Pabrik

"Bagaimana kerja di pabrik Bapak, kemarin?" Tanya Bima sambil mengenakan kemeja kerjanya.

"Ternyata di pabrik pengarsipannya kurang bagus, jadi aku harus merapikan file dari jaman awal berdiri hingga baru baru ini. Tapi beberapa sudah beres. Ini tinggal memilah arsip laporan keuangan pabrik saja."

"Wah, keren! Aku yakin kamu pasti bisa membantu Bapak."

"Ya. Bagaimana pekerjaan barumu di sini, Mas?" Niken bertanya balik pada suaminya.

"Bagus. Aku memiliki banyak ide baru untuk mengembangkan cabang ini."

"Aku percaya suamiku ini bisa. Kamu hebat, Mas."

"Iya lah! Aku hebat! Hebat di ranjang juga ya." Bisik Bima tepat di telinga Niken.

Membuat wajah Niken bersemu merah.

"Mau kah?" Bima mengedipkan sebelah matanya pada Niken menggoda.

"Haduh, sudah jam berapa ini? Nanti telat, Mas."

"Ayolah, Ken. Sebentar saja." Rayu Bima sambil menarik lengan istrinya.

"Mas...!" Penolakan menjadi suara lenguhan manja dari mulut Niken.

Bima telah melahap bibir ranum istrinya itu. Dan dengan cepat mereka melakukan hubungan suami istri di pagi hari.

"Wow..! Aku jadi semakin segar rasanya!" Celetuk Bima sambil merapikan kembali pakaiannya.

"Mas, rambut dan make up ku jadi acak acakan gini!" Keluh Niken sambil duduk di depan kaca riasnya dan merapikan make up nya.

"Aku keluar dulu, ya." Ucap Bima.

"He eh."

Niken segera merapikan make up nya dan tak sampai lima menit, dia telah selesai dan keluar menuju ruang makan.

"Mbak Niken, kapan kapan ajari aku dandan ya?" Pinta Seruni.

"Boleh. Kapan saja, Run."

"Oya, nanti aku ke pabriknya agak siangan ya, Pak. Soalnya mau ngerjain tugas kelompok dulu di rumah teman."

"Iya, nggak apa apa." Sahut Pak Widodo.

"Oya, Niken dan Seruni benar benar membuat perubahan yang positif bagi pabrik. Bapak senang." Puji Pak Widodo.

Raut wajah Bu Mirna seketika berubah menjadi cemberut dan melirik ke arah Niken.

"Kenapa, Bu?" Tanya Dewa yang menyadari perubahan raut wajah ibunya itu.

"Lha, baru kerja sehari saja, sudah dipuji selangit. Orang bekerja itu aja ada masa training tiga bulan, terus itu saja belum tentu kerjanya bagus. Lah ini.... Baru sehari, Pak! Lihat dulu kerjanya selama beberapa bulan, baru bisa Bapak puji." Sindir Bu Mirna sambil menatap tak suka pada suaminya dan Niken.

"Ya ampun, ibu! Ibu cemburu sama Mbak Niken?" Tembak Seruni.

Bu Mirna melengos tak mau menjawab pertanyaan Seruni.

Hal itu membuat Seruni terkikik geli sendiri melihat tingkah ibunya.

*

"Niken, nanti kamu tolong bantu Bapak temui pelanggan yang datang ya. Hari ini Mas Pur sedang mengambil kain." Instruksi Bapak.

"Baik, Pak."

Menjelang siang, sebuah mobil datang ke pabrik Pak Widodo.

Turun lah seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun ke atas, dengan penampilan kasual, namun rapi, dengan menenteng sebuah tas handmade dengan corak batik. Memakai kemeja batik juga. Penampilan yang simple, tapi, terkesan elegan.

Lalu diikuti oleh seorang lelaki dengan gaya kemayu, mengikuti di belakang wanita itu.

Pak Widodo menyambut tamunya dengan ramah.

Niken sempat mengerutkan keningnya mencoba mengingat pelanggan yang datang itu.

Dia merasa pernah melihat wanita dengan dandanan modern dengan bahan batik.

"Selamat siang, Pak Wid." Sapa ya sambil menyalami Pak Widodo.

"Baik, Mbak Clara.."

"Ya... Clara Adelin! Perancang busana terkenal itu. Astaga! Rupanya dia salah satu pelanggan Bapak."

Niken nyaris berteriak heboh saat mengetahui pelanggan yang datang itu. Dia hanya bisa menatap sang pelanggan itu dengan tatapan kagum.

"Oya, ini Niken, menantu saya, yang kebetulan akan membantu Mbak Clara memilih corak motif."

"Oya! Wah sekarang sudah ada tambahan keluarga yang membantu usaha Pak Wid."

Celetuk Clara.

"Mari Mbak, silahkan masuk ke dalam." Niken membimbing Clara masuk ke ruang penyimpanan produk yang sudah siap jual. Letaknya di ruang tengah dekat ruangan karyawan.

Clara memilih milih beberapa motif baik batik tulis maupun batik cap.

"Wah, saya nggak tahu, jika Mbak Clara pelanggan di sini! Dulu waktu saya kerja di Jakarta, saya sering belanja di butiknya Mbak Clara yang di mall itu." Cerocos Niken yang tak bisa menahan lagi dirinya untuk mengobrol dengan salah satu idolanya.

Clara menghentikan kegiatannya memilih kain. Dan menoleh ke arah Niken.

"Terima kasih." Ucapnya sambil tersenyum.

Lalu dia melanjutkan memilih corak kain.

"Yang ini model baru, Mbak. Motif klasik, tapi elegan." Tukas Niken sambil menunjuk pada beberapa lembar kain yang terbentang di gerai.

Clara menatap kain kain yang ditunjuk oleh Niken, lalu memilih beberapa.

"Oci, tolong kumpulkan semua pilihan saya!" Perintah Clara pada asistennya.

"Baik Mbak."

Sang asisten itu dengan gemulai mulai mengumpulkan semua lembaran kain batik yang dipilih oleh atasannya itu.

Niken membantu melipat kain kain itu dan menumpuknya di atas meja.

"Baik, itu semua pesanan saya. Bisa tolong dibantu totalkan?" Ucap Clara.

"Baik Mbak Clara."

Pak Widodo masuk ke ruangan itu, membantu Niken mengemas kain kain itu dibantu seorang pegawai.

Lalu Niken memberikan nota belanja pada Clara.

"Kamu ada saran untuk butik saya?" Sambil menerima nota belanjanya.

Niken terdiam. Sejujurnya, dia hanya beberapa kali saja berbelanja batik di butik Clara, itu pun dipakainya untuk kerja, dan kondangan, karena modelnya yang menurutnya modern.

"Mungkin harganya." Niken menjawab lirih, takut menyinggung Clara.

Clara terbayang mendengar jawaban polos Niken.

"Ya, itu yang sedang aku pikirkan. Saya akan membuat pakaian yang harganya low price. Makanya saya memilih bahan yang biasa. Tapi, akan saya buat lebih oke lagi."

"Ya, dan itu pasti akan laris."

"Benar! Terima kasih."

Usai melayani pelanggan seorang perancang busana, Niken merapikan kembali kain di ruangan itu.

Lalu muncul Seruni, yang ikut membantunya.

*

"Runi, Bapak sama Mas Pur mau antar pesanan pelanggan ke solo. Kamu dan Mbak Niken antar pesanan yang di meja itu. Beberapa sudah ada yang lunas, dan beberapa lagi masih kasih Dp saja. Nanti ditagih sekalian." Pesan Bapak.

"Baik, Pak."

Niken dan Seruni mencocokkan nota dan produk, lalu mereka menaruh dalam plastik dan diberi nama.

Lalu mereka keliling Yogyakarta mengantar pesanan pelanggan.

"Runi, kamu saja yang bawa uangnya ya, sama notanya. Biar aku yang cocokin datanya."

*

Setelah mengantar pesanan Seruni dan Niken langsung pulang ke rumah, karena hari sudah menjelang malam.

Sesampainya di rumah, terparkir sebuah mobil, dan terlihat Bu Mirna duduk bersama tamunya sedang mengobrol.

"Siapa, Run?" Tanya Niken penasaran.

Seruni hanya menaikkan bahunya, isyarat tak tahu.

Mereka masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.

Saat sedang di dapur menyiapkan makan malam bersama Seruni, Niken mendengar suara motor Bima datang, namun, sepertinya ibu memanggilnya.

"Bima, kemari!" Panggil ibu.

Bima yang baru datang, tak menyahut panggilan ibunya itu. Bima menaruh tas kerjanya di kamar, lalu mencuci tangan dan kaki di kamar mandi.

"Bima, nggak dengar panggilan ibu, apa?" Bu Mirna menghampiri Bima yang baru keluar dari kamar mandi.

"Dengar, Bu. Ada apa? Bima, kan baru pulang, bersih bersih dulu, lah."

"Ada Rima. Ayo temui dulu!" Ibu menarik lengan putranya itu.

Niken yang sedang menaruh masakan di meja makan, kebetulan mendengar ucapan ibu mertuanya, hanya bisa menghela napas dan mengelus dada supaya bersabar.

"Temani Rima dulu, ya! Ibu ke dalam sebentar."

Pamit Bu Mirna pada Rima, saat berhasil menyeret putranya untuk duduk berduaan bersama Rima di ruang tamu.

"Runi, buatkan minuman buat tamunya Mas Bima!"

"Hah! Bukannya itu Mbak Rima? Ngapain nemuin Mas Bima?"

"Halah, nggak apa apa. Lagian cuma ngobrol saja."

Ibu Mirna mengibaskan tangannya seolah bukan hal yang besar.

*

"Nah, silahkan diminum, Rima."

"Iya, Bu. Apa kabar Mas Bima?" Tanya Rima berbasa-basi.

"Baik. Saya permisi mau ke dalam.."

Bu Mirna melotot ke arah Bima sambil mencengkram lengan putranya itu.

"Bima ini, pindah ke Yogya."

"Ohh.. lalu istrinya?"

Ibu terdiam menghela napas sejenak.

"Istri saya ikut ke mari. Oya, ngobrol sama ibu dulu saja. Saya habis pulang kerja ini, lengket, mau mandi dulu." Ucap Bima dengan sopan, sambil melepaskan cengkraman ibunya.

"Nak Rima, kan tahu. Bima dan istrinya itu sudah menikah lama, tapi belum punya anak. Nah, ibu makna yang nggak khawatir. Takutnya mantunya mandul! Nggak bisa punya anak!" Cerocos Bu Mirna pada Rima.

"Masa, sih Bu. Memang sudah periksa?" Tanya Rima.

"Nggak usah pakai diperiksa segala. Sudah jelas, Nak." sergah Bu Mirna.

"Kamu itu harusnya yang cocok mendampingi Bima. Bukan dia." Ucap Bu Mirna.

Niken yang tak sengaja mencuri dengar, hanya bisa lagi lagi menahan dirinya untuk tidak marah.

Tak terasa air matanya mengalir membasahi pipinya.

Episodes
Episodes

Updated 72 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!