3. sahabat sang adik

Sebuah paket mendarat di kantor Jeslin. Rupanya beberapa bingkisan dari Oma dan Opa-nya yang tinggal di Bali baru saja sampai setelah melewati beberapa hari dalam perjalanan di antar kurir. Oma Opa yang masih ia miliki adalah dari pihak Papa, dan hanya merekalah satu-satunya keluarga yang paling dekat. Sebenarnya Jeslin masih memiliki Om dan Tante, hanya saja mereka semua tinggal di luar negeri dan jarang sekali kembali ke tanah air.

Jeslin segera menghubungi Daniel, karena bagaimana pun dia harus membagi makanan itu kepada adiknya. "Dan, kamu di mana?" tanya Jeslin begitu telepon tersambung.

"Seperti biasa. Di kantor. Kenapa, kak?"

"Ya sudah, nanti aku mampir ke kantormu. Ada oleh-oleh dari Oma."

"Wah, asyik. Oke, aku tunggu."

Jeslin keluar kantor di jam istirahat. Membawa paper bag yang sudah ia siapkan untuk sang adik. Ia sudah membagi makanan khas Bali dari Oma nya secara adil. Bahkan Jeslin juga membaginya untuk teman-teman di kantor. Oma-nya memang sangat suka membuat berbagai camilan, dan Jeslin sangat suka makanan buatan sang nenek.

Gedung bertingkat yang dulu milik sang Papa, kini sudah beralih diurus oleh Daniel. Begitu Jeslin masuk, di pintu depan dia sudah disambut oleh karyawan yang sudah hafal betul siapa Jeslin.

"Daniel mana?" tanyanya sambil jalan terus menuju lift.

Wanita dengan setelan rapi tersebut juga mengikuti langkah Jeslin. "Ada di kantornya, Bu. Mari saya bantu bawakan belanjaannya," katanya berusaha sopan. Dia adalah sekertaris Daniel yang sebenarnya hendak keluar kantor sebentar karena suruhan sang pemimpin perusahaan untuk membeli kopi.

"Nggak usah. Aku sendiri saja. Kamu mau ke mana, Siska?" tanya Jeslin sambil melirik padanya.

"Disuruh Pak Daniel beli kopi di depan. Ada temannya juga di atas."

"Teman? Siapa? Pacar?"

"Bukan, Bu. Laki-laki."

"Oh ya sudah. Kamu beli kopi saja sana. Saya pesankan satu juga, black coffe, ya. Makasih Siska," ucap Jeslin yang kini sudah masuk ke dalam lift, dan menutup pintunya.

Siska hanya berdiri di depan pintu lift sambil mengangguk. Semua orang tau, kalau Daniel memiliki selera bagus untuk seduhan kopi. Dia jarang minum kopi di kantor, atau memesan ke pantry. Daniel lebih suka kopi buatan kafe yang ada di depan kantornya.

Jeslin sudah sampai di lantai 15. Di mana itu merupakan lantai paling atas di gedung ini, dan ruangan Daniel berada. Lantai ini hanya memiliki satu ruangan khusus milik Daniel. Tempat kerja Siska berada tepat di depan pintu masuk ruangan Daniel, dengan meja besar dan panjang ditambah sekat setinggi dada orang dewasa sebagai privasinya.

Tanpa ragu, Jeslin berjalan menuju ruangan Daniel sambil menenteng beberapa paper bag di kedua tangannya. Sampai di depan pintu yang bertuliskan direktur, Jeslin segera masuk ke dalam tanpa mengetuk atau mengucapkan salam lebih dulu.

Dua pria yang berada di dalam langsung menoleh padanya. Sama-sama terkejut dengan kedatangan gadis itu.

"Loh, Kakak sudah sampai? Nggak ketemu Siska? Kan bisa bantu bawakan barang-barang," kata sang adik sambil menyambut kakaknya dan langsung mengambil alih barang bawaan Jeslin.

"Ketemu tadi di bawah. Aku bisa kok sendiri. Kasihan nanti Siska bolak-balik."

"Duduk dulu. Capek, kan?"

Pria satunya, yakni teman Daniel tadi, sempat bengong sambil terus memperhatikan Jeslin. Gadis itu pun ikut menatap laki-laki tadi sambil mengerutkan kening.

"Kamu ...?" tanya Jeslin sambil menunjuk pria yang masih berdiri kaku di dekat meja kerja Daniel.

"Iya, aku. Kita ... Ketemu lagi," ucapnya dengan seulas senyum tipis.

Ben tidak menyangka jika dia akan bertemu lagi dengan Jeslin di tempat ini. Terlebih lagi dia terkejut saat mendengar Daniel memanggil gadis itu dengan sebutan kakak. Ben tidak tau kalau gadis yang ia jumpai dua kali sebelumnya itu ternyata kakak Daniel, sahabatnya. Daniel memang tidak pernah memperkenalkan keluarganya. Ben hanya mendengar cerita tentang keluarga Daniel dari mulut sahabatnya, tanpa tau bagaimana rupa mereka. Tidak ada satu pun foto di ruang kerjanya, tentang orang tua ataupun kakaknya. Karena mereka memang tidak pernah melakukan foto keluarga sebelumnya. Sedekat apa pun Daniel dan Jeslin, keduanya tidak pernah sekalipun mengabadikan kebersamaan sejak dulu.

"Loh, kalian sudah saling kenal rupanya?" tanya Daniel sambil menatap keduanya bergantian.

"Enggak kenal kok. Cuma pernah ketemu aja," sahut Jeslin sambil membuka bawaannya tadi.

"Ketemu di mana?"

"Dua kali. Pertama di Gor beberapa minggu lalu, yang kedua ...." Jeslin langsung melotot mengingat tempat kedua yang tidak jadi ia ucapkan ke adiknya.

"Yang kedua, di ...?" tanya Daniel meminta kelanjutan kalimat Jeslin tadi. Kini Daniel beralih menatap Ben, sahabatnya untuk memberikan penjelasan lebih.

Gadis itu langsung menatap Ben sambil melotot, tak lama menggeleng pelan. Ben yang bingung dalam situasi itu tampak gugup. "Yang kedua di ... Mal. Aku lagi sama Diva, nemenin dia belanja keperluan bayi. Terus kakakmu juga lagi jalan-jalan. Eh dia sama Diva nggak sengaja tabrakan. Jadi kita tegur sapa sebentar. Nggak sangka aja kalau dia kakak kamu, Nil?"

"Wah, kebetulan banget sih itu. Jangan-jangan kalian berjodoh," sindir Daniel.

Pintu diketuk, suara Siska mengalihkan pembicaraan tadi. Daniel segera menyuruh sekretarisnya masuk. Aroma kopi pun langsung masuk ke pangkal hidung Jeslin. Dia segera meminta jatah miliknya. "Punyaku, Siska?" pinta gadis itu dengan tingkah menggemaskan. Ia mengulurkan tangan kanannya ke Siska, sambil memiringkan kan kepalanya ke kiri, tak lupa senyum manis Jeslin kembali terbit.

"Ini, Bu. Kopi hitam dengan sedikit gula?" tanya Siska mengoreksi apa yang sudah ia pesan.

"Betul. Pinter kamu," sahut Jeslin segera menerima gelas kertas berwarna cokelat dari tangan Siska.

"Kakak sudah menghubungi Oma?" Daniel segera duduk di dekat sang kakak, sambil menyeruput kopi panas miliknya. Ben yang sejak tadi berdiri, kini ikut duduk di dekat mereka. Beberapa kali dia memandang Jeslin tanpa gadis itu ketahui. Tingkah Jeslin terlihat menggemaskan bagi Ben. Hingga dia tidak ingin berpaling menatap Jeslin yang kini ada di hadapannya. Cara Jeslin menyeruput kopi dengan suara berisik, sambil membuka camilan yang ia bawa sendiri tadi. Tanpa ragu dan malu, ia membuka sebuah pai buah, lalu menggigitnya. Ujung jari telunjuk serta ibu jarinya, ia kecup karena sisa pai yang tertinggal di sana.

Kedua kakak beradik itu terlibat obrolan mengenai kakek dan nenek mereka. Ben tidak keberatan saat mereka seolah tidak menganggap dirinya ada, karena tidak melibatkannya dalam obrolan keluarga itu. Toh, Ben justru sedang menikmati menatap segala tingkah Jeslin yang baru ia ketahui sekarang.

Namun sebuah pertanyaan melintas di kepalanya. Mengingat tentang pertemuannya dengan Jeslin di tempat dokter kandungan kemarin. Ben menilai kalau Jeslin belum menikah, tapi kenapa dia mendatangi dokter kandungan.

Satu jam berlalu, kopi sudah tanda beserta beberapa camilan yang Jeslin bawa. Akhirnya dia pamit karena harus kembali ke kantornya lagi.

"Kakak mau aku antar?" tanya Daniel saat Jeslin sedang merapikan penampilannya, karena remahan kue-kue yang jatuh di blazer abu-abu kesukaan kakaknya membuat Jeslin makin terlihat seperti anak kecil, yang makan berantakan.

"Nggak usah, aku naik taksi aja." Jeslin tidak menatap sang adik, dan hanya fokus pada pakaiannya.

"Eum, maaf, bareng aku aja. Kebetulan aku juga mau balik," kata Ben tiba-tiba.

Jeslin menatap sahabat adiknya tersebut tajam. "Nggak usah. Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih," katanya agak sinis.

Daniel berdeham sambil melirik Ben, ingin melihat bagaimana reaksi Ben mendapat penolakan dari Jeslin. Tapi Ben tampak bisa menguasai situasi. Ben hanya tersenyum tipis dan terus melihat Jeslin yang sama sekali tidak memedulikan keberadaannya. Jeslin akhirnya pergi meninggalkan ruangan Daniel. Ben masih menatapnya, bahkan saat pintu sudah ditutup, membuat Daniel menarik ujung bibirnya. Daniel mendekat dan berbisik. "Kenapa? Kakak ku cantik, kan?" tanya Daniel dan berhasil membuat Ben menatapnya dan segera melayangkan pukulan ke perut datar Daniel.

Keduanya lantas kembali duduk santai dan membahas rencana bisnis yang tadi dibahas sebelum Jeslin datang. Namun dipertengahan obrolan tersebut, Ben memberanikan diri bertanya tentang Jeslin lebih jauh. Ia berusaha menjadikannya sebuah obrolan basa basi, agar tidak terlalu ketara apa maksud dan tujuan Ben sendiri.

"Kakakmu ... Udah nikah, ya?" tanya Ben sambil meneguk kopi yang sudah mulai dingin.

Daniel mengerutkan kening lalu melirik sahabatnya. "Kenapa?"

"Cuma tanya. Kelihatannya dia udah dewasa dan udah pantas punya suami dan anak," tutur Ben agak kelabakan saat ditanya seperti itu.

"Maksud mu, kakakku terlihat tua?"

"Nggak gitu, Nil." Ben tampak menunjukkan wajah masam karena kalimat Daniel tadi.

"Hahaha. Iya, aku cuma bercanda. Enggak kok, kakakku belum menikah. Masih lajang. Kenapa? Kamu naksir?" sindir Daniel sambil menggoda Ben.

"Memangnya boleh?"

"Loh, kenapa nggak boleh. Silakan saja, kalau kamu memang punya niat lebih. Yah, asal kuat saja menghadapi sikap kakakku."

"Maksud kamu? Sikap yang bagaimana?" tanya Ben yang makin penasaran.

"Kakakku itu nggak gampang dekat sama laki-laki. Malah terkesan suka menutup diri. Dan kamu lihat sendiri, kan, tadi? Gimana?"

"Oh begitu."

"Iya. Kenalan ku yang berniat mendekati Kak Jeslin itu bukan cuma kamu. Banyak. Cuma mereka selalu berhenti ditengah jalan, dan mundur pelan-pelan. Nggak ada yang tahan."

Ben menarik nafas dalam. Ada setitik harapan baginya untuk bisa mendekati kakak sahabatnya itu. Namun ada satu pertanyaan yang justru mengganjal di hatinya sekarang.

Kalau memang Jeslin masih lajang, untuk apa dia datang ke dokter kandungan kemarin?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!