemeja seragam putihnya.

Jeslin segera menempelkan benda itu ke luka Ben. Ben yang awalnya merasa tidak nyaman dengan Jeslin yang terlalu cuek, mulai merasakan ada hal yang aneh di dalan hatinya. Jantungnya berdegup makin cepat, darahnya berdesir tak karuan, dan matanya seakan tidak ingin lepas memandang gadis di sampingnya itu. Hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sekali pun Ben sudah pernah berpacaran dengan gadis di sekolahnya, tapi ia belum pernah merasakan rasa yang kini datang saat berdekatan dengan Jeslin. Bahkan kini nafasnya seakan sesak, dan tenggorokannya tercekat.

"Udah. Nanti kalau udah di rumah, langsung diobati aja. Kasih obat merah. Jangan kena air dulu, takutnya nanti iritasi," jelas Jeslin panjang lebar. Dia menatap Ben yang juga sedang memperhatikan nya. Ben yang ketahuan sedang memperhatikan Jeslin, buru-buru  mengalihkan pandangannya, dan terlihat gugup. Jeslin tersenyum, lalu menoleh ke samping kiri dan depan. "Eum, aku turun sini aja. Soalnya macetnya bakal lama. Terima kasih banyak."

BRUGH!

Pintu mobil ditutup, saat Ben hendak memanggil Jeslin lagi, gadis itu sudah berlari kecil menjauh. Hingga kini sudah tidak terlihat lagi.

Ben masih diam, tidak bergerak sama sekali. Hanya menatap di mana Jeslin menghilang tadi. Sampai beberapa detik kemudian, Ben lantas menekan dadanya. "Gila! Gue kenapa ini? Jantung gue kok ngilu. Mana keringetan gini!" katanya sambil mengelap keningnya yang memang basah.

                                   ****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!