5. Mendekati Bu Aris

Aris membalas dengan senyum kecut. Dia tahu kalau gaji yang diterima Afri berkisar 5 juta sebulan, dengan biaya hidup rata-rata 2 sampai 3 juta, tergantung pengeluaran dan gaya hidup.

"Tinggal sama orang tua atau ngekos?" Mereka bekerja berdampingan lebih dari tiga tahun tapi Aris menyadari tidak banyak yang dia tahu tentang diri Afri. Bisa saja pemuda itu punya usaha sampingan.

"Ngekos, Bu. Ibu saya tinggal bersama kakak di Lemahboyo. Ibu masih ada orang tua?" Afri balik bertanya.

"Ada, Ibu sambung, di Kediri."

Pembicaraan mereka terhenti saat makanan dihidangkan namun tidak segera berlanjut seusai keduanya selesai.

Aris sangat enggan membahas lagi hal yang menurutnya tidak perlu. Tapi dengan menunda, dia malah buang waktu yang bisa dihabiskannya beristirahat. Padahal dia cukup senang bisa duduk santai dan ngobrol tentang banyak hal dengan Afri, seperti saat ini, tanpa ada yang harus mengikat status mereka dalam batasan-batasan tertentu.

"Saya ..." ujar Afri, memecah kesunyian di antara keduanya. "Sudah beberapa lama saya ingin jadi lebih dekat dengan Bu Aris."

Aris tidak menatap langsung ke arah Afri, tapi dia memberikan perhatian penuh dengan kata-kata pria yang lebih muda itu.

"Awalnya saya tidak berniat mengungkapkan perasaan sama sekali, tapi setelah kejadian demi kejadian hari rabu kemarin." Afri menatap lekat-lekat ke objek favoritnya.

Aris mendengar gumam umpatan Afri sebelum dia melanjutkan.

"Saya tidak bisa menahannya lagi." Afri meraih tangan Bu Aris yang berada dekat dengan jangkauannya. Dia ingin menunjukkan keseriusannya dengan cara apapun, agar Bu Aris percaya dan bisa memberi hasil sepositif mungkin.

Aris terkejut dengan tangan Afri yang dingin dan sedikit gemetaran.

"Bu Aris, saya ingin jadi pacar Ibu."

Aris bisa menduga arah pembicaraan Afri tapi mendengarnya langsung tetap membuatnya terkejut. Hubungan kerja mereka bisa rusak, hubungan kerja mereka dengan perusahaan bisa rusak, apa yang..

"Saya tidak ada niat mempermainkan Ibu. Kalau perasaan ini keliru, mana mungkin itu bisa berdiri dan ..."

Tidak! Jangan lanjutkan! Teriak Aris dalam hati. Dia tidak ingin mendengar detil tentang dirinya jadi bahan imajinasi orang lain. Spontan dia menutup mulut Afri dengan tangannya yang lain.

"Maaf, Afri, tapi aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku tidak pernah melihatmu seperti itu." Aris menarik kedua tangannya kembali ke pangkuannya. "Hanya karena aku sedang tidak ada pasangan bukan berarti aku bisa menerima siapa saja."

Aris mengira Afri akan terdiam dan mundur, bukannya malah tersenyum dan mencondongkan badannya ke depan.

"Saya sudah menduga Bu Aris akan menolak saya. Tapi saya tidak akan diam dan mundur." Afri kembali meraih tangan Aris sambil memastikan wanita yang diincarnya itu paham akan niat dan maksudnya.

"Ini bukan cerita roman, Afri. Perasaanku tidak akan berubah bagaimanapun kamu memaksa." Aris berusaha menarik tangannya agar lepas dari genggaman Afri.

"Tentu saja, semua bilang begitu pada awalnya."

.

Aris sempat curiga dan berprasangka buruk karena Afri memaksa mengantarnya pulang ke rumah kontrakan. Aris beralasan kalau motornya masih di kantor, jadi dia ingin diantarkan ke kantor saja. Afri yang menolak malah berjanji mengantar Aris kalau dia perlu pergi ke suatu tempat besok minggu.

"Saya ingin membuktikan kalau Bu Aris bisa mengandalkan saya untuk urusan pribadi," ujar lelaki yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu.

Dia tidak ingin berdebat panjang lebar dan menarik perhatian orang lain jadi Aris mengalah dan menyudahi argumen mereka. Dia juga tidak ingin menganalisa kata-kata Afri yang terdengar sangat suggestif, yang mendengar saja membuat wajah Aris memanas.

Sama sekali tidak terlintas dalam benaknya kalau Afri punya mulut yang kotor.

. . .

Dok dok dok...

Dok dok dok...

"Bu Aris! Bu Aris!"

Dok dok dok...

Dok dok dok...

Aris perlahan bangun saat mendengar namanya dipanggil dari luar.

Siapa yang berisik di depan kontrakannya pagi-pagi begini...

Hanya mengenakan training usang dan kaos belel, Aris berjalan ke pintu depan. Dia mengintip dari balik korden dan heran melihat Afri berdiri di sana.

Aris membuka pintu dengan malas-malasan.

"Ada apa pagi-pagi...hoaahm.. Ada apa?"

Afri tertegun melihat pemandangan di depannya. Atasannya yang biasanya datang ke kantor dengan pakaian rapi dengan rambut disisir rapi, selalu memakai make-up meski tipis, dan pakaian yang selalu disetrika dengan mulus, berubah total.

Rambut sebahu beliau yang dibiarkan tergerai, acak-acakan sehabis bangun tidur dan pakaian yang dia pakai tidak hanya tipis, jahitannya banyak yang brodol dengan kerah yang gripis akibat seringnya dipakai.

Yang tetap sama hanya sepasang mata bulat yang menatapnya dengan fokus.

"Hoooaaaahmmm ..." Bu Aris menguap lagi, kali ini lebih lebar. Tangannya yang garuk-garuk perut di balik baju membuat Afri ingin tertawa.

"Saya mau ajak Bu Aris olahraga. Mumpung minggu pagi biar badan bugar." Agar terlihat meyakinkan, Afri tidak lupa menambahkan senyumnya yang paling manis, yang biasanya mempan untuk merayu orang lain.

Bu Aris masih memandang Afri dengan cuek. "Kamu olahraga sendiri saja. Aku ada acara lain."

"Acara apa, Bu? Saya ikut, ya?" Afri masih memaksa.

"Ngapain aku bawa-bawa sekretaris ke hajatan keluarga." Kali ini wajah Bu Aris kelihatan sangat jengkel, dengan alis bertaut, mata menyipit dan suara yang kasar.

Afri tahu tidak akan mudah membujuk dan mendekati atasannya itu. Dia tidak menyangka ajakannya akan ditolak dengan alasan yang jelas, bukan alasan yang dibuat-buat. Hatinya bahagia karena telah memilih seseorang dengan pekerti terpuji.

"Kebetulan saya ada perlu di daerah sana. Ibu siap-siap saja kalau begitu, saya akan segera balik." Afri berbalik ke arah sepedanya, "Jangan berangkat sendiri!"

Sebentar saja, sosok Afri sudah menjauh. Aris pun berbaik masuk rumah dan menutup pintu. Saat itulah dia baru terpikir sesuatu. Memangnya aku sudah bilang, acaranya dimana?

. . .

Aris menyangka kalau Afri akan muncul naik motor macho miliknya, bukan mobil xenia warna silver yang bodinya masih mulus. Interiornya bersih dan standar, hanya lebih wangi dibanding mobil rental atau kendaraan kantor.

Sekretarisnya itu pun tidak kelihatan canggung berada di balik kemudi.

"Nggak naik motor?" tanya Aris.

"Siang-siang panas, Bu. Ke arah mana ini?" Afri mulai memasukkan gigi setelah memastikan Aris siap berangkat.

"Dekat Merr, perumahan Pondok Tjandri."

"Mau lewat tol atau lewat bawah, Bu?"

Jam di dashboard menunjukkan pukul 10 lebih 15 menit.

"Lewat bawah, aku nggak bawa uang elektronik."

Afri mengeluarkan kartu elektronik-nya sambil tersenyum lebar dengan pose tangan menyilang di depan wajah. "Saya memang tidak punya karpet terbang, tapi saya ada mobil dan kartu ini."

Aris tertawa dengan tingkah Afri yang norak. Untung saja bekas memar di pelipis pemuda itu hanya tinggal samar-samar, dia akan merasa bersalah kalau Afri harus bertemu orang lain dengan wajah lebam.

"Sudah, kamu fokus nyetir saja," ujar Aris sambil mengatur raut wajahnya.

Afri tersenyum puas melihat reaksi Bu Aris yang tidak rikuh dan kaku meski dia memaksa ikut.

. . .

Saat mereka sampai di tujuan, sudah banyak kendaraan yang terparkir di dekat rumah sohibul hajat.

"Aku turun sini saja, kamu masih ada urusan kan? Nanti aku pulangnya pesan lewat online."

Afri yang tidak kehilangan akal langsung berseru, "Tunggu, Bu! Nanti saya jemput."

Aris berpikir sebentar sebelum menjawab. "Kabar-kabari kalau gitu, kan tidak tahu urusanmu berapa lama."

"Iya, Bu." Afri tersenyum sambil menunggu pintu mobil ditutup. Dia segera mencari tempat yang lebih longgar untuk parkir, lalu melihat diri di cermin sebelum turun.

Afri melihat keadaan dari luar, seperti hajatan pada umumnya, orang berkumpul sambil berbicara dan menikmati hidangan yang ada sambil sesekali anak kecil berseliweran membawa gelas berisi es krim. Tidak tampak adanya kuade maupun para wanita yang memakai dresscode khusus. Dalam hati dia bertanya hajatan apa yang digelar tuan rumah.

Meski beberapa orang melihatnya dengan pandangan penuh tanda tanya, Afri tetap dipersilahkan duduk dan menikmati jajanan yang tersedia. Dengan senyum ramah, dia berterima kasih dan tanpa sungkan, mengambil suguhan yang ada.

Aris yang sudah bersalaman hampir dengan seluruh anggota keluarga yang hadir, mendekati meja es buah. Siang itu lumayan terik, ditambah dengan rumah yang penuh sesak dengan tamu dan kurangnya aliran udara segar, membuat Aris kegerahan. Untung tadi diantar Afri, jadi nanti bisa pulang naik ojol.

"Kapan sampainya, Ris?"

Aris menoleh, disana berdiri kakak laki-lakinya menggendong balita cantik.

"Seperempat jam, Mas Yan. Hai, Nicca, ayo salaman dulu sama Tante..."

Balita berambut ikal dan pipi tembam kemerahan itu hanya berkedip sebelum mengacuhkannya.

"Mbak Vita mana?" Aris balik bertanya sambil mencoba merayu keponakannya itu.

"Masih ngganti popoknya Irfan. Ayo, Nisa, salim dulu sama Tante Aris ...." Kakak Aris itu mengulurkan tangan anak perempuannya ke arah Aris. "Gimana kabarmu?"

"Nicca ..." Panggill Aris dengan suara sok imut. "Masih seperti biasa, Mas. Kalau aku dipecat nanti langsung nglamar jadi pegawaimu."

Gadis kecil itu menggeliat menjauh. "Noooo!!! No!! Ndaaa... ndaaa!!!"

"Hahaha, bisa aja. Kenapa nggak buka usaha sendiri? Orang suka tempat nongkrong. Rame semua." Mas Yan sedikit kewalahan dengan gadis kecil di gendongannya yang terus meronta sambil berteriak kencang.

R.I.P. gendang telinga..

"Apa, Ca? keseringan ketemu sampai nggak kenal, ya? Tante Aris, sering-sering main ke rumah Nicca." Irfan berkomentar sarkastik tanpa berniat menyinggung. "Aku ke Vita dulu."

Aris yang sedikit sedih karena tidak dikenali oleh keponakannya sendiri hanya mengangguk sambil tertawa kecil. Dia mengakui memang jarang menghabiskan waktu berkunjung ke rumah kakaknya. Ada rasa canggung saat dirinya berada di antara dinamika keluarga mereka.

Dan rasa iri yang sesekali muncul tiap melihat keakraban mereka.

Aris beberapa kali mencoba mendekati laki-laki yang mendekati kriterianya untuk dijadikan pasangan hidup. Namun bayangan kegagalan pernikahannya yang pertama masih berakar kuat hingga tidak satupun pria yang dikenalnya membuat Aris ingin membawa hubungan mereka lebih jauh.

Saat berbalik dan hendak keluar menghirup udara segar, dia terkejut melihat Afri yang tengah duduk di antara sepupunya.

"Katanya ada urusan?" tanya Aris sambil duduk di tempat kosong yang tersedia.

Pemuda itu mengangguk. "Iya, waktu aku cek hape ternyata di cancel. Dia ada urusan mendadak."

"Tadi kamu tinggal pulang aja nggak apa, aku bisa pulang naik ojol."

"Tidak, Bu. Mumpung ada makan siang gratis," jawab Afri yang memancing gelak tawa di sekitar mereka.

"Gajinya di kantor kecil ya, sampe masi bingung uang makan." Goda salah satu dari mereka.

"Jadi boss jangan pelit-pelit, Mbak Aris. Naikkan gajinya lagi."

"Nanti pulangnya bungkus yang banyak, Afri."

Aris yang merasa malu sekaligus geli dengan tingkah Afri akhirnya ikut menanggapi dengan tertawa. Sebagian dirinya senang menemukan sisi lain Afri yang tidak dia temui di kantor, sebagian lagi bersyukur dia tidak jadi meninju wajah ganteng Afri sampai bonyok. Tapi sampai kapan pemuda itu terus berusaha mendekat dan menyatakan ketertarikannya?

.

.

Terpopuler

Comments

Suwarni Tuban

Suwarni Tuban

semangat thor

2023-06-01

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!