Haruskah Berbohong?

Kalau ada cara lain yang lebih tepat untuk kabur dari masalah besar selain bunuh diri, mungkin Prisca akan langsung mengambil jalan itu tanpa pikir panjang lagi. Jika kesendirian akan membuatnya lebih bahagia, tetapi justru tak menjamin keamanannya terhadap ancaman terulangnya insiden buruk untuk kesekian kalinya, lantas dirinya harus bagaimana?

Kegamangan itu memberikan efek tak berarti apa-apa dalam hidup Prisca, selain hanya gundah-gulana yang ia terima. Menargetkan Nares sebagai orang yang paling bisa menyelamatkannya dari neraka derita, mungkin termasuk sebuah kesalahan besar. Namun meninggalkan Nares ketika hari H pernikahan sudah di depan mata, juga bukan sesuatu yang bisa Prisca ambil detik itu juga.

Detik di mana wanita berparas cantik jelita tersebut akhirnya kembali mendengar suara Nares melalui panggilan suara. Barusan, setelah dilanda kebimbangan begitu besar kala nama Nares terpampang nyata di layar ponsel pintarnya, keputusan untuk menerima panggilan dari pria itu menjadi sikap yang segera Prisca ambil.

Dalam keadaan masih berusaha menahan lara, sekaligus air mata yang seolah terus mendesak keluar, Prisca berkata, "Maafkan aku, Nares."

Suara Nares yang cukup bernada cemas, terdengar menjawab, "Aku maafkan kok, Sayang."

"Aku ...." Getir di hati, serta sesaknya dada Prisca membuat suaranya langsung tertahan di tenggorokan. Hingga sekian detik berselang, barulah ia mampu mengendalikan dirinya sendiri. "Aku benar-benar minta maaf, Nares," ucapnya lagi.

"Hmm ... ada apa? Kamu berbuat kesalahan apa, sampai terus-terusan minta maaf dan menghilang selama satu minggu?" tanya Nares yang sekarang mungkin jauh lebih tenang daripada sebelumnya, karena bisa kembali mendengar suara sang calon istri.

"A-aku, iya ... a-aku berbuat kesalahan yang sangat besar padamu. Maaf, maafkan aku." Satu tetes air mata akhirnya tetap jatuh meluruh menodai pipi kanannya, membuat wanita itu cepat-cepat bertindak lebih tegas pada dirinya sendiri agar tidak sampai menangis hebat. "Apa kamu akan benar-benar memaafkanku, Nares?"

"Hmm ... sebenarnya kesalahan apa yang kamu perbuat? Bolehkah aku mengunjungimu sekarang, sebelum aku berangkat ke luar kota?"

Cepat, Prisca menggeleng, meski ia menyadari bahwa Nares tidak akan mengetahui sikapnya tersebut. "Tidak, Nares," tolaknya. "A-aku juga sedang ada pekerjaan ke luar kota. Sekarang."

"Benarkah? Kata Tante Laksmi, kamu sedang sakit dan sampai beberapa hari tidak keluar kamar? Aku ada di luar kota juga pada saat itu, baru hari ini sampai ke Jakarta, tapi nanti malam mau berangkat lagi. Maafkan aku, Prisca sayang, aku belum sempat menjengukmu. Padahal kita sempat berjanji akan segera bertemu."

Teringat di benak Prisca, ketika ia masih bahagia dengan gurat merah jambu di wajahnya. Di mana telepon terakhirnya dengan Nares sebelum kejadian nahas menimpa dirinya masih berlangsung dengan perbincangan yang manis. Janji untuk bertemu esok hari akhirnya terkendala oleh Nares yang memiliki jadwal ke luar kota dan karena Prisca sendiri yang hancur-lebur karena kejahatan Burhan.

Dengan cepat, Prisca segera menyadarkan dirinya dari getirnya nostalgia hari indah sebelum munculnya sebuah derita tersebut. Tak ingin membuat Nares semakin khawatir ataupun curiga, ia segera menyambut mesra ucapan Nares.

"Tidak, Sayang. Aku mengerti bagaimana kesibukanmu," ucap wanita itu dengan suara yang telah diatur semanis mungkin.

Egois memang, ketika mengingat apa yang telah terjadi, tetapi ketidakjujuran menjadi cara yang kini telah Prisca putuskan. Mau bagaimana lagi, saat kondisi sudah tidak memungkinkan dirinya untuk selalu berkata apa adanya. Belum lagi ancaman Burhan masih menjadi hal yang paling menakutkan. Pindah rumah tidak membuat Prisca bisa langsung mendapatkan keberanian, selain hanya rasa sedikit aman.

"Padahal aku sangat merindukanmu, Prisca," ucap Nares tanpa sedikit pun rasa curiga pada cara Prisca berbicara. "Tiga hari ke depan, aku bakalan pergi lagi. Padahal rencana pernikahan kita sudah di depan mata."

Mata Prisca mengerjap, dan wajahnya semakin sendu. "Tak masalah, agar bisa mendapatkan hari bahagia lebih banyak lagi, Nares."

"Pokoknya, setelah perjalanan bisnis ini, aku usahakan tidak ada lagi rencana lain sampai di hari H pernikahan kita. Lagi pula, akan ada banyak sekali hal yang perlu kita urus, 'kan? Mulai dari busana, dan sebar undangan."

"Kamu terlalu bersemangat, Nares. Aku takut—"

"Ya, aku begitu semangat karena sebentar lagi akan memilikimu seutuhnya, Prisca, setelah empat tahun kita hanya menjadi sepasang kekasih saja. Kupastikan hidup kita akan sempurna setelah ini. Aku tidak akan membiarkanmu menderita, ah, dan tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi."

Terenyuh, hati Prisca merasa betul-betul beruntung mendapatkan pria baik hati seperti Nares. Namun, mendengar semangat pria itu membuatnya semakin tidak tega dalam mengungkapkan fakta yang ada, terlepas ketakutannya terhadap ancaman Burhan. Dan kembali lagi pada jalan untuk meninggalkan Nares karena rasa bersalah, tindakan tersebut sudah termasuk sesuatu hal yang bagi Prisca rasanya semakin mustahil untuk dilakukan. Terlebih lagi, ketika persiapan pernikahan sudah nyaris 85%.

"Apa kamu se-begitu menyukai kesempurnaan, Nares? Aku telah mengingatkanmu sejak lama bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna," tanya Prisca karena menurutnya obsesi Nares terhadap kesempurnaan akan membuat keadaan pernikahan mereka justru menjadi runyam.

Alih-alih mempertimbangkan ucapan Prisca, Nares justru tertawa. "Hahaha," gelaknya. "Kamu ini, seperti baru kemarin kenal aku. Sudah aku jawab dari dulu bahwa memang di dunia ini tidak ada yang sempurna, tapi berusaha menyempurnakan hidup bukan masalah besar, 'kan, Sayang?"

Prisca menelan saliva. "Iya, aku tahu."

"Hidup ini terlalu disayangkan jika kita sebagai manusia justru mudah menyerah dalam kekurangan, apalagi sampai meluputkan sebuah kesalahan. Sebelum kekurangan dan kesalahan itu semakin besar, kita harus berusaha menambalnya, bukan? Yang penting, tetap berusaha untuk apa pun yang terjadi dan ... selalu berkata jujur, itu hal paling penting," jelas Nares.

Deg!

Prisca kalah telak. Kejujuran? Ah benar, ia ingat bahwa Nares adalah orang yang super jujur. Di mana ketika pria itu tidak menyukai sesuatu, pasti akan mengatakannya secara gamblang, lalu mengajaknya untuk berdiskusi mencari solusi agar terciptanya sebuah kenyamanan.

"Aku agak sibuk, Nares. Maaf ... sepertinya sampai di sini dulu ngobrolnya," ucap Prisca menyerah lantaran desakan nestapa sudah tidak kuasa untuk ia tahan terlalu lama.

"Hmm ...." Nares terdengar tidak rela. "Baiklah, apa boleh buat. Yang penting selalu hati-hati ya, Sayang, di mana pun kamu berada. I always love you."

"Love you too."

Panggilan suara di antara keduanya lantas berakhir, ketika Prisca dan Nares secara kompak menekan tombol berwarna merah di layar ponsel mereka masing-masing. Menyisakan sejumlah kesedihan, yang membuat Prisca kembali lunglai dan terjatuh lagi di atas lantai. Tak bisa Prisca tepis, betapa nestapa ingin mengikis habis dinding pertahanannya, demi membentuk sejumlah deraian air mata pilu yang siap meluruh membasahi netra serta kedua pipi.

Satu minggu penuh, Prisca yang manja dan selalu ceria menjelma menjadi wanita lemah, cengeng, serta hancur. Tentang bagaimana Prisca selalu terbayang ingatan suram perihal Burhan beserta aksinya. Bertahan dengan nyawa yang masih melekat di raga dalam keadaan tidak baik-baik saja, bagi wanita itu rasanya sudah sangat hebat. Kini pun ia harus menjadi seorang penipu. Ia sadar dirinya sudah kotor dan mungkin akan semakin hina!

Namun tak dapat ia pungkiri perihal kekhawatiran besar yang juga datang ketika memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan. Sebuah pemikiran mengenai respons Nares di malam pertama, saat kemungkinan pria itu bisa mengetahui sang istri sudah dalam kondisi raga tanpa mahkota. Apa yang terjadi pada saat hari itu tiba? Bisakah Nares menerima keadaan Prisca? Kebohongan itu, bisa saja membuat Nares marah besar!

Ah, mungkin satu-satunya cara adalah segera menyusun sebuah rencana lain untuk mencegah munculnya rasa curiga pada diri Nares di kala hari itu tiba, pikir Prisca Nara.

***

Terpopuler

Comments

Yani Hendayani

Yani Hendayani

kamu gak tegas Nara , kejujuran itu sangat penting walaupun menyakitkan. kalau nares benar2 sayang sama kamu pst dia akan menerima kekurangan mu

2023-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!