Keesokan harinya ....
Maximilian akhirnya bertemu tiga keponakan Aline. Mereka saling berkenalan dan bermain bersama. Owen memperhatinan putranya, ia senang putranya bisa bermain bersama teman sebaya.
Aline terus memperhatikan Owen yang sedang berbincang dengan keluarganya. Owen tampak tersenyum, dan senyuman itu langsung membuat Aline ingin menjerit.
"Huaaaa ... kapan aku bisa puas melihat senyumannya?" batin Aline.
"Bibi ... apa Dia teman sekolah Rika dan Riko?" tanya Rowena berbisik. Rowena sedang membicarakan Maximilian.
Aline menganggukkan kepala, "Ya, mereka satu sekolah, tapi berbeda kelas." jawab Aline.
"Apa dia memang begitu? dia pendiam, ya." Kata Rowena.
Aline mengusap wajah Rowena, "Ajaklah dia bicara. Mungkin saja dia canggung dan malu karena kalian kan baru kenal." kata Aline.
Rowena mengiakan perkataan Bibinya dan mengajak Maximilian berbicara. Rowena bertanya tentang kesukaan Maximilian. Seperti makanan dan minuman apa yang disukai Maximilian.
Maximilian menjawab dan bertanya balik. Rowena lantas menyebutkan banyak sekali makanan kesukaannya, sampai membuat Maximilian tertegun. Yurika mengatakan pada Maximilian, kalau Rowena itu kegemarannya makan. Jadi semua makanan pasti akan disukai Rowena. Maximilian hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Aline tersenyum melihat kelucuan keponakannya dan Maximilian. Ia merasa anak-anak kecil itu bisa semakin dekat dan berteman baik kedepannya.
***
Malam harinya ...
Yuna datang kembali mengunjungi Aline. Seperti malam sebelumnya, Aline menceritakan kalau ia dikunjungi oleh Maximilian dan owen. Ia sangat senang.
"Ya, ya, ya. Aku sudah tahu sebelum kamu bicara. Wajahmu seolah sudah menulisan isi pikiran dan hatimu," kata Yuna.
"Jangan meledekku," kata Aline.
"Aku tidak meledek. Oh, ya, bagaimana dengan hasil pemeriksaanmu. Bukankah kamu tadi bilang padaku hari ini melakukan pemeriksaan ulang?" tannya Yuna.
"Aku baik-baik saja. Papa ku saja yang terlalu khawatir dan aku mau tak mau melakukan apa yang beliau inginkan." kata Aline.
"Baguslah kalau kamu baik-baik saja. Aku sudah khawatir kalau-kalau hasilnya tidak baik." sahut Yuna.
Aline meminta Yuna untuk tidak lagi khawatir. Aline juga berkata kalau kemungkinan besok ia akan minta dipulangkan. Ia merasa sesak tinggal di rumah sakit.
"Padahal kamu tidur di kamar VIP. Lihat, kamarnya saja mewah begini. Kalau aku jadi kamu, aku akan bersantai di kamar ini." kata Yuna.
Yuna mengerti, bagaimana perasaan Aline. Temannya itu memang unik. Meski anak seorang konglomerat, ia tidaklah sombong seperti anak konglomerat lain. Ia tidak memamerkan apa yang dimilikinya. Pakaian pun Aline memakai pakaian sederhana saja. Karena Aline memang menyukai kesederhanaan. Ia justru selalu menutupi identitasnya di depan orang lain, dan berbaur dengan kalangan bawah. Aline yang pandai bersosialisasi, tidak pernah membedakan teman. Hanya saja ia memang suka bertindak semaunya kalau sedang kesal atau marah.
Yuna bangga, memiliki teman seperti Aline. Tak pernah sekalipun ia dan Aline bertengakar atau berselisih paham. Itu karena keduanya sama-sama saling mengerti, dan saling mengingatkan satu sama lainnya. Aline juga tak pernah merasa aneh berteman dengannya yang hanya seorang anak yatim piatu yang dibesarkan dipanti asuhan.
Setelah banyak cerita, Aline yang kelelahan pun terelelap tidur. Setelah temannya tertidur, Yuna baru pergi meninggalkan Aline.
***
Sementara itu. Di rumah Owen. Di kamar tidur Maximilian. Maximilian yang terlelap tidur, tiba-tiba terbangun karena bermimpi buruk. Maximilian menangis di atas tempat tidurnya sambil memeluk bantal.
Owen yang baru saja selesai memeriksa laporan, pergi ingin melihat putranya. Saat membuka pintu dan mebgintip, ia melihat putra terisak. Owen segera masuk dan menghampiri Maximilian.
"Max ... ada apa?" tanya Owen khawatir.
Maximilian menatap Papanya, "Hiks ... Papa ... " panggil Maximilian semakin keras menangis.
Owen memeluk putranya itu, berusaha menenangkan sang Anak. Owen berkata kalau semua akan baik-baik saja. Meminta sang Anak berhenti menangis dan menceritakan apa yang terjadi.
Maximilian melepas pelukan. Ia menyeka air matanya sendiri. Ia menceritakan tentang mimpi buruknya. Di mana ia didorong temannya dan jatuh terguling ditangga.
"Tidak apa-apa, Max. Hal itu tidak akan pernah terjadi lagi. Papa sudah mengurusnya untukmu," kata Owen.
Owen meminta putranya untuk kembali tidur. Ia akan menemani putranya tidur. Owen pun langsung berbaring di tempat tidur Maximilian.
Melihat Papanya berbaring, Maximilian pun ikut berbaring. Ia menatap Papanya dengan mata sebab. Maximilian masih ketakutan.
Owen mengusap lembut wajah Maximilian, "Jangan takut. Ada Papa yang selalu memihakmu." kata Owen.
Maximilian mencoba memejamkan mata, lalu tak lama matanya terbuka. Melihat tidak ada apa-apa, Maximilia kembali memejamkan mata dan akhirnya bisa kembali telelap tidur.
Owen melihat putranya yang terlelap. Ia merasa bersalah, karena kurangnya ia memerhatikan urusan sekolah, putranya harus menderita karena ditindas.
"Papa tidak akan membiarkanmu ditidas lagi, Max. Maaafkan Papa karena Papa terlambat menyadarinya," batin Owen.
Karena ia malas bangun dan pindah tempat, Owen pun memilih tidur di kamar putranya, tidur satu tempat tidur dengan putranya.
***
Keesokan harinya ....
Setelah membujuk Papanya dengan penuh perjuangan dan dipastikan tidak ada masalah, akhirya Aline diizinkan pulang. Aiden awalnya menentang, tapi ia juga tidak bisa menolak keimutan sang putri yang membujuknya. Aiden menuruti permintaan Aline yang ingin pulang, dengan syarat Aline tetap harus istirahat total di rumah. Mau tak mau Aline setuju. Baginya berada di rumah seratus kali lebih baik daripada ia harus mendekam di kamar rumah sakit. Setidaknya di rumah ia bisa pergi ke taman, ruang baca, ruang musik. Atau ruangan lain.
Aiden meminta Aline berganti pakaian. Ia masih harus berbicara dengan Dokter dan pergi meninggalkan Aline.
Aline membawa pakaian gantinya ke kamar mandi. Ia langsung ganti pakaian dengan hati-hati dan gerakan perlahan. Aline baru menyadari, betapa sakit seluruh tubuhnya saat digerakkan. Rasa nyeri menjalar dari kaki sampai ke kepala.
Setelah bersusah payah ganti pakaian sendiri, Aline pun segera keluar dari kamar mandi. Baru saja keluar, ia dikejutkan oleh Maximilian yang duduk manis menunggunya.
"Hai, Max ... " panggil Aline.
Maximilian langsung berdiri, ia berlari memeluk Aline. Aline merasa ada yang sesuatu yang terjadi pada anak dalam pelukannya itu.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Aline dengan lembut.
Pelukan pun terlepas, Maximilian mengangguk. Ia mengatakan kalau semalam ia bermimpi buruk. Aline bertanya, apa boleh ia tahu mimpi yang dialami Maximilian? Dan akhirnya Maximilian pun bercerita.
Melihat Maximilian bercerita denga tubuh gemetaran, Aline meminta Maximilian berhenti cerita, karena ia sudah tahu apa yang terjadi.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, Max. Lagipula, Papa kan sudah menghukum anak itu. Dia bahkan diminta pindah sekolah. Tidak akan ada lagi anak nakal yang menyakitimu. Kalaupun ada, Bibi yang akan menarik telingnya dan menyuruhnya berlari keliling lapangan." kata Aline.
Mendengar kata-kata Aline, Maximilian merasa senang. Melihat Aline tidak lagi mengenakan pakaian rumah sakit, Maximilian bertanya, apakah Aline sudah sembuh? Aline mengiakan pertanyaan Maximilian. Berkata karena sudah sehat, maka ia sudah boleh pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments