Maret, musim semi pertama tahun ini. setelah selesai mengajar aku langsung membereskan buku dan segera pulang. Aku tak mau membuang waktu dengan mengobrol lagi bersama orang-orang aktif ini.
“Selamat datang, Pak Damian!”
Saat aku membuka kembali pintu rumah, rupanya dia sudah berdiri menyambut ku yang baru pulang mengajar. Dengan mata berbinar-binar dia tersenyum menatapku, lalu dia mengambil tas yang aku pegang. Ku pikir dia akan menyerah setelah aku kasar dengannya tadi pagi, tetapi itu rupanya tak cukup untuk memberikan dia pengertian.
“Aku sudah buatkan makan siang, bapak mau makan sekarang? Atau mau cuci muka dan kaki dulu? Aku juga sudah siapkan air hangat.”
Tak ku hiraukan dia, aku hanya terus berjalan sambil meregangkan simpul dasi di kerah kemeja. Tetapi dia terus mengikuti ku, mengikuti setiap langkah kaki ku, kemana aku berjalan.
“Aku mau ganti baju ke kamar. Kamu masih mau mengikuti langkahku?”
“Oh, maaf pak.”
Aku menatapnya begitu kesal, mengapa anak ini begitu mengganggu. Energinya terlalu besar sehingga membuat energiku yang terkuras semakin habis, dia bersinar terlalu terang untuk diriku yang kelabu, maaf Elia aku suka kegelapan.
Dia menelan bibirnya ke dalam, sehingga senyumnya langsung hilang tersembunyi.
“Dengar, dari awal kamu datang aku sudah bilang jangan mengganggu ku, tidak usah pedulikan aku. Aku memperbolehkan kamu di sini karena aku menghargai usaha mu untuk membantu orang tua. kalau aku menolak kehadiranmu, pasti orang tua mu akan sengsara karena hutangnya pada ayahku. Hanya karena itu, tidak lebih. Kamu paham kan?”
Dia langsung terdiam seketika itu, mungkin ucapanku sangat melukai hatinya dan aku tidak memungkirinya, aku tahu itu menyakitkan tapi itu lebih baik ku katakan, dari pada dia menyiksa dirinya hanya untuk berusaha menjadi pendamping hidupku.
“Elia paham, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan. Pak Damian mau makan sekarang? Aku tunggu di ruang makan, ya.” Ucapnya, senyum khasnya kembali terpajang.
“Terserah kamu saja!” jawabku ketus.
bam
Aku masuk ke kamar, dan dia pergi ke dapur. Ku perhatikan awan putih di luar, perhatianku kemudian berpusat pada pohon ketapang di halaman, ada satu daunnya yang gugur. Tetapi ada pula kuncup daun yang baru, entah mengapa dadaku malah terasa sangat penuh seperti jantungku memompa darah sepuluh kali lebih cepat, seharian seperti ini sejak aku mengetahui sesuatu hal tentangnya di sekolah. rupanya sepanjang hari aku memikirkan tentang dia yang terpaksa berhenti sekolah. Ku pikir hidupku yang paling mengenaskan, tetapi sepertinya ada yang memikul beban berat juga di usianya yang sedang merekah.
Dia harus menanggung akibat dari hutang orang tuanya, dan melupakan masa depannya.
“Padahal kamu memikul masalahnya yang begini besar, tapi kamu masih bisa tersenyum. Aneh.” Kataku pelan.
Aku sedikit terkejut saat membuka lemari pakaian, isinya sangat rapi. Ku pikir dia seharian membereskan rumah. cukup telaten untuk ukuran anak SMA sepertinya. Apakah dia benar-benar bertekad untuk menjadi seorang istri? Sayang sekali, kamu masih sangat muda untuk berumah tangga Elia. Mungkin kamu masih sangat membutuhkan pendidikan, di banding pernikahan, kan?
Dengan langkah pelan, aku berjalan menuju ruang makan. dia sudah menyiapkan nasi dan piring untukku.
“Akhirnya kamu datang pak Damian, kemari lah.”
Suaranya begitu lembut sambil menarik kan kursi untukku. Rasanya aku benar-benar lelah memperingati anak ini untuk tak perlu memperhatikan aku begini. Mengapa dia sangat bebal? Aku mendengus, sungguh aku tak ingin marah-marah lagi, aku lelah. begitu pula dia, beruntung dia tak pingsan karena membereskan semua pekerjaan rumah seorang diri. Villa ini cukup besar jika di bersihkan sendirian, di tambah dia memasak, mencuci dan merapikan pakaianku di lemari.
“Pak Damian mau makan lauk apa?”
Aku diam saja, sejujurnya aku sangat bingung karena dia memasak sangat banyak. Selama hidup sendiri, kadang seharian pun aku lupa apakah sudah makan atau belum. Tetapi kini, aku seperti bernostalgia saat masih tinggal di rumah keluarga Toma, pelayan selalu menyiapkan makan begitu banyak, meskipun aku hanya makan sendirian.
Sekarang malah jadi berlipat-lipat, ada seseorang yang menemani aku makan, makanan banyak sampai aku bingung memilihnya.
“Ma-maaf Pak, aku tidak bermaksud. Bapak silahkan pilih mau ambil makanan apa. Maaf jika pertanyaanku membuat bapak terganggu.”
Dia kembali duduk di kursinya, sepertinya dia telah salah paham. Padahal aku hanya terlalu lama melamun sampai tak lupa menjawab pertanyaannya. Bukan karena aku sengaja. Ah, tapi ya sudahlah, begini juga tidak masalah. Jadi dia akan belajar untuk berjarak denganku.
Aku sangat lapar, jadi sangat lahap memakan bagianku.
“Besok datanglah ke sekolah, ikuti pelajaran seperti biasanya.” Kataku.
“Tapi, pak.. soal itu..”
“Temui ibu Aria, batalkan niatmu untuk berhenti sekolah.”
“Tapi apa seorang siswi yang sudah menikah, masih bisa sekolah.”
Aku diam sejenak, lalu meneguk air minum di gelas yang ada di sampingku. “Apakah ada orang lain yang tahu kalau kamu berhenti sekolah karena menikah?”
Dia menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Tidak, aku tidak memberi tahu siapapun.”
“Baguslah, rahasia kan saja. kamu harus menyelesaikan pendidikanmu sampai lulus. Kamu siswi tahun terakhir sangat di sayangkan kalau harus berhenti begitu saja.”
Dia masih menunduk, seperti masih ada beban tetapi ia tak mampu mengatakannya.
“Tak usah pikirkan, aku akan membayar biaya sekolahmu.” Timpal ku kembali.
Sekarang wajahnya terangkat, mata coklatnya membulat melihatku. Jelas perkiraanku benar, dia mengkhawatirkan soal biaya. Berbeda denganku yang mengkhawatirkan jika hubungan pernikahan kami terendus oleh pihak sekolah, sebelum dia lulus. Entah aku atau Elia yang akan di keluarkan.
“Rahasiakan soal pernikahan kita, bersikaplah seperti biasanya seperti sebelum kamu menjadi pengantinku.”
“Baik, pak.”
Lalu setelah makan malam, kami kembali ke kamar tidur masing-masing. Seperti biasa, aku tak bisa tidur semalaman. Hingga terdengar suara gong berbunyi, tanda penyambutan musim semi. Benar, sekarang sudah berganti musim. bahkan Saat salju mencair pun, hidupku tidak akan berubah.
Karena suntuk, aku berniat ke ruangan penghangat. Padahal musim dingin sudah berakhir tetapi aku masih kedinginan. Mungkin karena hati ini yang beku, ya? Entah mengapa aku selalu memikirkannya.
ini Rinna, calon istri baru ayah sekaligus calon ibu tiri kamu.
kalau tidak bisa menerima kehadirannya, enyahlah dari hadapan ayah.
“Seharusnya bukan ibu, tetapi aku saja yang mati!”
Mau aku menghilang pun, tak akan ada yang perduli. Kemudian tiba-tiba setelah tidak lama aku duduk. Elia datang. Mungkin suara langkah kakiku begitu kuat sehingga membuatnya terbangun.
“Apa aku boleh menemani Pak Damian di sini, malam ini?”
Untuk kesekian kali dia selalu berusaha mendekat dan memberi perhatian padaku. Apa yang aku pikirkan?
“Terserah.”
“Asyik! Oh, biar aku buatkan susu coklat, ya?”
Belum aku menjawab, dia sudah bangkit duluan. Anak ini, padahal juga memiliki masalahnya sendiri. kalau Cuma pembantu, sudah ku suruh keluar dari rumah ini. tak lama setelah itu, dia datang membawa dua coklat panas. Kami hening sebentar, hingga aku membuka mulut dan berkata :
“Kamu sebetulnya tidak suka, kan?”
“Apa maksud pak Damian?”
“Tinggal di dekat pegunungan begini, terpaksa menjadi pengantin dan menemani orang yang seperti aku ini, kamu pasti tidak mau, kan? Kamu pasti tidak sudi! Dinikahkan dengan seorang pria pesimis yang mengurung diri dan tak ada masa depan. Hidup satu atap saja sudah menyiksa! Derita kutukan mu jadi bertambah kan? Sudahlah, tidak usah memaksakan diri! Katakan saja apa yang kau mau!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Haku
hehehe ayok ayokkk demian
2023-03-21
0
Hanisah Nisa
semangat upnya Thor.....
2023-03-03
1
💛⃟🤎🏠⃟ᴛᴇᴀᴍ ɢͩᴇͥɴͩᴀᷲᴘͪ🥑⃟𝐐⃟❦
Yg Semangat lah pak Damian.. C'mon jangan pesimis begitu.. liat istrimu meski banyak beban yg di pikulnya tp menhadapinya dgn penuh suka cita.. intinya harus ikhlas menerima apa yg terjadi pd diri kita , pak Damian... 💪💪💪💪
2023-03-03
2