Nares tampak sibuk berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerja pribadinya, lantaran hatinya dibuat gelisah dan pikirannya cukup kalut. Pasalnya, nyaris satu minggu ini Prisca sangat sulit dihubungi. Ketika dirinya terus disibukkan oleh banyak pekerjaan, hingga membuatnya kerap kali ke luar kota dan pulang malam, membuatnya semakin sulit untuk mencari Prisca serta kabar calon istrinya itu.
Datang ke rumah Prisca di malam hari juga bukan sesuatu yang pantas. Bahkan meski hubungannya dengan Prisca sudah sangat lama, Nares masih belum berani singgah ke rumah Prisca di atas jam sembilan malam. Sehingga pada akhirnya, ia tidak bisa mendapatkan kabar berita dari Prisca yang kata Laksmi—calon ibu mertuanya—sedang sakit.
Dihelanya napas dalam-dalam, sementara kakinya dibuat berhenti. Tak berselang lama, pria itu memutuskan untuk duduk di kursi kerjanya. Kedua tangannya saling bertaut untuk menopang dagu. Mata Nares bergerak ke sana-kemari seolah mencari jawaban apa pun yang bisa ia temukan.
"Ada apa dengan Prisca? Tak biasanya dia menghilang seperti sekarang, kecuali jika kami sedang bertengkar. Bahkan, dia bisa menghilang selama dua minggu jika aku tak kunjung mencari. Tapi, seingatku kami berdua tidak sedang bertengkar kok," gumam Nares.
Pria tampan yang sangat menyukai kesempurnaan, dan membenci suatu kesalahan itu langsung menghela napas. Meski ia menyadari bahwa di dunianya ini tentu tidak ada yang sempurna, tetapi memperbaiki setiap kesalahan kecil sebelum menjadi besar adalah salah satu prinsipnya. Termasuk hubungan cintanya dengan Prisca.
Nares selalu mengimbangi sikap Prisca yang cenderung manja dan agak mudah marah itu, dengan kerap meminta maaf. Hari tertentu dijadikan sebagai waktu bebas untuk Prisca pun akan Nares berikan, selama kebebasan itu bisa membuat Prisca berangsur lega setelah melewati kekecewaannya. Sehingga, selama empat tahun ini, hubungan keduanya tampak sempurna, nyaris tidak ada cekcok sama sekali. Ketika sedang bertengkar, mereka memutuskan tak bertemu maksimal dua minggu untuk merenungi kesalahan masing-masing.
Begitulah prinsip hidup Nares Syailendra, pria perfeksionis yang sulit menerima adanya keraguan. Ia pun kerap melakukan segala hal demi terciptanya sebuah kesempurnaan. Ia tidak akan membiarkan noda kecil menjadi lebih besar. Dan terutama kejujuran, sesuatu yang harus ada di dalam setiap pekerjaan maupun hubungan. Ia membenci kebohongan. Beruntung, Prisca jarang melakukan hal yang bagi Nares sangat buruk tersebut.
Bagi Nares, kebohongan hanya akan memperumit segalanya. Dan kebohongan adalah sebuah kesalahan paling fatal di muka bumi ini, apalagi jika alasan yang mengiringi merupakan masalah yang sulit termaafkan. Namun setidaknya, pria berusia tiga puluh satu tahun itu masih manusia biasa. Kebohongan kecil yang bersifat sederhana jarang ia pikirkan.
Sesaat setelah hanya terdiam dalam lamunan berisi pertanyaan besar, akhirnya Nares memutuskan untuk menyudahi sikap meresahkan tersebut. Yang mana setelah itu, ia menarik tubuhnya dan lantas bersandar di badan kursi kerjanya. Matanya terpejam dalam sejenak, kemudian terbuka kembali, menatap langit-langit ruangan yang begitu putih sempurna tanpa satu pun noda.
"Sepertinya dia tak sengaja melakukan kesalahan padaku, mm, dan mencari waktu tenang terlebih dahulu. Lagi pula, calon pengantin memang kerap pusing sendiri, 'kan? " ucap Nares meyakinkan dirinya sendiri.
"Tapi, ah ... semakin mendekati hari H, aku justru semakin merindukannya. Ah, masih ada jadwal ke luar kota besok sampai tiga hari ke depan. Mau tidak mau, rasa rinduku pada Prisca harus ditahan lagi," lanjut pria itu dengan wajah sendu.
Dihelanya napas dalam-dalam sampai mendapatkan sejumlah ketenangan. Sepertinya, lebih baik melanjutkan pekerjaaan adalah rencana paling bagus untuk sekarang. Mungkin sore nanti, jika tidak ada jadwal mendesak, Nares akan menemui Prisca terlebih dahulu.
Karena bagi Nares, Prisca adalah wanita satu-satunya yang sangat ia cintai dalam hal asmara. Dalam beberapa minggu ke depan, ia akan menyandang status sebagai suami dari Prisca Nara. Segera menyelesaikan sesuatu yang cukup menggusarkan, sebelum masalah besar datang, adalah rencana terbaik bagi pria itu mengingat semakin dekatnya hari pernikahan mereka.
***
Prisca menempati salah satu rumah kosong yang belum terjual. Mengingat pekerjaannya sebagai marketing manager property developer, mempermudah dirinya dalam mendapatkan akses khusus untuk menyewa tempat itu. Di malam yang lalu, tepatnya setelah kabur dari rumah ibunya, ia memutuskan untuk menginap di sebuah hotel.
Mengingat biaya inap perhotelan yang begitu tinggi, akhirnya Prisca mencari alternatif lain, dengan langkah awal mencoba menghubungi atasannya. Ia mengajukan sewa atas rumah tersebut sebelum terjual pada orang lain. Karena kinerjanya yang sangat bagus, termasuk statusnya sebagai putri dari Laksmi—pemilik sebuah brand pakaian cukup terkenal—membuat atasannya tak perlu banyak memikirkan pertimbangan.
Dengan kesepakatan agar keberadaannya tidak bocor pada pihak mana pun, tanpa terkecuali ibunya sendiri, akhirnya Prisca merasa sedikit aman di rumah itu. Meski rasa syok, trauma, dan hancur masih melekat dengan erat pada dirinya, setidaknya ancaman perihal kedatangan Burhan bisa sedikit diminimalisir. Setidaknya kini pun wanita berusia dua puluh enam tahun itu memiliki tempat berlindung lumayan aman. Tempat menangis paling akurat, ataupun tempat mengamuk ketika ingatan di malam gila itu kembali memenuhi benak.
Seperti halnya saat ini, yang sudah sejak dua jam lalu, wajah Prisca telah basah oleh air mata. Bibirnya yang rajin dipoles lipstik, kini tampak pucat seperti tidak memiliki kandungan sel darah merah. Hatinya kembali tercabik ketika satu hal membuatnya urung untuk merasakan kembali rona kebahagiaan. Mahkota. Sebutan untuk mewakili harga dirinya itu kini sudah benar-benar tidak ada. Rusak parah!
"Apa yang harus aku lakukan?" Prisca bergumam dalam kegamangan yang masih sama atas masalah yang serupa. "Pasti Nares sudah mencariku. Bagaimana jika dia ke rumah, dan bertemu tua bangka itu? Bagaimana jika Mama tahu aku di sini, dan terus mendesakku pulang?"
Wajah yang kuyu itu, kini ditutupi dengan sepasang telapak tangan yang kian kurus kering. Tiga hari, ya, selama tiga hari sejak melarikan diri, Prisca belum menyantap banyak karbohidrat. Tubuhnya semakin kurus, rona hitam juga tampak di bawah matanya, tulang selangkanya kelihatan begitu jelas.
Diembuskannya napas panjang oleh Prisca Nara, seiring dengan terlepasnya kedua telapak tangan dari wajahnya. Ia menelan saliva dan sejenak merasa bimbang. Namun sesuatu hal telah ia putuskan, meski masih banyak keraguan. Segera setelah itu ia beranjak dari duduknya yang sejak tadi begitu menyedihkan di atas lantai marmer di sudut ruang tamu.
"Nares, maafkan aku."
Sebuah ponsel sudah berada di dalam genggaman wanita itu. Baru ia sadari bahwasanya benda pintar tersebut sudah mati sejak dua hari yang lalu. Ketika teringat benda bernama charger selalu ada di dalam tas jinjingnya, Prisca segera bergegas untuk mengambilnya. Sesaat setelah mendapatkannya, ia mengisi daya ponselnya menggunakan alat tersebut.
Ketika ponsel sudah berhasil dinyalakan, puluhan pesan dan panggilan tak terjawab langsung tampak di layar. Dari Laksmi, Nares, hingga pria tua sialan. Mereka semua mempertanyakan di mana Prisca sekarang. Apalagi Laksmi yang tampaknya cemas sekali.
Prisca menelan saliva. "Mama cemas? Setelah sebelumnya selalu mengagung-agungkan penjahat itu? Aku ... aku tidak akan pernah memaafkan kalian berdua sampai kapan pun!" geramnya diiringi bulir air mata yang kembali meluruh menodai kedua pipinya.
Sikap Laksmi yang sangat mencintai Burhan tetap menjadi kesalahan yang tak termaafkan bagi Prisca. Sejak sebelum ibunya itu menikah, semua nasihat sudah ia katakan bahwa Burhan bukanlah calon suami yang tepat. Namun saking butanya dalam mencinta, Laksmi selalu memiliki sanggahan dan pembelaan diri. Tanpa persetujuan dari Prisca, Laksmi tetap menggelar pernikahan dengan pesta yang begitu mewah.
Muak, ketika mengingat semarak pesta pernikahan sangat bunda, Prisca merasa sangat ingin muntah. Tak semata karena keegoisan Laksmi saja, tetapi juga bodohnya ibunya itu. Kini nasi telah menjadi bubur, semua telah terjadi kala perasaan buruk Prisca terhadap Burhan bukanlah isapan jempol semata.
Kini kondisi Prisca tak hanya hancur, tetapi sudah sangat trauma, serta terpengaruh sugesti pria jahat itu, Prisca tidak memiliki keberanian sama sekali dalam membeberkan fakta pada siapa pun. Yang ada justru gemetar langsung menyerang dirinya kala bayangan wajah puas milik Burhan kembali terlintas di pikirannya.
"Uh!" Prisca memukul-mukul dadanya sendiri. Kemudian, diiringi gelengan kepalanya yang begitu cepat, juga napasnya yang tersenggal-senggal. Ia merasa persendian menjadi sangat lemah detik itu juga, dan berakhir terkulai di atas lantai. "A-aku, aku harus melupakan kejadian itu. Kumohon, Prisca, sekarang sudah aman. Aman, aman, sangat aman."
Sesak melanda dada Prisca, membuatnya kesulitan dalam mengendalikan dirinya sendiri. "Ayolah, Prisca. Ada Nares yang akan membahagiakanmu ... uh! Hoek!"
Mual, perut Prisca bergolak hebat ketika ia gagal mengusir ingatan suram di malam itu. Ia langsung berlari menuju kamar mandi, mengeluarkan semua isi di perutnya. Sakit sekali. Lemah dan tidak berdaya. Yang bisa ia lakukan hanya membuat air matanya terus-terusan meluruh dan jatuh. Tangisannya kembali pecah, nestapa besar kini semakin menghancurkan. Dengan langkah tertatih, Prisca kembali ke kamar.
Hingga ... ponselnya terdengar berdering. Detik itu juga, Prisca berusaha sangat keras untuk menstabilkan kondisinya. Sesaat setelah sedikit mendapatkan ketenangan, meski belum sepenuhnya, ia mencoba meraih ponsel dari atas nakas.
Nares! Nama pria itu terpampang nyata sebagai sosok yang melakukan panggilan masuk terhadap nomor di dalam ponsel Prisca.
"Na-nares? A-apa yang harus aku lakukan?" Bimbang, kebingungan luar biasa melengkapi keterpurukan Prisca saat ini.
Lantas, haruskah dirinya menerima telepon dari Nares dan benar-benar menciptakan kebohongannya? Atau, lebih baik terus menghindar dengan risiko pembatalan pernikahan?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Yani Hendayani
kenapa kamu gak jujur saja sih? ngapain menggalau sendiri. kalau nares cinta kamu ia akan menerimamu apa adanya bkn ada apanya
2023-10-20
1