Silvana sudah menyimpan ketertarikan pada Sir Arthur, dosen tampan mereka semenjak semester pertama. Tidak mengherankan gadis itu terus saja memasukan nama pria itu dalam daftar kelas yang dia hadari sepanjang semesternya. Tentu saja Sir Arthur akan membantu siapapun yang membutuhkan
dirinya, tapi dalam segi romansa Sir Arthur jelas jenis pria yang sulit untuk dicapai. Cukup sulit bagi Silvana untuk melakukan pendekatan padanya, terlebih pria itu selalu saja memiliki cara terbaik dalam membuat sebuah batasan jelas antara dirinya dengan para mahasiswi yang memiliki niatan yang sama dengan Silvana. Karena alasan itulah Silvana menyimpan ketertarikan itu hanya sebatas kekaguman semata, tidak lebih. Tapi bila dia punya kesempatan untuk tidur di ranjang si dosen muda, kenapa tidak?
Pagi ini saja saat dia menggoda Jiyya, gadis itu malah mendapatkan peluang lebih dekat dengan dosen mereka yang satu lagi. Orang dengan predikat nomor dua sebagai primadona pria dewasa di kampus menurut Silvana, Sir Joan. Pria itu memang menarik tapi jujur saja bukan tipe-nya. Dia tidak cemburu, bukan itu masalah utamanya. Namun yang membuatnya terganggu
diatas segalanya adalah jika sahabatnya punya peluang sebagus itu, lantas kapan
gilirannya dengan Sir Arthur?
Dia mengutuk situasi romantik yang selalu saja tidak bagus untuknya.
Apalagi situasinya sekarang, Silvana sedang berjalan sendirian tanpa Jiyya disisinya. Gadis itu memang baru saja menyelesaikan beberapa tugasnya hingga larut malam setelah bersenang-senang dengan temannya yang lain karena Jiyya pergi dengan Sir Joan dan teman satu clubnya.
Silvana tidak yakin jam berapa saat itu, tapi yang
pasti sudah masuk tengah malam nampaknya. Silvana merasa kelelahan, kakinya bahkan terasa seperti jelly yang menumpu pada jalanan aspal yang dia tapaki saat dirinya berjalan pulang menuju ke rumah.
Dia sebenarnya sudah tidak sabar untuk segera pindah dari kediaman orangtuanya. Tapi orangtuanya yang tahu bagaimana kelakuannya,
tidak memberikan izin bagi Silvana untuk hidup sendiri. Mereka tidak percaya bahwa Silvana bisa menjaga diri. Dan insting orangtuanya memang benar. Dia sudah sangat liar bahkan sejak SMA. Dia ingin keluar dari rumah itu tujuannya memang supaya bebas melakukan apapun yang dia inginkan, tanpa harus mendapatkan omelan dan rasa malu keesokan harinya.
Saat dia sibuk dengan tempat tinggal dan romansa impiannya bila terpisah dari orangtuanya, tiba-tiba Silvana mendengar suara
yang datang dari arah kanannya. Kedengaran seperti napas berat. Dengan lugu, Silvana berpikir bahwa barangkali itu adalah suara orang yang terluka. Sebab suara itu terdengar seperti seseorang yang berjuang melawan rasa sakit.
Sampai tiba-tiba suara itu berubah menjadi erangan keras. Kaget, wajah Silvana jelas langsung memerah. Dia tidak bodoh, dia cukup
tahu tentang hubungan pria dan wanita sehingga mudah baginya untuk menebak suara apa itu.
Tanpa dia sadar, tubuhnya malah mendekat kearah sumber suara. Di sebelah kanannya memang kebetulan ada bar. Bar yang sebelumnya tidak pernah menarik perhatiannya sama sekali. Tapi suara itu justru berasal dari
arah gang sempit diantara bangunan bar dengan pertokoan yang sudah tutup malam itu. Suara erangannya makin mengecil, dan terdengar seperti suara seorang wanita. Rasa penasaran menguasai dirinya, seberapa bagusnya permainan si pria sampai bisa mampu membuat suara erangan seperti itu?
Silvana tahu bahwa dia sudah melakukan hal yang tidak terlalu bagus sekarang. Dia yang mengendap dan merayap mendekati gang tersebut dan mengintipnya adalah hal random yang seumur hidup tidak pernah dia pikirkan.
Dan dia melihatnya, dua siluet yang terkena cahaya bulan. Bersandar pada dinding dan mereka terlihat begitu liar.
Si wanita terlihat makin merapat ke dinding, napas mereka memburu, erangan si wanita semakin keras lagi namun bibir wanita itu
ditutup rapat oleh satu tangan si pria. Meredam suaranya agar tidak terdengar, tapi mereka tidak tahu bahwa aksi keduanya telah disaksikan oleh Silvana.
“Fuck…” suara baritone si pria mengerang.
Silvana kontan merasa menggigil, rasanya suara itu seperti merayap naik dan juga turun dari sekitar tulang punggungnya. Dia mengenal suara
itu.
Wanita yang sibuk dia gagahi terus mendesis, tapi Silvana tidak peduli sedikitpun padanya. Dia lebih tertarik memastikan pria yang membuat tubuhnya terasa membeku ditempat. Gadis itu merayap lebih dekat, sedekat yang memungkinkan untuk tidak dapat disadari kedua orang itu, namun cukup untuk menuntaskan kecurigaannya. Pria itu punya kulit sewarna perunggu dengan kedua kakinya yang berotot. Silvana melihat tas selempang yang terlempar
dibawah kakinya, itu milik Sir Arthur. Seratus persen Silvana bisa memastikannya karena dia selalu memperhatikan dosen tampannya itu dan
menganalisa penampilannya setiap hari.
Ini tidak benar! Seorang pria yang terhormat di kampus mereka sebagai seorang pengajar melakukan hal seperti ini di muka umum. Dia
bertaruh bahkan bila dia menceritakannya pada Jiyya gadis itu pasti akan memukulnya dibandingkan mau percaya. Ini moment pribadi, dia harusnya segera pergi sekarang sebelum mereka berdua tahu bahwa ada seorang gadis muda menonton kegiatan mereka seperti ini. Tapi meski punya pikiran sewaras itu, Silvana
malah tidak bisa beranjak dari sana.
Sebaliknya, gadis itu malah meneliti tubuh sang dosen saat dia sibuk dengan wanita-nya malam ini. Silvana tertegun akan setiap lekukan ototnya yang tidak terhalang kemeja sialan yang dia kenakan setiap kali mengajar. Khusus malam itu Sir Arthur menggulung kemejanya hingga ke siku dan tidak dia duga bahwa ada bekas luka yang tersebar disana, anehnya itu malah membuat
pria itu tambah terlihat seksi. Silvana terpesona, dan tergelitik untuk tahu lebih banyak. Sebab meski pasangannya sudah berantakan, Sir Arthur masih tetap berpakaian utuh kecuali bagian celananya yang sedikit melorot.
Sensasi aneh muncul diperut Silvana. Rasa panas malah menjalar kebagian bawah tubuhnya. Sial, dia malah terbawa suasana. Ini menjijikan, pikirnya. Gadis itu memutuskan untuk beranjak darisana. Tapi baru beberapa langkah dia malah mendengar suara tubuh yang melekat dan saling
menampar, menggema di udara.
“Kau begitu panas,”
Wajah Silvana merah padam mendengar suara Sir Arthur dari balik gang sempit itu. Lagi, dia malah melakukan kesalahan dengan berbalik
menyaksikan mereka berdua disana. Suara Sir Arthur seolah menyuruhnya untuk tetap berada disana dan menyaksikan semuanya hingga tuntas.
“Kau sempurna, aku tahu sejak aku melihatmu. Ah!” Wanita itu berteriak, Silvana tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya tapi yang jelas gesture tubuh wanita itu benar-benar menandakan bahwa dia telah dimabuk oleh
kenikmatan. Mereka terlihat saling terpuaskan satu sama lain dalam puncak gelombang yang diraih bersamaan.
Seluruh tubuh Silvana tergelitik lagi melihat adegan panas itu. Silvana tidak tahu siapa perempuan itu, tapi gadis itu iri mengingat
betapa beruntungnya dia mendapatkan Sir Arthur pada dirinya.
Sebelumnya Silvana memang tertarik pada dosennya dan sempat mengubur keinginannya mendekati pria yang lebih dewasa darinya itu. Tapi setelah ini sepertinya dia harus menarik kembali ucapannya untuk melupakan Sir Arthur.
Bahkan detik ini juga, Silvana merasakan adanya gelombang kecemburuan yang menerpa dirinya.
“Sangat hebat,” komentar si wanita. Ada sedikit
******* yang dibuat-buat disana.
“Aku hanya melakukan apa yang biasa aku lakukan,” balas Sir Arthur. Suaranya lebih serak daripada biasanya, sekali lagi Silvana
merasa perutnya melilit.
Silvana masih mengamati mereka, terutama Sir Arthur yang kini sudah merayap mengambil sesuatu dari tas selempangnya yang ada dibawah kakinya. Mengeluarkan sebatang rokok dan juga pematiknya sekaligus.
Pria itu menyalakan rokoknya. Wajah wanita yang
menjadi teman mainnya sedikit buram karena penerangan yang minim. Tapi Silvana optimis bahwa wanita itu tidak lebih cantik darinya. Kenapa harus dia yang punya kesempatan seperti itu dengan Sir Arthur yang dia kagumi?
Tapi perhatiannya teralihkan pada Sir Arthur yang
sedang mengulum rokoknya. Lalu menggerakan tangannya untuk mengambil rokok yang dia hisap dari mulutnya. Anehnya pergerakan kasual itu jadi terlihat sensual sekarang. Kenapa Silvana baru menyadari semua itu sekarang?
Belum lama kekaguman merajai, rasa panas oleh amarah mematiknya lagi. Terjadi tepat ketika Sir Arthur dengan lembut meletakan rokok bekas mulutnya kepada wanita itu sembari menepuk kepalanya dengan penuh sayang. Seperti perlakuan yang pernah Sir Arthur lakukan pada Silvana saat dia berhasil mendapatkan nilai sempurna dalam ujiannya yang super sulit.
“Kita akan bertemu lagi?” Wanita itu bertanya penuh harap, menghisap rokok yang diberikan oleh Sir Arthur seolah takut rokok itu akan diambil kembali olehnya.
“Entahlah,” balas Sir Arthur, pria itu menyelempangkan tasnya lagi ketubuh tegapnya dan kemudian berjalan kearah sebaliknya. Meninggalkan si wanita begitu saja. Silvana cukup beruntung dosen tampannya itu tidak mengambil jalan menuju kearahnya.
Tapi selepas dia pergi dan melihat wanita itu terkulai di gang sempit sambil menghisap rokok bekas Sir Arthur membuat Silvana marah padanya tanpa alasan.
Dia merasa punya dorongan gila untuk mencabut rokok itu dari si wanita asing tersebut. Namun dia tahu, dia tidak mungkin melakukannya. Setelah semua adegan itu berakhir, pada akhirnya dia benar-benar memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya yang tertunda.
Ini hari yang gila. Meski kakinya melangkah menuju kerumah, tapi pikirannya masih tetap berkelana pada setiap adegan yang dia lihat. Bahkan pada saat dia sampai didepan pintu rumahnya, masuk kedalam kamarnya. Gadis itu malah membayangkan dirinya yang ada diposisi wanita itu dan melakukannya dengan sang dosen.
Silvana sudah tidak waras, dia tahu. Baru siang tadi dia bilang bahwa Sir Arthur menarik, malamnya dia malah mendapatkan pembuktian
konkret. Padahal pagi tadi dia hanya senang membercandai Jiyya, dengan mengatakan pria yang lebih dewasa lebih berpengalaman. Pendapatnya tidak salah.
“Dia benar-benar sangat hebat, tidak salah kalau aku tertarik padanya sejak pertama kali bertemu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments