"Amera ... kenapa sedari tadi kau hanya diam?" tanya Bella, duduk di samping Amera. Kedua mata dengan soflen coklat itu menatap ke arahnya. Mengamati detail setiap lekuk wajah Amera yang sedari tadi lesu, dia hanya diam membisu. Tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya.
Tak ada jawaban dari Amera. Bella menghela napasnya. Mencoba untuk tetap sabar. "Aku akan tetap sabar!" gumam Bella mengusap dadanya.
"Amera … kamu sudah 1 jam diam seperti patung? Apa kamu gak capek? Otot kamu tidak kram, kan? Atau mungkin. Kepalamu kebentur apa kemarin, sampai membuat kamu jadi linglung gini?" kesal Bella.
"Bella ...." panggil Amera tanpa menatap ke arah Bella.
Bella menoleh ke arah Amera.
"Eh.. Ternyata kamu masih sadar juga." Bella tersenyum tipis. Menggerakkan tubuhnya, menghadap ke arah Bella. Kaki kiri terangkat di atas ranjangnya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Apa sebenarnya yang aku lakukan? Apa sekarang aku harus cari anak laki-laki dari pak Tua belagu itu. Emm ... Tapi, dia siapa? Kenapa dia memberi tahu jika anaknya yang membunuh kakakku. Harusnya dia melindungi anaknya. Tapi ... kenapa ini sebaliknya." Amera mencoba berpikir, menatap ke arah Bella.
"Emm ... Iya, juga, sih. Sedikit aneh. Apa dia sedang menjebak kamu? Tapi apa urusan dia denganmu? Kamu tidak kenal dengannya. Tapi, dia mencarimu." ucap Bella mengerutkan bibirnya, sembari memutar otaknya untuk berpikir keras tentang kejadian aneh itu.
"Sepertinya memang aku harus hati-hati. Ini bukan masalah sepele. Aku tidak mungkin terjebak ke dalam perangkapnya." ucap Amera. Menghela napasnya.
"Tapi, jika memang benar anaknya yang membunuh kakak kamu gimana? Siapa tahu juga dia memberi tahu kebenaran darimu." Kata Bella, membuat Amera menatap ke arahnya. Meruncingkan ujung matanya.
"Iya, tapi ...."
"Brakkkk!"
Suara gebrakan pintu sontak membuat mereka bangkit dari duduknya.
"Maaf, Telah mengganggu waktu kalian. Sekarang boss menugaskan kalian untuk pergi ke suatu tempat. Segeralah datang ke ruangannya." suara tegas dan lantang ajudan boss di depannya. Amera dan Bella berdiri tegap.
"Siap!" ucap mereka kompak.
"Lapor, Amera akan segera ke ruangannya. Mohon tunggu 10 menit."
"Baiklah!" Ajudan itu membalikkan badannya pergi. Tanpa banyak basa-basi lagi.
"Shiitt ... apa dia gak ada otak?" geram Bella, menghela napasnya lega.
"Aku hampir jantungan tahu, gak. Kalau seperti ini terus. Lama-lama aku mati jantungan di sini."
Amera hanya diam, dia tersenyum tipis. Membalikkan caranya. Membereskan barang-barang yang akan di bawahnya. Beberapa senjata di saku celananya. Dan, beberapa senjata cadangan di balik bajunya.
"Amera, kenapa kamu tidak marahi dia saja. Lagian kita itu lebih tinggi derajatnya dengannya," gerutu Bella. Dia masih belum terima di hati jantungan oleh ajudan itu. Tak henti, wanita itu melirik tajam ke arah pintu. Tangan kanan mengusap dadanya.
Amera hanya menggelengkan kepalanya. Dia mulai merapikan rambutnya, mengikat satu rambutnya di atas. Dan segera membawa tas kecil. Lalu melangkahkan kakinya pergi.
"Eh ... Amera, kamu mau kemana?" tanya Bella, mengangkat tangannya mencoba mencegah Amera. Tetapi Amera sudah dua langkah di depannya.
"Apa kamu tidak dengar suara lantang ajudan kesayangan kamu itu. Dia bilang kita harus menghadap kepada bossnya. Jadi kita harus segera pergi, Bella sayang," ucap Amera dengan nada rendah sedikit jengkel.
"Kenapa kamu, Ra. Selalu saja membela dia. Tahu, lah. Kesal aku." gerutu Bella. Mengatupkan bibirnya beberapa senti. Dia menghentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang meminta sesuatu. Lalu segera bersiap.
"Aku tunggu kamu di luar!" ucap Amera. Tanpa menunggu jawaban 'Iya' dari Bella. Amera berjalan keluar. Ia menyandarkan punggungnya di balik dinding. Kaki kiri di tengkuk ke belakang.
Amera mulai memasang earphone-nya. Mendengarkan beberapa musik pop, rock. Sambil mengangguk anggukan kepalanya. Menikmati alunan musik yang merefresh otaknya.
"Apa yang kamu katakan?"
"Pembunuhan, aku tidak akan tinggal diam."
Suara laki-laki yang kebetulan lewat tepat di depan kamarnya. Membuat Amera tertarik, dia mulai teringat tentang kakaknya. Amera melepaskan earphonenya. Dan mulai mengangkat kepalanya, menatap setiap langkah beberapa ajudan dengan setelan jas dan kacamata hitam. Berdiri tegak di belakang laki-laki tampan yang melangkah di depannya. Setelah jas lengkap. Amera terus menatap ke arahnya, sampai ujung kanan dan kiri. Membuat laki-laki itu curiga. Kedua mata mereka saling tertuju. Hingga sampai di ujung lorong kamarnya. Laki-laki itu sudah menghilang dari pandangan matanya.
Siapa dia? Kenapa dia bahas pembunuhan?
Amera terdiam, teringat ucapan laki-laki paruh baya kemarin. Dia masih terngiang-ngiang dengan nama anaknya.
Siapa anaknya? Dan, di mana dia sekarang? Apa aku pernah bertemu dengannya.
Pertanyaan itu muncul bertubi-tubi di kepalanya.
"Heh ...." Bella menepuk pundak Amera, membuat Amera terjingkat dari tepatnya berdiri.
"Apaa-apaan, sih, Bell. Sekarang kamu mulai balas dendam padaku."
"Udah, udah, Ayo pergi! Sebelum boss marah." ucap Bella, mendorong bahu Amera, terpental ke depan. Hampir jatuh, Amera mampu mengimbangi tumbuhnya agar tak jatuh. Dan mulai berjalan, beriringan, satu hentakan kaki yang sekarang. Mereka mulai melangkah, dengan gaya cool cas mereka. Rambut di ikat ke atas. Jaket bomber yang tebal, menutupi tubuh seksinya.
sampai di depan kantor boss, Amera terdiam. Dia mulai menggerakkan telinganya. Memasang pendengaran tajamnya. Saat mendengar pembicaraan di dalam. Amera, membalikkan caranya, menyandarkan badannya, di dinding. Sembari mengintip dari balik kaca.
"Ada apa?" tanya Bella bingung.
"Sssttt ...."
"Gimana? Apa kamu sudah menemukan siapa pembunuhnya?"
Bella yang bingung, dengan tingkah Amera. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Mencoba melangkah, dengan cepat Amera menarik tangan Bella berdiri tepat di belakangnya.
"Jangan masuk dulu," ucap Amera.
"Memangnya kenapa?" Bella mengintip dari balik kaca yang tertutup gorden.
"Aku curiga dengan laki-laki itu," ucap Amera was-was.
"Soal pembunuhan pacar anda. Saya, sangat berduka cita. Dan saya akan membantu anda menyelesaikan masalahnya."
"Pacar?" Dia bilang pacarnya meninggal." suara keras Bella, dibalas dengan pelototan tajam oleh Amera.
"Ssstt ... Diamlah! Aku tahu, dengarkan dulu."
Bella gemetar, dia mulai teringat tentang salah tembak beberapa bulan lalu. Dia panik gimana jika kasus itu dia selidiki. Dan mereka terlibat, maka akan jadi bumerang bagi Amera dan Bella. Tidak hanya kehilangan pekerjaan satu-satunya. Dia juga bisa di penjara karena itu.
Suara hentakan kaki berjalan keluar. Tubuh Amera tersentak. Dia meraih tangan Bella, dan berdiri tepat di depan pintu. Kedua kalinya, laki-laki tampan itu menatap ke arahnya. Kali ini dia berdiri tepat di depannya. Dengan kedua mata menatap setiap lekuk tubuhnya. Dari ujung kaki sampai kepalanya. Bella yang masih takut, ia menarik-narik lengan jaket Amera.
"Amera, ayo masuk!" ucap Bella, mendorong tubuh Amera masuk. Pandangan mata Bella masih tertuju pada laki-laki di belakangnya.
"Sudah, jangan lihat dia. Cepat masuk!" Bella semakin mendorong sedikit keras tubuh Amera.
"Boss, apa yang kita lakukan dengannya?" tanya salah satu ajudan pada laki-laki di depannya.
"Aku merasa tak asing dengan wajah itu," jawab laki-laki itu. Dia menghela nafasnya. Dan segera beranjak pergi. Tanpa pikir panjang dan tak pedulikan apa yang wanita itu lakukan.
"Tapi, dia siapa? Apa anda ada hubungan dengannya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments