2. Terpaksa Mandi di Kantor

Sebelum pria di depanku melakukan sesuatu, aku mendapat ide bagus, ku sodorkan ponselku ke arah Afri.

"Afri, aku tadi pesan kurir, tolong kamu handle dulu, ya. Nanti tolong bawakan, aku ke kamar mandi di sebelah ruang rapat C."

"Iya, Bu. Tapi baju Ibu?"

Aku melambaikan tangan, isyarat untuk 'sudah, lakukan saja' sambil berjalan ke toilet dekat ruang rapat C.

Apa yang bisa aku lakukan kalau sudah kepalang basah begini. Mau marah-marah ke pegawai baru hanya karena tidak sengaja akan berdampak negatif. Nggak baik untuk suasana kinerja produktif.

Untung laundry bisa diambil secepatnya.

Lantai 8 terdiri dari kantor para eksekutif dan ruang rapat, ada banyak tamu penting yang datang kemari. Karena itu, toilet di sini berbeda dengan toilet karyawan biasa. Selain sabun dan tissue yang selalu terisi, ruangan yang diberi pewangi, dan interior yang lebih mewah. Perbedaan paling mencolok adalah adanya bilik shower yang dilengkapi dengan sabun dan shampo.

Aku masuk ke salah satu bilik dan melepas satu persatu yang kukenakan, sepatu, kaos kaki, kemeja dan celana yang mulai lengket. Kubilas semuanya kecuali sepatu hak rendah yang terbuat dari kulit.

Baru saja aku mulai melangkah ke bawah siraman air waktu kudengar pintu terbuka.

"Bu Aris?" panggil suara yang kukenal.

Aku membuka sedikit pintu bilik. Untung pakaian dalamku belum kulepas tadi, tapi kupakai lagi kemeja yang basah agar tidak terlalu terbuka. "Iya, Afri."

Afri berdiri di dekat deretan wastafel, ada tas plastik besar.

"Ibu sudah selesai? Ini pakaian gantinya saya ambilkan, ya?"

Aku melihat ke arah tumpukan pakaian basah, hanya ada sedikit tempat untuk pakaian kering.

"Iya, tolong ambilkan."

Terdengar bunyi plastik disobek sebelum langkah sepatu Afri mendekat menggema di seluruh ruangan.

"Saya ada rencana nge-gym makanya bawa handuk. Kalau Bu Aris tidak keberatan silahkan dipakai." Afri menyerahkan tumpukan kecil, paling atas ada handuk warna coklat gelap yang kelihatan lembut dan empuk.

"Kamu nggak usah repot-repot." Aku merasa tersentuh dengan kebaikan hati pemuda yang sudah tiga tahun bergabung dengan jajaran stafku.

"Tidak, Bu. Tidak repot. Kalau Ibu sungkan, Bu Aris bisa traktir saya makan buat gantinya," sahut Afri tetap kalem dan ramah.

"Aku pinjam dulu handuknya kalau begitu." Aku sudah balik ke shower ketika ingat sesuatu dan berbalik lagi.

Afri yang sedang jongkok, mendongak melihat ke atas. Aku sedikit bergeser ke samping agar wajahnya tidak terlalu dekat dengan bagian itu..

Tersenyum seolah tidak ada yang terjadi. "Saya tadi carikan selop untuk Ibu pakai sementara."

"Ah, iya ... Sekali lagi terimakasih," ujarku sebelum menutup pintu tepat di depan wajahnya.

Rasa malunya setengah mati sampai aku gerakan spontan, mudah-mudahan nggak sampai kelihatan celana dalamku.

Nanti kalau pas nraktir makan saja aku sekalian minta maaf. Sekarang mandi dulu saja deh.

.

Selain jam makan siang yang habis untuk mandi dan mengurus pakaian basah, sisa waktu kerja berjalan dengan aman. Kekhawatiranku suasana bakal aneh dengan Afri juga tidak terjadi. Dia tetap bekerja seperti biasa, membantu mencatat dan merapikan hasil rapat, membuat poin-poin, untuk kami ajukan sekali lagi ke bagian direksi sebelum ditindaklanjuti.

Aku menghela nafas lega waktu jam dinding menunjukkan pukul 4.30 sore.

Setengah jam lagi bisa pulang.

! Pik!

Muncul notifikasi pesan di chat kantor.

Asmoro Bangun : "Bu Aris, tolong naik sebentar."

Aristya Marwojo Putri : "Baik, Pak."

Aku penasaran karena tidak biasanya Pak Bangun memanggil langsung, apalagi lewat chat kantor.

"Nanti kalau pulang hati-hati, ya. Pastikan komputer dan alat lainnya sudah mati semua." Aku mengingatkan sambil berjalan mengitari deretan meja staf-ku.

"Mau kemana, Bu?" tanya Ika.

"Pak Bangun," jawabku singkat.

Karena semua sudah pada mindset bahagia 'sebentar lagi pulang', aku tidak terlalu memperhatikan waktu Afri menggerakkan bola matanya mengikutiku.

Kantor Pak Bangun, bersama direksi dan anggota eksekutif lain, ada di lantai 8. Aku memilih lewat tangga sebagai kompensasi akibat jarang berolah raga.

Aku yang lupa dengan berbagai insiden sejak pagi, melangkah pede ke anak tangga pertama dan kedua. Disitulah aku diingatkan dengan kondisiku yang tidak memakai daleman. Gerakan udara yang berhembus dengan kulitku yang mendadak sensitif, memberi stimulasi yang tidak pada tempatnya.

Ya sudah bagus tadi ada Afri yang bisa aku mintai tolong mengurus laundry sementara aku mandi setelah ketumpahan es lengket, mana mungkin juga aku menyuruh orang lain membeli pakaian dalam buatku. Jangankan menyuruh orang melakukan hal seperti itu, aku mau menyebut ukuranku ke petugas penjual di toko saja sudah malunya minta ampun!!!

Sambil terus berargumen dengan diriku sendiri, aku mempercepat langkah menaiki tangga dan sebentar saja sudah sampai di depan pintu kantor Pak Bangun.

Sekretaris muda yang duduk di dekat pintu, berdiri dan mengetuk pintu sebelum membukanya.

"Silahkan masuk, Bu. Pak Bangun sudah menunggu."

Aku mengangguk pada wanita itu sebagai ganti terimakasih.

Di dalam ruangan yang mulai dipenuhi sinar matahari senja, Pak Bangun duduk bersandar di meja sambil membalik halaman dokumen di tangannya.

"Maaf saya panggil pas mau pulang, Bu Aris." Dia meletakkan dokumen di meja.

"Tidak apa, ini masih jam kerja," jawabku mengatakan apa adanya.

"Benar. Karena itu saya mau bilang kalau minggu depan saya ada jadwal keluar kota selama 5 hari." Pak Bangun berbicara sambil menatap tajam ke arahku, seolah menantang diriku protes. "Karena pekerjaan cukup lama, aku berencana membawa Aya."

"Apa ada yang lain, Pak?" Aku berusaha tidak menunjukkan emosi apapun.

"Apa lagi? Ya seperti biasa, tolong bantu handle hal-hal kecil di sini sementara saya tidak di tempat. Bu Aris kan sudah sepuluh tahun jadi wakil direktur, jadi sudah paham benar apa saja yang perlu dilakukan."

"Ah, satu lagi." Pak Bangun mengambil amplop yang tergeletak di meja, tangannya lalu terulur ke arahku. "Ayo, ambil, jangan sungkan."

Dengan enggan, kuterima amplop putih polos tanpa penanda.

"Saya permisi dulu." Aku sudah berbalik dan akan meninggalkan ruangan waktu Pak Bangun kembali berbicara.

"Kamu tidak bertanya apa isinya?" Suaranya terdengar seperti menertawakan diriku.

"Kalau memang penting pasti Pak Bangun sudah menginformasikan lebih dulu," sahutku sambil membuka pintu. Kali ini aku tidak berhenti meski terdengar suara tertawa di belakangku.

Aku tidak berhenti berjalan sampai kembali duduk di mejaku. Rasa jengkel yang terus bertumpuk sejak pagi dengan adanya kejadian demi kejadian membuat aku ingin meledak. Tapi orang yang meledak-ledak itu nggak keren, jadi aku merasakan kepala berdenyut sebagai gantinya.

Amplop putih yang agak kucel karena kupegang dengan kasar, masih duduk manis tanpa dosa di atas mejaku yang masih berantakan.

"Nggak siap-siap pulang, Bu Aris?" tanya Afri.

Bahkan Afri yang biasanya pulang paling belakangan saja sudah siap menutup hari ini. Tanpa aku sadari tinggal kami berdua di ruangan yang makin oranye.

Aku tidak punya kata-kata untuk menjawab Afri.

Pria muda berambut cepak itu berjalan mendekat.

"Kamu bisa duluan, Afri, aku juga akan segera pulang." Aku mulai merapikan berkas-berkas yang ada di meja. Sebagian tetap dalam tumpukan rapi, sebagian masuk laci, beberapa alat tulis juga aku kembalikan ke wadahnya semula. Hanya tinggal amplop putih yang belum disortir.

"Pak Bangun bikin ulah apa lagi, Bu?" tanya Afri lagi.

Aku sedikit terkejut karena dia tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.

"Hati-hati kalau bicara." Aku mengingatkan dengan setengah hati.

"Siapa yang tidak tahu kalau Pak Bangun kerjanya cuma main-main. Selalu Bu Aris yang bekerja keras tapi mereka menutup mata seolah itu semua berkat Pak Bangun."

Dalam hati aku tahu kalau Afri marah menggantikan diriku, tapi dengan dia berdiri begitu dekat dan wajah penuh amarah itu menghadap ke arahku, aku sedikit terintimidasi.

"Bu Aris, kalau Ibu mau, saya bisa membuat biar Pak Bangun sendiri yang kena getahnya." Tangan Afri meraih sandaran kursi yang aku duduki. Dia masih berbicara menggebu-gebu.

Ugh ... kenapa dia harus bicara dari jarak sedekat ini ...? Aku jadi bingung harus melihat kemana ....

Ke matanya? Ke pipinya? Ke bibirnya ...?

"Bu Aris..." Suara Afri mendadak berubah mengagetkanku.

Aku melihat ke arah mata yang sedang memandang balik dengan lekat. Cara Afri melihatku yang berbeda dari biasanya. Bulu tengkukku mendadak meremang mengikuti arus atmosfer yang berubah dari beberapa saat lalu.

Kilatan aneh yang terpampang di mata Afri belum sempat kutelaah saat pemuda itu mendadak menarik kerah bajuku.

"Bu Aris," panggil Afri sekali lagi dengan suara yang bergema di tenggorokannya. "Aku sudah berusaha menahan diri selama ini agar tidak mendekati Ibu. Terutama hari ini... Ibu kira nggak akan ada yang melihat garis ceIana dalam Ibu?"

What?!?!

Apa yang bocah ini bicarakan?!

"Saat Ibu berdiri di sorot lampu proyektor, atau saat pegawai wanita itu menumpahkan minum ke arah Ibu? Saya berusaha keras tidak merobek baju dan menyerang Bu Aris saat itu juga."

Kejadian demi kejadian yang telah berlalu, melintas di kepalaku, bercampur dengan realita saat ini. Tangan Afri yang mencengkram bagian depan bajuku, dan tangannya yang lain yang memegangi tanganku, seolah mencegah aku melakukan sesuatu.

Kadal! Harusnya aku yang megangi kamu agar tidak macam-macam ke aku!!

"Waktu Ibu mandi .... Kalau saja Ibu tidak menutup pintu waktu itu ... haaah .... Saya juga nggak tahu apa yang akan terjadi."

Memangnya apa yang akan kamu lakukaaan?!?! Teriakku dalam hati.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Suwarni Tuban

Suwarni Tuban

Ya Ampun, sekretaris apa sekret-aris ini? hahahaha

2023-05-28

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!