Wanita Lain Pilihan Ibu

"Wah, kamu sungguh ingin membantu Bapak?" Tanya Bima saat melihat Niken mematut diri sambil mengenakan pakaian kemeja rapi seperti orang kantoran.

"He eh Mas, dari pada bosan. Mending aku ambil saja tawaran dari Bapak."

"Baguslah. Aku yakin kamu bisa membantu pekerjaan di pabrik dengan baik. Aku harap kamu juga bisa membantu mengajari Seruni bekerja yang baik."

"Iya, Mas."

Bina dan Niken keluar dari kamar menuju ruang makan, di sana sudah ada keluarga Bima duduk sarapan.

"Nah, Nak Niken sudah siap?" Tanya Bapak sambil tersenyum.

"Sudah, Pak." Sahut Niken sambil mengangguk, dia melirik ibu yang raut wajahnya terlihat tidak suka.

Ibu terlihat memotong roti dengan kuat kuat saat menyiapkan roti untuk sarapan sambil menatap tajam ke arah Niken.

*

Niken bekerja merapikan file di ruangan Pak Widodo. Sedangkan Pak Widodo sedang memeriksa penjualan ke pelanggan dengan Mas Pur bagian marketing.

"Wah, nggak dari dulu, Mbak Niken diajak ke sini buat bantu pabrik. Jadi kita nggak usah repot-repot mencari file dan menyusun pembukuan." Puji Mas Pur.

Pak Widodo tersenyum menanggapinya.

"Iya, nanti Seruni juga akan datang ke sini untuk membantu, setelah dari kampus." Sahut Niken.

"Loh, ditambah Mbak Runi juga? Wah, yakin bakal maju usaha kita ini, Pakde."

"Iya, Niken yang memberi ide. Dan Runi ternyata mau membantu di sini setelah selesai kuliah." Pak Widodo meneruskan memeriksa laporan.

Mas Pur juga duduk di ruangan sambil membalas pesan dari pelanggan.

"Oya, apakah pabrik sudah punya sosial medianya?" Tanya Niken.

"Sosial media?" Tanya Pak Widodo sambil mengernyit.

"Iya, Pak. Facebook, Instagram, tik tok, supaya bisa memasarkan produk ini."

"Lah, itu dia. Saya itu sudah kepikiran, tapi bingung bikinnya seperti gimana." Mas Pur menghela napas.

"Tenang, nanti biar Runi yang mengurus sosial medianya. Jadi Mas Pur tinggal cek produk, dan kirim. Urusan pemasaran melalui sosial media biar Runi. Mas Pur belajar sambil jalan, lama lama nanti ngerti."

Mas Pur manggut-manggut mengerti, dan Bapak tersenyum bangga melihat Niken yang serius membantunya.

Menjelang siang, terdengar suara gaduh di ruang depan, Pak Widodo, Mas Pur dan Niken segera keluar ruangan.

"Loh, Bude? Tumben datang?" Sapa Mas Pur ketika melihat Bu Mirna datang ke pabrik batik milik suaminya itu.

"Loh, Bu, tumben ke sini?" Tanya Pak Widodo sambil menyambut istrinya.

"Iya, aku bosan di rumah!" Tukasnya cepat.

"Lah, biasanya juga di rumah sendiri nggak bosan." Tanya Pak Widodo heran.

"Bapak nggak senang istrinya datang ke pabrik?" Sahut Bu Mirna ketus.

"Nggak lah, Bu. Malah senang, kerja ditemani istri tersayang."

"Aku nggak ingin Bapak lirik sana sini!" Sambar Bu Mirna sambil melirik ke Niken yang masih sibuk memilah file.

Pak Widodo terkekeh, lalu menggandeng istrinya duduk di sofa.

Bu Mirna terus menatap tajam pada Niken yang kini menghampiri Mas Pur sambil menyodorkan beberapa kertas.

"Dasar ganjen!"

Pak Widodo menoleh ke arah istrinya, yang tengah mengamati Niken dan Mas Pur yang sedang berdiskusi sambil melihat ke arah lembaran kertas.

"Sudah lah, Bu. Niken bagus loh kerjanya."

Bu Mirna cemberut saat suaminya memuji Niken.

"Halah, Bapak juga mulai tergoda sama wanita itu! Itu lah, makanya, ibu ke mari. Mengawasi!"

"Hah? Mengawasi?" Ulang Bapak sambil mengerutkan keningnya.

"Bude cemburu sama Mbak Niken, ya?!" Tegas Mas Pur.

Bu Mirna melengos, tak mengakui, dan mulai berdiri, dan menuju ke ruang belakang tempat beberapa pegawai, sedang membatik kain.

"Loh! Ibu? Kok di sini?" Seruni yang baru tiba di pabrik, terkejut saat melihat ibunya sedang duduk sambil mengawasi beberapa karyawan yang sedang melipat kain yang sudah jadi.

"Iya, kenapa? Nggak boleh apa, jika ibu datang ke pabrik?" Raut wajah Bu Mirna seolah tidak suka, saat Seruni bertanya dengan heran.

"Tumben."

Seruni tersenyum geli sambil menyomot pisang goreng yang ada di meja kantor.

"Bude sedang mengawasi Pakde dan Mbak Niken?" Bisik Mas Pur pada Seruni.

"Loh?" Seruni melotot.

Lalu Seruni terkekeh geli mendengar alasan yang tak masuk akal itu.

Bu Mirna keliling pabrik dengan jalannya bak priyayi. Protes ini dan itu, yang menggangu aktifitas pegawai di panti Pak Widodo, sehingga akhirnya pemilik pabrik sekaligus suaminya itu membawanya ke luar pabrik.

"Ayo, Bapak antar pulang ke rumah saja." Ucap Pak Widodo sambil menarik lengan istrinya masuk ke dalam mobil.

"Bapak nggak suka, ibu datang ke pabrik? Iya? Biar puas lama lama dengan perempuan itu?" Tukas Bu Mirna ketus.

"Puas lama lama dengan perempuan? Astaga, Bu! Maksudmu dengan Niken? Menantu kita?"

"Menantumu!" Tukas Bu Mirna cepat.

"Bu, Niken itu bagus kerjanya. Dia merapikan file pekerjaan dari belasan tahun silam, dari awal pabrik dirintis. Dia sedari pagi memilah milah berkas."

"Baru hari pertama!"

"Tapi dia karyawan yang bagus, anaknya nggak macam macam."

"Bapak membela dia!"

"Astaga, Ibu! Bapak nggak membela siapa siapa. Ada apa sih sama Ibu, kok sedari kemarin ngomel terus?"

"Ibu nggak suka dia kerja di pabrik!" Sahut Bu Mirna dengan suara penuh penekanan.

Pak Widodo menggelengkan kepalanya sambil menghela napas berat, lalu mengemudi mobil mengantar istrinya pulang ke rumah.

*

Menjelang malam, ketika Niken selesai mencuci piring bekas makan malam, lalu mencuci pakaiannya dan Bima, tak sengaja Niken mendengar ibu mertuanya itu sedang mengobrol di telepon di teras belakang.

Niken sedang menjemur pakaian di jemuran di samping rumah, yang terhubung ke teras belakang rumah.

"Iya, kapan pulang ke Yogya?"

"Bulan depan ada arisan datang ya? Bima sudah pulang ke rumah."

Ibu terdiam mendengar orang di seberang sana sedang berbicara.

"Ah, nggak. Bima pasti masih menyukai Rima. Lagi pula, ibu itu sangat berharap Nak Rima jadi mantu ibu."

"Istri Bima berbeda sama Nak Rima. Wah, kalah jauh, Nak! Bagai langit dan bumi. Tetap cantik Nak Rima. Juara pokoknya! Nak Rima adalah calon mantu idaman, Ibu. Paling cocok sama Bima."

Bu Mirna terus memuji sosok wanita bernama Rima itu.

Putri rekan bisnis Pak Widodo, yang sempat dijodohkan dengan salah satu putra pak Widodo.

Namun, Rima, akhirnya memilih Bima dari pada Dewa, karena penampilan Dewa yang selengean, dan rambut gondrong.

Rima lebih memilih Bima yang tidak macam macam, dan terlihat lebih gagah, meski pun cuek.

"Jadi, ya, Nak Rima mampir ke sini! Besok Ibu buatkan brongkos kesukaan Nak Rima."

Niken menyandarkan tubuhnya ke dinding, sambil menghela napas dalam-dalam saat, tak sengaja mendengar percakapan Ibu dengan seseorang yang di duga bernama Rima.

Hatinya sangat sedih, ingin menangis. Tapi, Niken ingat saat Bima meyakinkan dirinya untuk bersedia menikah dengannya.

Perjuangan Bima dan ketulusan hatinya. Niken berharap semoga pernikahannya akan langgeng selamanya.

Episodes
Episodes

Updated 72 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!