Aksi Heroik Sir Arthur

“Jiyya ! Jiyya! Jiyya! Jiyaa! Jiyya! Jiy—” Jiyya serta merta langsung mendekati si pemuda berisik sambil membekap mulutnya agar dia bisa diam sebentar saja.

“Aku sudah mendengarmu sejak kau memanggil namaku pertama kali Dean,” bisiknya. “Bisakah kau sedikit berperilaku seperti manusia? Ini diperpustakaan bodoh!” Dean menganggukan kepalanya sebagai tanda bahwa dia mengerti. Dia memandangi wajah Jiyya dengan mata berwarna biru shapire-nya yang besar sampai pada akhirnya

gadis itu mau melepaskan bekapan dimulutnya dengan sukarela.

Jika sudah ada Dean disekitarnya Jiyya tidak berharap dia bisa merasakan ketenangan kembali. Pria itu terlalu berisik dan Hyperaktif. Perpustakaan dan Dean bukan kombinasi yang bagus. Karena itu untuk mencari aman Jiyya memutuskan untuk keluar dari sana lebih awal daripada dimarahi oleh para kutu buku yang sedang belajar untuk

kepentingan masing-masing.

“Ikut aku.”

“Kemana?” Jiyya tidak menjawab, tapi menggunakan kedua kakinya untuk pergi dari sana.

Untungnya Dean cukup paham bahwa dia sedang tidak ingin diajak bicara. Sebagai gantinya pria itu mengikuti Jiyya dari belakang. Sampai mereka tiba di taman kampus yang lumayan lenggang. Jiyya memilih sebuah kursi yang letaknya berada dibawah pohon rindang. Tempat itu cukup bagus untuk melanjutkan sisa bacaannya yang harus dia jeda gara-gara kedatangan Dean. Gadis itu memposisikan dirinya untuk duduk kemudian menatap lurus kepada Dean yang berdiri dihadapannya sekarang.

“Jadi, kenapa kau memanggilku tadi? Kau mau apa?”

“Ah, itu… kita akan pergi ke bar malam ini kau mau kan? aku, kau dan juga Sir Joan!”

Kening Jiyya mengerut dan dia memandang pemuda itu dengan tatapan aneh. Kenapa Sir Joan dilibatkan? Tidak aneh baginya untuk menerima undangan dari Dean karena dia memang selalu menjadi sang sukarelawan mengumpulkan orang sama seperti pertemuan mereka di kedai ramen belum lama ini. Tapi di bar? Kenapa harus

tempat itu yang menjadi lokasi pertemuan?

“Bicara apa kau?”

“Kau tuli ya? Aku bilang kita akan pergi kebar malam ini kau, aku dan juga Sir Joan,” ulang Dean.

“Tidak, maksudku kenapa harus di bar? Kenapa pula harus dengan Sir Joan?” Dean menyeringai lebar sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di samping Jiyya.

“Sudahlah, Sir Joan bilang tidak apa-apa kok,” jawab Dean. “Lagipula kita sudah cukup dewasa. Kita legal untuk minum satu atau dua gelas alkohol. Lagipula ada Sir Joan juga dia bisa menjadi orang yang bisa kita percaya kalau terjadi apa-apa.”

Masalahnya bukan disitu bangsat! Jiyya membatin.

Jiyya benar-benar tidak suka dengan ide ini. Bukan karena dia tidak pernah minum-minum sebelumnya, jangan tanya siapa yang pertama kali mengajaknya kedalam kubangan dosa. Silvana jelas adalah si pelaku yang bertanggung jawab atas segala tingkah konyol dan absurd yang pernah Jiyya lakukan semasa hidupnya. Dia pernah bertingkah diluar nalar ketika mabuk. Sudah jelas bahwa dia harus menolaknya, karena tidak mungkin dia bisa bertindak diluar kontrolnya saat berada disekitar Sir Joan. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa akan muncul undangan tiba-tiba dari Dean yang mengajak pria dewasa itu ikut serta, Jiyya tidak pernah minum bersama pria sebelumnya.

Dia sebelumnya tidak tertarik pada Sir Joan dan tidak pernah melihatnya dari sudut pandang seorang wanita. Tapi gara-gara Silvana segalanya jadi berubah. Dia mungkin akan memandang Sir Joan dengan cara tak sama lagi. Jiyya tahu akan sangat buruk bila mengkombinasikan alkohol dan juga nafsunya. Hasilnya pasti akan sangat mengerikan dan gadis itu tidak mau mengambil resiko.

“Aku tidak mau,” tolak Jiyya to the point. Akan lebih aman baginya untuk menolak dengan tegas. “Aku tidak suka ide itu Dean. Kau bisa cari yang lain aku sibuk.”

“Apa? kenapa? Apa yang salah? Kau selalu saja menghabiskan waktumu untuk mempelajari hal yang membosankan. Sekali-sekali luangkan waktumu untuk hal yang menyenangkan Jiyya. Kenapa kau bisa bersenang-senang bersama Silvana tapi tidak denganku?”

“Uh… itu jelas berbeda Dean, kau memang temanku sejak kecil. Tapi Silvana itu perempuan dan kau laki-laki jenis kelamin kalian saja berbeda ya tentu aku juga akan membuat perbedaan kecil dari caraku berteman dengan kalian.”

“Apa? tidak adil! Aku tidak bisa terima penolakan darimu.” Ini dia salah satu hal yang Jiyya paling tidak suka dari Dean. Sejak kecil pemuda itu selalu saja hobby memaksa.

“Aku sibuk.”

“Kau kan memang selalu sibuk.”

“Aku harus banyak membaca Dean, Miss Dona memintaku untuk mempelajari materi darinya. Dia sedikit lebih cerewet akhir-akhir ini.”

“Ha? Itukah alasanmu?” Dean merespon cepat, bibirnya memberenggut. “Sekarang Sir Yoga kan sudah selesai cuti, aku rasa Miss Dona tidak akan peduli pada hal lain.”

Sial! Jiyya lupa kalau Sir Yoga itu adalah salah satu dosen yang membimbing Dean. Dia lupa kalau pria tau bangka itu sudah selesai mengambil cutinya dan kembali mengajar lagi. Alasan yang dia buat dan yang menurutnya paling sempurna jelas telah dipatahkan dengan mudah bila seperti ini.

Putus asa, Jiyya akhirnya mencoba untuk memutar otak agar dia bisa menemukan alasan lain

yang lebih logis dan tidak bisa didebat oleh sahabat karib masa kecilnya ini.

“Aku tidak enak badan.” Tentu saja itu hanyalah akal-akalannya.

Tapi karena pernyataannya pemuda itu malah mendekat kearahnya sambil mengamati wajahnya lekat-lekat. Bahkan seolah tidak percaya dia juga menggunakan tangannya untuk menyentuh dahi Jiyya sekadar mengukur suhu tubuhnya. Pandangan mata Dean kini penuh selidik kearahnya. “Kau tidak tampak sakit. Kenapa harus berbohong segitunya padaku?” komentar Dean. “Apa sih yang membuatmu sangat tidak ingin bersamaku? Apa ada sesuatu yang mengganggumu sampai kau tidak mau pergi?”

Jiyya jelas bisa bilang tidak dengan cepat karena memang bukan Dean alasannya. Tapi bila dia mengatakan itu pasti si mulut ember ini akan makin bertingkah dan membuatnya makin pusing kepala.

“Ya, Aku mau keluar!” jawab Jiyya keras-keras. Tapi sedetik kemudian gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Oh hebat, apa yang terjadi? Kenapa dia mengatakan sesuatu yang ambigu seperti itu? kenapa kata-kata lumrah yang biasa dia ucapkan sehari-hari bisa punya konotasi yang nakal sekarang? apakah selama ini Jiyya

memang seorang pemikir mesum ? Gila, semuanya gara-gara Silvana. Kalau saja bocah itu tidak bertingkah dan mengatakan hal-hal gila Jiyya pasti masih normal sekarang.

Dean kini menatapnya dengan bingung. Sudah pasti dia akan bersikap begitu. Dia pasti tidak mengerti mengapa Jiyya tiba-tiba saja mengatakan hal yang tidak nyambung dengan pembicaraan mereka.

“Maksudku ya, aku akan ikut denganmu. Aku akan kesana. Oke? Jadi tolong jangan tatap aku dengan pandangan seperti itu.” Cepat kilat Jiyya berupaya untuk meralat ujarannya. Dia tidak boleh terlihat mencurigakan sama sekali apalagi di hadapan pria yang bodohnya kelewatan macam Dean. Sir Joan sepertinya sudah mencium kejanggalan dari tingkah Jiyya di kedai ramen saat itu, jika ditambah dengan Dean maka segalanya malah akan semakin rumit dan sulit.

“Sudah kubilang jangan menatapku begitu. Katakan saja jam berapa dan dimana. Lalu kau

tinggalkan aku karena aku mau membaca buku ini lagi.”

Dean tersenyum lima jari padanya setelah mendapati Jiyya menyerah dan mau ikut dalam acaranya.

“Sir Joan bilang dia akan menunggu kita di Lounge Bar, jam delapan malam nanti,” jawab Dean, suaranya terdengar lebih ceria dua kali lipat.

Jiyya bersikap acuh tak acuh padanya. Dia membuka kembali halaman bukunya yang telah dia beri tanda sebelumnya sambil mengibaskan sebelah tangannya sebagai bentuk pengusiran terhadap Dean.

“Jangan lupa ya. Kalau kau tidak datang Sir Joan yang akan menjemputmu kerumah.”

Mendengar sesuatu seperti itu Jiyya hanya memberikan jari tengahnya pada Dean yang berjalan menjauh darinya. Sementara Dean hanya terkikik dan membalas umpatan kasar itu dengan lambaian tangan.

***

“Dia benar-benar brengsek, kau tahu. Bagaimana mungkin dia bisa sesukses itu sekarang sedangkan aku masih saja di titik ini. Benar-benar licik. Aku tidak habis pikir dia bisa jadi sekeren itu. Bangsat!”

Arthur, Ronald juga Kelly saat ini sedang berada di kedai makan sushi. Orang yang berisik sepanjang perkumpulan itu sejak tadi adalah Ronald. Pria yang bekerja sebagai guru olahraga anak sekolah dasar. Dia sedang sibuk menceritakan salah satu teman kuliah mereka dulu dengan sangat berapi-api. Meski penuturannya agak kasar tapi semua orang tahu bahwa pria itu amat sangat mengagumi orang yang sedang dibicarakannya. Karena topik ini bukan sekali dua kali Ronald angkat dalam perbincangan mereka.

“Yah, memang benar-benar bangsat,” Arthur berkomentar dengan nada suaranya yang ketus. Dia memang sedang memiliki mood yang jelek dan mengumpat untuk sesuatu yang lain sebenarnya. Pengalaman yang dia lakukan dikediamannya empat jam yang lalu masih meninggalkan rasa tidak enak di mulutnya apalagi sekarang Kelly juga

seperti enggan bicara dengannya. Tidak seperti biasanya wanita itu begitu padanya.

Arthur benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia tidak tahu kesalahan apa yang sudah dia buat terhadap wanita itu. Memikirkan sebab musabab perubahan sikap Kelly terhadapnya malah memperburuk suasana hatinya. Pada akhirnya dia menyerah lebih dulu.

Arthur berdiri dari tempatnya dan pergerakan itu tentu saja cukup menarik perhatian teman-temannya. Cepat dan tanggap, Arthur melambaikan kotak rokoknya kearah mereka semua sebagai bentuk antisipasi dan tanda tanya yang akan merepotkan dirinya. Dia bahkan menyalakan rokoknya sebelum benar-benar keluar dari pintu masuk kedai. Alasan mengapa pria itu merokok diluar adalah karena kedai tersebut tidak memiliki tempat khusus untuk merokok.

Sebelum benar-benar keluar, Arthur sempat melihat Kelly menatap kearahnya dengan pandangan tak terdefinisi. Dia benar-benar bingung, dan hal yang membuatnya semakin buruk adalah fakta bahwa sebenarnya dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya bingung. Meskipun ya dia punya beberapa gambaran jawaban, tapi Arthur sedang tidak ingin memikirkannya. Sudahlah persetan! Dia tidak mau repot dengan pikiran apapun untuk saat ini. Dia harus mengosongkan pikirannya, dan merokok adalah salah satu upaya yang bisa dia perbuat untuk melancarkan inginnya itu.

“Apa kau lihat tubuhnya itu? damn dia gadis yang seksi.”

“Dia seorang mahasiswi, lihat? Dia membawa buku ditangannya. Mungkin saja dia tahu ilmu yang berguna untuk memanaskan permainan ranjang?”

Arthur mendengar kikikan terdengar dari para pemuda hama yang sedang bergosip disekitarnya. Pria itu membuang rokoknya dan menengok kesamping. Dia melihat kearah dua orang laki-laki yang sibuk membicarakan tentang tubuh perempuan. Mereka jelas hanya pecundang kelas teri yang besar omong, bukan pria sejati. Tapi mereka tadi sedang membicarakan tentang seorang mahasiswi kan? tanpa disadari, Arthur jadi tegang. Dia tidak suka topik yang diangkat sebagai bahan pembicaraan oleh para bedebah seperti mereka tentang seorang mahasiswi yang mungkin saja adalah muridnya itu dengan cara yang tidak sopan. Arthur pada akhirnya memberikan tatapan tajam terhadap kedua laki-laki itu sebagai bentuk realisasi bahwa dia amat terganggu dengan obrolan mereka.

Arthur mencari sumber direksi yang membuat kedua bedebah itu sampai membuka mulut dan meneteskan air liurnya. Dia berharap dengan sangat semoga objek fantasi seksual mereka bukanlah mahasiswi yang dia kenal. Tapi begitu menemukan kemana atensi kedua bocah itu, Arthur tidak bisa untuk tidak mengubah ekspresinya. Itu

Silvana! Mereka rupanya tengah bergunjing dan memandang penuh nafsu kearah Silvana, mahasiswinya yang memang super menarik.

Sadar akan hal itu, Arthur kontan tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Tanpa dia sadari pria itu sudah menginjak dan mengoyak rokok yang dia buang beberapa saat lalu dengan kakinya. Kemudian berjalan dengan langkah jantan kearah para bedebah sialan yang memaku pandang pada mahasiswi di kampusnya.

“Well, dia benar-benar super mon—” Apapun yang hendak diucapkan oleh anak laki-laki itu

langsung terpotong ketika Arthur menggeret kerah bajunya beserta temannya.

“Hey! Apa-apaan ini?!” teriak salah satu dari mereka tidak terima dengan apa yang Arthur lakukan, meski memang tindakan Arthur ini agak implusif tapi pria itu tidak menyesal sama sekali. Dia justru makin ingin mengintimidasi remahana seperti mereka.

“Kalian seharusnya menjaga mulut kalian. Pikiran dan ucapan kalian kotor yang kalian dengan bebas utarakan dimuka umum itu benar-benar membuatku terganggu dan muak. Kau tahu?” Arthur menghardik mereka berdua. Suaranya baritonenya meninggi, pandangan matanya menajam. Dia jelas lebih mirip seekor singa mengamuk ketimbang pria tenang yang tidak peduli apapun sebelumnya. “Dan kalian seharusnya bisa belajar menghargai perempuan. Terutama pada murid perempuanku, mengerti?”

Kedua laki-laki itu saling memandang satu sama lain, mereka yang mencicit seperti tikus yang kedapatan hendak dimangsa benar-benar pemandangan yang menarik bagi Arthur. Mereka yang menganggukan kepala dengan mata yang sarat dengan ketakutan juga adalah hiburan tersendiri yang agak menaikan suasana hati Arthur. Paling tidak

untuk sekarang.

“Bagus,” Arthur menggeram dan kemudian melepaskan jeratannya pada mereka. “Aku tidak mau lagi mendengar ada omong kosong seperi itu dari kalian. Jika aku bertemu dengan kalian dan kalian masih membicarakan hal yang sama maka saat itu kalian mungkin akan merasakan tinjuku.”

“Y—ya Pak, maafkan kami.” Salah satu dari mereka mencoba untuk meyakinkan.

“Maafkan kami Pak,” sahut yang lainnya.

“Pergi dari sini sekarang! kalian membuatku muak!” Arthur memerintah mereka, keduanya langsung lari terbirit-birit. Pria itu menatap punggung mereka yang sempat kocar kacir dengan pandangan penuh kepuasan.

“Oho, apa ini? tidak pernah ada laki-laki yang cukup jantan untuk membela harga diriku seperti itu sebelumnya. Kurasa aku akan mulai membiasakan diri dari sekarang.”

Mendengar suara feminim yang familiar tersebut, Arthur berbalik. Dia menemukan sosok Silvana sudah berdiri sana dengan senyuman manisnya seperti biasa. Gadis itu bertolak pinggang dengan pandangan mata yang penuh dengan kepercayaan diri. Merasa mendapatkan perhatian dari Arthur, dia kemudian menyibak rambut pirangnya. Ya, inilah salah satu hal yang dia sukai dari sosok Silvana. Gadis yang menarik dan sangat tahu bahwa dirinya menarik.

Arthur terpaku, ribuan bayangan kotor yang pernah singgap dikepalanya kembali berterbangan bagai lalat. ****, kendalikan dirimu Arthur. Ingat kau adalah dosen anak ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!