Chapter 4

“Aahh Bapak gak seru  ," rengek Arumi, sambil cemberut.

“Apa kamu bilang?!" marah Pak Ibnu, masih membara.

“Eh gak kok Pak. Saya ngomong sendiri," sahut Arumi, cengengesan.

“Gila kamu ya ngomong sendiri!" pekik sang gurur, membuat gelak tawa anak sekelas terdengar nyaring.

Waktu berjalan dengan lambat, pelajaran Pak Ibnu masih satu setengah jam lagi.

“Rum, Rumi. Lihat tuh, si Rey ganteng banget sumpah!" celetuk Indah, menunjuk tempat lelaki bernama Rey itu terlihat.

“Apaan sih, biasa aja kali Ndah. Lebay lu!" sahut Arumi, sewot.

“Hay Rey, semangat yaa olahraganya!" celetuk Indah, tiba-tiba memberi sapa dengan pasang muka badak. Gak tau malu banget, SKSD!

Arumi hanya melihat sekilas ke arah Rey, penasaran dengan wajah yang selalu di idam-idamkan anak perempuan di kelasnya. Yah ... tidak jelek-jelek amat. Tapi gak terlalu ganteng juga, standar lah.

Pikir Arumi, begitu. Sementara Indah udah jingkrak-jingkrak karena Rey tersenyum padanya sebagai balasan sapa SKSD Indah.

“Gimana ? Cakep kan lu? Nyium gak aroma maskulin parfumnya kagak? Ih ... harum banget gila. Gak nyesel gua di hukum berdiri sama Pak Ibnu!" pekik Indah, kegirangan.

“Standar," jawab Arumi, menimpali dengan nada datar.

“Gilaaa! Lu cowok seganteng itu lu bilang standar? Standar itu temen lu Bayu tuh, Rum. Jelek kagak, ganteng juga kagak wkwkwk ...,” gerutu Indah.

Arumi memutar bola matanya malas dan mengalihkan pembicaraan mereka. “Ndah lu tahu kan, toko roti deket rumah gua. Rotinya enak-enak tahu. Mana murah banget. Gua udah lama langganan di situ. Lu kalo mau beli kue ulang tahun, di situ enak. Gua recommended deh. Nanti gua temenin biar lebih murah!” ucapnya, semangat.

“Oh toko roti yang lu ceritain itu, yang katanya lu suka ngobrol sama yang punya, kan?" tanya Indah, mendapatkan anggukkan kepala dari Arumi. Tak lama, kedua mata Indah memutar malas melihat kelakuan Arumi. "Lu mah, di ajakin bahas jogan sulit, waktu bahas makanan langsung elit! Gila-gilanya. Gak ada hasrat ke cowo atau gimana sih? Jangan-jangan lu belok lagi," pekiknya, menuduh.

“Gua tabok tuh mulut, baru tau rasa lo. Dah lah, mending bahas makanan yang bisa kita beli dari oada lelaki yang gak bisa kita miliki! Paham gak lo? Jauhin rona-rona ngenes bau cinta bertepuk sebelah tangan lah," papar Arumi, masuk akal.

Biar Indah kagak halu mulu tentang si Rey. Takutnya, teman baiknya ini jadi gila duluan sebelum berhasil curi tuh hati cowok penggila bidak catur.

“Okey kapan-kapan deh. Entar gue ajakin lo, selama ada bujet. Aman ada dah wkwkwk," sahut Indah, terkekeh.

“Oh kalian berdua suka ya, berdiri di luar??" celetuk seorang lelaki dengan suara serak, tampak tak senang melihat kedua muridnya yang malah cekikikan saat mendapatkan hukuman.

Arumi dan Indah, beserta siswa lain yang ikut di hukum, langsung menoleh ke arah sumber suara. Melihat Guru Sejarah yang mukanya udah sama membosankannya dengan barisan tulisan di buku materinya.

“Ehh gak Pak. Kami mau belajar juga Pak. Enang dengar ceramah– eh, maksud saya ... wejangan bapak pas terangkan materi hehe," celetuk Indah, dengan mengulas senyuman masam.

“Ya sudah, masuk kalian semua. Besok jangan di ulang lagi gak ngerjain PR-nya."

“Siap Pak," ucap mulut mereka, lain lagi di hati. "InsyaAllah. Tapi gak pernah janji! Wkwkwkw ...."

***

“Pagi, Ma. Mama masak apa hari ini?" Tanya Arumi, melihat Mamanya sibuk menyiapkan piring di atas meja.

“Ini Papamu minta di buatkan bubur ayam. Sama Bagas minta di buatkan sandwich untuk bekal sekolah. Tapi, tumben anak gadis Mama sudah rapi?" tanya Mama Ika, melihat anak perawannya yang sudah rapi padahal jam segini biasanya masih ngendon di kasur, nabung liur di bantal.

Arumi tidak mengindahkan pertanyaan rasa ejeekan itu dan berjalan ke arah lemari pendingin untuk mencari air dingin. “Papa sudah pulang dinas?" tanyanya, di sela aktivitas itu.

“Sudah tadi malam. Mungkin jam dua belas malam Papa sudah balik. Owh, kata Papa, dia sudah bawakan titipan kamu. Ambil gih," pinta Ika.

Arumi mengangguk antusias dan melenggang pergi tanpa menutup lemari pendingin. “Yeay assaaa. Di mana Papa, Ma?" tanyanya, sambil berlari tanpa tahu arah tujuan.

“Barangnya ada di kamar Mama, di meja rias, sayang. memang Rumi titip apa sama Papa?" tanya Ika, menatap anak gadisnya yang masuk ke dalam kamarnya dengan wajah girang.

“Pie susu sama coklat. Rumi dulu pernah di kasih sama Janeta oleh-oleh dari Bali, rasanya enak banget. Beda sama pie susu yang ada Bandung, hehehe ... mangkanya Arumi nitip ke Papa. Kesempatan dong, hehehe ...."

“Oh begitu. Mama kira kamu titip kain bali, Jangan teriak-teriak di dalam sana, Rum. Nanti Papamu bangun. Papa lagi agak gak enak badan," ucap Ika, berdiri di depan ambang pintu kamarnya.

“Owh ... maaf." Arumi berjalan keluar dan menemui sang Ibu. "Rumi sekalian berangkat ya Ma. Terus nanti bilangin ke papa, terima kasih banyak dari Kayana Arumi anaknya yang paling cantik sedunia, daah Mama ...."

Arumi masih berisik. Dengan langkah tak beraturan itu, dia keluar dari rumah dan menggebrak pintu saat menutupnya. Membuat sang Ayah bangun dari tidurnya dengan tatapan datar.

Ika menoleh pada sang Suami saat menemui pergerakan dari atas ranjang. "Sabar, namanya anak masih remaja. Jelas hiperaktif!" serunya, lebih dahulu sebelum suaminya mengeluh.

Hamdan, suaminya, hanya bisa menghela napas lslah setelah mendengar wejangan itu. "Hem ... tutup pintunya, Papa–"

"Astaga, Arumi kan belum sarapan!" pekik Ika, segera berlari keluar rumah dan membuat Hamdan menghela napas lelah berulang kali.

"Dah lah, memang copy-paste. Pasti kelakuannya mirip-mirip. Berharap apa kamu Hamdan?! Tidak ada ketenangan seperti itu di rumahmu," gumamnya, pada diri sendiri, sambil berusaha memejamkan kembali matanya.

Sementara Ika, sudah berdiri di depan gerbang rumah sambil menatap Arumi yang sudah sedikit jauh dari rumah.

“Kamu gak sarapan dulu sayang? Kalau gak, bawa bekal sandwich udah mama siapin tadi!!” teriak Ika, membuang sang putri menoleh padanya dan mulai berjalan mundur, perlahan-lahan.

“Enggak, Ma. Sarapan di sekolah aja. Bayu bawa nasi goreng. Daah ... Mama!!" teriak Arumi, melambaikan tangannya dengan semangat sebelum kembali berjalan dengan benar.

“Ya sudah, hati-hati di jalan," teriak Ika, melambaikan tangannya balik dan melihat putrinya yang kembali menoleh dan menyahut.

"Iyaaa ...."

Selepas itu Arumi pergi ke depan gang untuk menunggu angkot langganannya, yang semoga saja tidak terlewatkan di jam penjemputan pertama.

Arumi menatap jam tangannya dengan resah. "Moga aja kagak di tinggal sama Pak Gendut," celetuknya, dalam hati.

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***