Angkot langganan Rumi datang dua menit kemudian. Seperti biasa, tukang angkot gendut itu basa-basi menanyai tujuan Rumi. Padahal sudah tahu Rumi bakal turun di depan gerbang SMA DUTA BANGSA, dan sesekali berhenti menyuruh penumpang lekas naik.
Rumi turun di depan gerbang sekolah bersamaan dengan Selen yang baru turun dari mobil orang tuanya.
“Hai Rum, bawa apaan tuh?" celetuk Selen, langsung ngibrit ke arah Arumi tanpa bersalaman dengan kedua orang tuanya. Memang dasar anak kurang ajar.
"Heh, salim dulu!" pekik sang Ayah, menyembulkan kepalanya keluar dari jendela mobil.
Selen dan Arumi yang sudah berhadapan, langsung menoleh pada Pak Martin, selaku ayah Selen.
"Eh iya, lupa hehe ...." Selen segera mendekati mobil sang Ayah dan segera bersalaman. Begitu juga dengan Arumi, yang ikut bersalaman pada Om Martin.
"Ayah berangkat dulu, Sel. Kalian belajar yang pintar. Mari, Arumi."
"Iya ...."
"Iya, Om. Hati-hati," sahut Arumi, menunduk solan.
Setelah itu, Martin menutup kembali kaca jendela dan pergi meninggalkan kedua remaja yang memasang senyum dan melambaikan tanganAsaat kepergiannya.
"Oke, balik ke pembahasan. Itu apaan?" tanya Selen, balik menatap Arumi kembali.
“Ini pie susu sama coklat yang aku titip belikan waktu papaku dinas di Bali, pie susu kayak oleh-oleh Janeta itu. Ingat, kan?” jelas Arumi.
“Oh ... pie susu yang buat kamu sama Bayu ketagihan itu?"
Arumi mengangguk antusias. “Iyaa ... aku sengaja beli banyak buat bagi-bagi sama teman sekelas. Dah, yuk masuk!" ajaknya, menggandeng tangan Selen untuk pergi bersama.
"Asyik, pagi-pagi dah dapat rezeki nomplok aja wkwkwk ...," batin Selen, girang.
***
Kami berjalan memasuki sekolah, belum banyak murid yang datang ke sekolah. Kelas kami IPS-2 berada di ujung lantai dua, bersebelahan dengan kelas IPA-2. Saat melewati kelas IPA-2, sekilas Arumi melihat Rey bermain catur sendirian di kelas.
“Hay Rey, pagi-pagi sudah main catur aja, mainin hati aku aja dong. Aku temenin yaa ...."
Sontak Arumi dan Selen hanya geleng-geleng kepala mendengar godaan receh Sesil. Siapa anak SMA Duta Bangsa yang tidak kenal Sesil, si tukang buat onar?
Rok sekolah di pendekin, lengan baju di gulung, setiap hari masuk BK, ngelabrak adik kelas yang berani, main ganjen sama cowok yang dia incar dan masih banyak lagi.
"Balik yuk. Takut kena katarak nih mata kalau lihat mereka," celetuk Selen, enggan melihat pemandangan menggelikan itu.
Arumi mengangguk dan mereka masuk ke kelasnya. Tak lama kemudian, Indah masuk dengan suaranya yang heboh membanggakan sesuatu.
“Hay, morning guys. Lu pada tahu kagak? Gua habis lihat apaan?" seru Indah, begitu dia memasuki kelas dengan wajah sumringah.
Arumi dan Selen hanya menggelengkan kepala tanda tidak tahu.
“Habis liat pangeran kodok dia! ” celetuk Bayu, baru masuk kelas dan menjawab dengan usil, berniat menjahili Indah.
“Yee, enak aja. Masih mending pangeran kodok. Nanti bakal berubah jadi pangeran ganteng, lah elu jenglot, ha haa ha!" ledek Indah, tidak mau kalah pada Bayu yang sering meledek si pangeran tampannya.
Bayu hanya mencebikkan bibirnya dan berjalan ke bangkunya. Duduk dengan tenang sambil mengeluarkan kotak bekal berisikan nasi goreng, sesuai perkiraan Arumi tadi pagi.
"Rum, sini makan. Katanga belum sarapan lu!" ucap Bayu, langsung di kerumuni teman-temannya. Bukan hanya Arumi saja.
"Wah ... aroma-aromanya, jatah makan pagi gue angus nih," celetuk Bayu, mendapat gelak tawa teman-temannya.
***
Kring...kring...
Bel masuk sekolah berbunyi. Para murid memasuki kelas masing-masing.
Hari ini kelas di mulai dengan pelajaran paling membosankan sedunia. Bagaimana tidak? Yang di bicarakan adalah angka dan angka, yang hampir membuat kepala pusing tujuh keliling itu hanya berlaku bagi Rumi yang kapasitas otak untuk matematika-nya hanya tiga persen.
Tidak bagi Selen yang sangat antusias pada matematika. Dia selalu tampak bersemangat melihat wajah Bu Ila.
Padahal Arumi sudah tercekik begitu melihat wajah Bu Ila sekilas, bagaimana Selen bisa sesenang itu, ya?
“Rumi, lu dah kelar PR Bu Ila, gua nyontek dong.”
Belum sempat menjawab pertanyaan Indah, terdengar suara ketukan pintu. Kelas yang semula ramai langsung hening, Pak Herman berdiri di depan papan tulis.
“Uang spp siapa lagi nih yang tunggak qampai Pak Herman nyamperin ke sini?" gumam Indah, matanya sudah jelalatan menelusuri kelas, sebelum memerhatikan Pak Herman, guru bertubuh jangkung dengan rambut belah tengahnya yang khas.
“Anak-anak hari ini Bu Ila tidak masuk karena berhalangan, kalian di suruh mengerjakan soal latihan halaman tiga dua. Langsung di kerjakan dan nanti ketua kelas yang akan kumpulkan di meja Bu Ila, ya?” ucap Pak Herman, menyampaikan pesan Bu Ila dan langsung meninggalkan kelas.
Kelas kembali ramai anak-anak bersorak kegirangan. Tapi hanya sejenak, karena mereka ingat betapa horornya wajah Bu Ila kalau melihat oknum yang tidak mengerjakan tugasnya.
Kami berempat mengerjakan tugas dengan khitmad. Lebih tepatnya, Selen dan Bayu saja yang sibuk mengerjakan.
Sementara Arumi dan Indah hanya sibuk membagikan kue pie susu pada teman-teman, sekitar bangku mereka dan di bantu mereka untuk menyalurkannya pada yang lain.
Jadi Indah dan Arumi tidak perlu capek-capek berdiri dan membagikannya.
“Rumi, lu habis dari Bali?” tanya Janeta, menatap bingkisan yang telah sampai di tangannya.
“Enggak, gua nitip belikan Papa gua. Kemarin kebetulan dinas ke Bali. Ini pie susu kayak yang lu kasih waktu itu. Gua demen soalnya, wkwkwk ...," sahut Arumi, di sertai tawa ringan.
“Oh gitu, thanks ya, Rumi.”
"Sama-sama."
***
Kami selesai membagikan pie ke anak kelas. Selen dan Bayu juga selesai mengerjakan tugas matematika-nya.
Kini giliran Arumi dan Indah yang menyalin tugas Selen dan Bayu, sementara keduanya menikmati oleh-oleh pemberian Arumi.
Bel pergantian pelajaran berbunyi. Seorang wanita masuk dengan wajah semangat.
“Pagi anak-anak. Hari ini Ibu hanya akan memberikan tugas di karena akan ada rapat mendadak di ruang guru. Sekarang buka buku bahasa Indonesia kalian halaman tiga belas, kerjakan soal latihan dan ketua kelas kumpulkan ke meja Ibu jika sudah selesai, kalau begitu selamat mengerjakan!" ucap Bu Retno.
“Bu, kalau sudah selesai boleh langsung istirahat?" Tanya Salmanan, di ikuti anak-anak lain.
Seakan itulah yang di incar mereka, dari pada mendapatkan faedah ilmu dari mengerjakan tugas sekolah mereka.
Bu Retno menghela napas lelah dan mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau tugas sudah di kumpulkan di meja Ibu. Paham, kan?" ucapnya, setengah memperingatkan para muridnya.
“Oke ... siap, Bu.” jawab kami, serempak dengan semangat membara.
Kami sekelas langsung mengerjakan tugas dengan semangat empat lima dan tugas itu selesai bahkan tak sampai separuh jam pelajaran.
"Yee ... kantin yok!!" ucap Indah, semangat.
"Gass ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments