Siang itu Afri yang akan turun makan siang, melihat suasana departemen lain yang lebih hiruk pikuk dibanding biasanya. Suara mesin fotocopy yang tidak berhenti, pembicaraan di telepon tentang konfirmasi atau spesifikasi yang diminta, dan cklak cklik dari mouse atau keyboard. Hal yang sama terjadi di ruang pantry, ada banyak karyawan yang berbicara sambil menikmati minuman mereka.
"Kepalaku kaku dari pagi sudah mantengin komputer." Salah satu dari yang berkumpul mengeluh pada temannya.
"Iya, aku dengar dari temanku di marketing mereka mendadak sibuk, awalnya ada tujuh orang yang megang join promo, sekarang tinggal lima. Kejar laporan katanya."
"Hahaha, untung aku nggak di kantor utama. Bisa naik tensiku," sahut yang lain, yang membelakangi Afri.
Temannya yang mengenal Afri menatap pria jangkung itu dengan mata terbelalak ketakutan, menyodok staff yang terlalu jujur tadi.
"Pak Afri, mau makan siang bareng?" Staff yang lain buru-buru mengalihkan pembicaraan dengan gugup.
"Lain kali saja, ini saya mau menyiapkan kopi buat Bu Aris," tolaknya halus dengan senyum kecil sambil berlalu.
Para karyawati itu tersenyum manis sebelum menghilang dari pandangan Afri. Dia mengambil cup kertas, mengisinya dengan kopi hitam dan dua sendok gula sebelum menuang air panas. Dia mengambil cup yang lain, satu sendok kopi hitam, satu sendok cocoa dan dua sendok gula dan satu sendok susu. Afri suka kopinya berasa coklat dan manis tapi itu bukan berarti dia tidak menyukai orang yang suka minum kopi hitam.
"Ini, Bu Aris, silahkan. Hati-hati panas." Afri meletakkan cup kopi hitam di tempat biasanya.
"Terimakasih Afri." Aris menjawab singkat, dia bahkan tidak mengalihkan mata dari dokumen di tangannya.
"Ibu nggak makan dulu? Ini sudah jam makan siang."
Aris mengangkat wajahnya. "Aku bawa bekal, kamu bisa makan siang duluan."
"Baik, Bu." Usaha Afri yang gagal untuk bisa makan siang bersama tidak membuatnya kecil hati. Bu Aris yang dia kenal sering lembur dan makan malam di kantor kalau sedang fokus ke pekerjaan, terutama setelah Pak Bangun membuat ulah. Seperti saat ini.
Afri tidak menyukai Pak Bangun karena seringkali membuat masalah dalam hidup Bu Aris. Tapi sisi positifnya, dia bisa berada lebih lama bersama dengan atasannya itu, meskipun hanya untuk alasan pekerjaan.
. . .
Beberapa hari berselang dan Afri melakukan pekerjaannya seperti biasa. Dia merasa senang Bu Aris tetap bersikap sama seperti sebelum kejadian rabu sore itu. Bu Aris tidak menunjukkan perilaku jijik atau penolakan lain sekecil apapun. Meski beliau juga tidak menunjukkan reaksi positif atau apapun juga.
Tidak sama sekali.
Afri ingin menanyakan pada beliau, apakah ada kemungkinan bagi dirinya untuk bisa jadi lebih dekat, lebih dari sekedar sekretaris dan wakil direktur.
"Ibu ada rencana lembur juga malam ini?" Afri mendekati meja saat karyawan terakhir di ruangan mereka pamit pulang.
"Iya, sebentar lagi selesai," jawab Aris datar, masih sibuk dengan laporan di depannya.
Kecewa dengan respon dingin Aris, Afri mencoba cara lain. "Tapi sudah dua hari ini Ibu pulang malam. Dan kemungkinan besar minggu depan Bu Aris akan lembur juga mulai senin sampai sabtu."
"Besok minggu, aku bisa istirahat seharian." Aris akhirnya mengangkat mata dari layar komputer, ke arah Afri. "Kamu pulanglah dulu, biar aku selesaikan disini."
"Padahal Ibu janji akan mentraktir makan malam." Afri yang keceplosan, merasa malu sudah menunjukkan kekecewaannya.
Aris menghela nafas panjang dan bersandar dengan nyaman di kursinya. Rambut beliau yang mulai kusam dan kasar, ditambah kantong mata yang tebal membuat Afri sangat mengkhawatirkan keadaan atasannya itu.
"Apa harus sekarang? Kamu nggak males makan bareng atasan malam minggu begini?"
Afri yang tidak tahu apa maksud Aris, memutari meja untuk berdiri di samping wanita itu. Dia tidak lupa sedikit membungkukkan badan dan menatap Bu Aris tepat di matanya.
"Bu, kalau Ibu mengijinkan, saya dengan senang hati menghabiskan tiap malam di ranjang yang sama dengan Bu Aris."
"Hentikan!" Aris mendadak berdiri, wajahnya merah dan marah. "Hentikan Afri!! Dengan susah payah aku bisa mentolerir tindakanmu!! Tapi ini tindakan pelecehan seksual!! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!"
Afri merasa seperti ditampar dengan gunung es. Seluruh tubuhnya mendadak terasa dingin.
"Bu Aris, saya minta maaf karena kemarin saya memang melampaui batas. Tapi selain itu saya tidak melakukan tindakan apapun yang melecehkan Ibu!"
"Tidak Afri! Hanya karena aku sudah berumur dan lama menjanda bukan berarti aku akan membiarkanmu memainkan diriku!" Tangan Aris menggebrak meja hingga beberapa bolpoin ikut terlempar.
"Bu Aris! Saya tidak mempermainkan Ibu! Saya sungguh ingin ...."
"Cukup! Cukup!" Aris ganti mengangkat kedua tangannya dan menatap tajam ke arah Afri, menyebabkan pria yang jauh lebih muda darinya itu terpaksa menutup mulutnya.
"Kamu mau makan malam bersama 'kan? Baiklah, ayo kita makan." Aris lalu buru-buru menyimpan data komputer dan merapikan meja sekedarnya.
Afri yang kehabisan kata-kata dengan Bu Aris yang mendadak mengambil keputusan, hanya bisa mengikuti apa mau wanita itu. Dia berjalan di belakang wakil direktur yang wajahnya masih bersungut-sungut.
"Mau makan dimana?" Aris yang kesal karena pekerjaannya harus berhenti di tengah jalan, sedikit membentak.
"Saya tahu tempat yang enak, Bu. Biar saya yang menyetir." Afri berusaha tetap bersikap baik dan sopan.
Aris mengangguk sebagai ganti kata-kata. Dia juga tidak ingin terus-terusan bersikap ketus sehingga mempengaruhi suasana makan mereka. Aris percaya kalau makanan adalah berkah dari Tuhan yang harus dinikmati dengan baik.
Bagaimanapun, Aris terkejut saat Afri memberikan helm kepadanya. Terlebih saat motor yang Afri gunakan adalah jenis motor cowok seperti yang dipakai untuk balapan.
"Pegangan yang erat, Bu, biar lebih aman."
Dengan canggung, Aris mencengkram pinggang jaket yang dikenakan pria di depannya. Mungkin karena baru kali ini dia melihat sosok Afri dengan jaket kulit ketat dan helm gelap di atas motor, pria muda itu menunjukkan image yang jauh berbeda. Dia bukan lagi Afri sekretarisnya yang serba bisa dan cekatan serta jadi pusat perhatian para karyawati. Afri kali ini bagai pembalap yang gagah dan berkharisma.
"Sudah, Bu?" tanya Afri sambil menyalakan mesin motor.
"Iya, sudah," jawab Aris singkat. Tidak lama, tubuhnya sedikit terjengkang ketika motor mulai melaju dan berpacu di jalanan. Aris tidak punya pilihan lain selain melingkarkan tangannya di pinggang Afri, dan karena posisi goncengan yang lebih tinggi, mau tidak mau, dia menempelkan dadanya ke punggung Afri.
. . .
Sudah lebih dari 20 menit mereka berkendara tapi Afri tidak menunjukkan tanda-tanda kalau tujuan mereka sudah dekat.
Diri Aris yang biasanya pasti sudah akan menanyakan lokasi tepatnya tujuan mereka, berapa lama perjalanan, dan segudang pertanyaan lain. Dia memilih tidak memikirkan itu semua saat getaran kuat motor di bawahnya memberi perasaan tenang. Seolah Afri dan motornya merupakan jangkar yang membuat Aris tetap bisa tinggal meskipun tubuhnya diterpa angin kencang.
Hembusan angin dan jalanan yang berbeda dari yang biasa dia lalui setiap hari, pemandangan yang berubah dari deretan rumah, ruko, pertokoan lalu area persawahan dan tanah lapang yang ditumbuhi beraneka tanaman yang sejuk dipandang mata, mengurai kepenatan yang tidak dia sadar telah tertumpuk dalam hati dan meracuni pikirannya.
Aris merasa sedikit malu telah berbicara dengan membentak-bentak Afri tadi. Sebagai seseorang yang lebih tua, jauh lebih tua, dia harusnya lebih bijak dalam menghadapi semuanya. Sudah sewajarnya dia menghadapi semua dengan kepala dingin, dia bukan lagi anak kemarin sore yang tidak tahu tentang dunia.
.
Afri akhirnya memarkir motornya setelah masuk ke halaman sebuah Restoran yang cukup besar.
"Sudah sampai, Bu. Maaf, agak jauh tempatnya." Dia melepas helm dan sedikit bingung karena Bu Aris tidak kunjung turun. Afri khawatir kalau Bu Aris menolak turun dan makan bersamanya, terlebih setelah kata-katanya yang keras di kantor tadi. Atasannya itu juga diam saja selama perjalanan.
"Kalau Ibu tidak mau, saya bisa mengantar Bu Aris pulang sekarang." Afri menghela nafas panjang. Dia tidak ingin memaksa orang yang tidak berkenan. Dia tidak mau Bu Aris membencinya lebih dari ini.
"Sebentar, kakiku kesemutan, aku tidak bisa turun," ujar Aris sambil memegangi lengan Afri. Mereka sudah berkendara sejauh ini, dan perasaannya sudah membaik. Dan perutnya terasa lapar.
Afri yang tidak menyangka alasan atasannya, mendadak merasa sangat senang. Bagaimana mungkin dia tidak menaruh perasaan pada Bu Aris kalau wanita itu selalu melakukan atau mengatakan hal-hal menggemaskan seperti ini.
"Iya, saya tunggu, Bu." Ujarnya pelan.
Tanpa dia sadari, mata Afri tertuju pada bayangan mereka yang bersatu di tanah. Itu hanyalah hal kecil dan sepele namun Afri ingin menganggapnya sebagai pertanda baik awal hubungan mereka.
Setelah beberapa saat di parkiran, mereka akhirnya memasuki area makan yang terbagi menjadi gubuk terpisah antara satu dengan yang lain, dengan pagar pendek sebagai sandaran sekedarnya. Meski terbuka, tapi pada saat bersamaan juga menjamin privasi pembicaraan selama tidak membuat kegaduhan.
Aris mengikuti Afri, membiarkan sekretarisnya itu memilih tempat duduk dari sedikit pilihan yang ada.
"Disini terkenal dengan ikan air tawarnya yang segar, Bu," celetuk Afri saat mereka melihat daftar menu.
"Kamu mau gurame, Afri? Dimasak apa?"
"Asam manis," jawab Afri cepat.
"Sama tambah ayam bakar setengah ekor. Yang bumbu rujak," ujar Aris pada pramusaji yang bertugas.
Sunyi jatuh di antara keduanya seusai memesan makanan dan minuman. Aris enggan berbicara banyak agar tidak merusak suasana.
"Kalau ada yang mau dibicarakan, nanti saja setelah makan." Aris mendahului sebelum Afri memulai.
Pemuda yang duduk di seberangnya itu mengangguk dangkal.
"Berapa cc, motormu? 250?" Aris membahas hal-hal netral.
"300, Bu. Sebenarnya mau saya modif tangkinya yang lebih besar tapi resikonya tinggi." Afri menyambut hangat pergantian topik ini.
"Kuatir las-lasan-nya bocor?"
"Iya, Bu. Bisa langsung terbakar atau meledak. Nggak sebanding sama harga motorny."
"Berapa kamu beli?"
"Diatas 60, cicilannya masih 2 tahun lagi."
"Nggak sayang beli motor? Tambah sedikit sudah bisa buat beli mobil."
"Untuk itu saya sudah ada simpanan sendiri, Bu." Afri tersenyum lebar. "Ini kebetulan ada uang lebih."
Afri memandang lekat-lekat reaksi Aris. Terlihat jelas baginya kalau sekretarisnya itu ingin pamer kalau dia pandai mengatur keuangan.
Dia punya simpanan sendiri untuk mobil dan karena ada uang lebih, dipakai untuk cicilan motor yang harganya 60-an juta. Aris jadi penasaran hal apa lagi yang disembunyikan Afri di balik senyum dan pekerjaannya sebagai sekretaris. Pastinya dia bukan sekretaris biasa 'kan?
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Suwarni Tuban
nggak ada Haris..?
2023-06-01
1
KiaHaldi
kenapa sering Haris dan bukannya Aris, sih, Thor?
2023-05-30
4