#Kadaver
(Praktek Bedah Mayat)
Bab3
Teror suara decitan ranjang pasien itu terus terjadi di malam-malam selanjutnya, aku sama sekali tidak punya keberanian untuk melihatnya ke luar. Biasanya aku memilih memasang headset di telinga dan mendengarkan musik.
Hari-hari setelah praktek, aku nggak bisa lepas dari wajah mayat yang aku lihat saat kadaver. Mau tidur kebayang sampai kebawa mimpi, nafsu makan berkurang karena teringat mayat itu, sampai mau mandi pun kepikiran ekspresi mayat bapak itu. Saking parnonya ke kamar mandi aja buka pintunya pelan-pelan, karena sugesti dalam pikiranku, di dalam kamar mandi ada mayat bapak itu. Padahal nggak ada sama sekali.
Hari ini, setelah tiga hari dari praktek pertama. Aku dapat pemberitahuan praktek selanjutnya akan dilakukan jam 18:20. Biasanya aku diberitahu jadwal praktek dari grup WhatsApp. Cuman aku heran, kenapa harus menjelang malam? Siang aja banyak gangguan apalagi kalau malam? Aku gak bisa bayangkan.
"Setiap malam kalian tidur nyenyak?" tanyaku pada Fauzi dan Delia, saat kami sedang berkumpul di ruang tunggu Rumah Sakit, menunggu kedatangan Dokter Ray.
"Setelah apa yang kita alami, siapa yang akan tidur nyenyak," sahut Fauzi, kantung matanya yang menghitam cukup menggambarkan apa yang dia alami.
"Aku sampai nginep di kos-an teman." Delia ikut menyauti.
"Apa yang kalian alami?" tanyaku penasaran.
"Percaya gak, Dik. Tiap malam aku dimimpiin bapak-bapak datang ke kos-anku minta tolong," ungkap Fauzi menceritakan pengalamannya.
"Bapak-bapak, siapa?" Aku mengerutkan kening.
"Gak tau, aku gak kenal."
Aku dan Fauzi terdiam, satu-satunya yang kubayangkan yang berkaitan dengan bapak-bapak, ya mayat kadaver itu.
"Kalau aku, lebih ke terngiang-ngiang aja ekspresi mayat itu. Sampai parno gak berani tidur sendirian, tiap malam aku nginep di kos-an temen." Delia juga menceritakan apa yang dialaminya.
"Aku juga sama, Del. Bedanya setiap malam aku dapet teror."
"Teror apa?" tanya Delia dan Fauzi bersamaan.
Aku ceritakan soal suara decitan itu.
"Inginnya sih aku tengok keluar buat mastiin, cuma aku takut kalau ranjangnya itu ada isinya. Bayangkan kalau beneran itu ranjang pasien berisi mayat, mondar-mandir dapan kamar kalian, apa yang akan kalian lakukan?" Aku menaikan bahuku. "Aku sih memilih tidur pake headset daripada menengoknya keluar," pungkasku.
"Siapa tau itu teman kos-anmu yang bawa troli," kata Delia.
"Logikanya gini, ngapain orang malam-malam dorong troli mondar-mandir depan kamarku?"
Delia terdiam.
"Huh! Untung aku nginep di kos-an teman," ucapnya kemudian.
*****
Sebelum praktek dimulai kami melakukan ritual terlebih dahulu. Ini sudah menjadi keharusan sekarang, karena dengan ritual ini berarti kita juga menghormati kadaver ini.
Hari ini empat peserta praktek absen, empat-empatnya laki-laki. Di sini kami bukan saja diharuskan menghapal hal-hal rumit, tapi juga kami harus kuat secara sikologis, tekanannya memang luar biasa. Melihat mayat ini lagi dengan ekspresi yang mengerikan seperti itu, memang menimbulkan ilusi tak menyenangkan dalam otak. Jika saja aku tak punya harga diri, aku juga sudah merengek pada orang tua untuk pindah jurusan saja.
Bulu kuduk merinding sudah kurasakan sejak aku mulai masuk ke ruang praktek, jelas sekali perbedaannya dengan praktek siang hari. Hawanya terasa angep seperti di ruang kedap suara, hanya deru mesin AC yang terdengar. Keheningan sangat terasa menguasai ruangan ini, aku pun tak berharap mayat-mayat ini tiba-tiba mengobrol.
Jantungku mulai berpacu pada level di atas normal, sementara tanganku mendadak tremor begitu memegang alat bedah, saat itu juga bulir keringat bermunculan membasahi dahi tanpa bisa kukontrol.
"Kalian praktekan apa yang selama ini sudah kalian pelajari," ujar Dokter Ray. Selanjutnya dia mengatakan kalau kadaver ini sepenuhnya tanggung jawab kami.
Delia menjadi orang pertama yang maju duluan. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud menyakiti, saya terpaksa karena harus praktek," ucapnya sambil memegang pisau bedah. Dari sorot matanya aku tau dia pun memaksakan diri untuk maju duluan, oleh karena itu, aku segera maju menemaninya yang langsung diikuti yang lain.
Aku memejamkan mata beberapa detik untuk menghilangkan pikiran negatif, agar aku fokus pada praktek ini. Jujur saja tahap pembedahan ini tahap yang paling mengerikan bagiku, bagaimana pun mayat ini mayat manusia dan kita juga manusia. Membedah perutnya akan terasa seperti membedah perut kita sendiri. Tapi inilah ujiannya menjadi dokter, aku yakin semua dokter mengalaminya terutama dokter bedah. Karena itu aku kembali berfokus pada praktek, tak ingin apa yang sudah aku alami menjadi sia-sia.
Praktek dimulai secara bergantian seperti yang sudah diajarkan. Seketika bau busuk yang menyengat menjalar masuk ke hidung, saat perut mayat terbuka. Padahal aku sudah memakai masker yang cukup tebal. Beberapa organ dalam seperti usus sudah menghitam, diselimuti gumpalan warna putih mirip tahu yang ditumbuk.
Untukku yang baru pertamakali melihat organ dalam manusia secara langsung di depan mata, ini jelas bukan pemandangan indah. Sekuat tenaga aku meneruskan pembedahan walau otakku terus saja menolak apa yang kulihat, efeknya badanku agak lemas, kaki gemetar, yang parah isi perutku seperti meronta-ronta ingin keluar.
"Sabar, tahan, jangan down." Dokter Ray memotivasi, tapi bagiku itu lebih ke memerintah.
Ooooeeekkkkkk!!
Satu orang mahasiswa berlari ke wastafel mengeluarkan isi perutnya, tidak lama kemudian satu lagi menyusul. Kulirik sebentar, mereka tampak pucat dan terlihat lemas. Bahkan Sandi terlihat akan pingsan, mungkin karena isi perutnya sudah terkuras habis atau mungkin faktor lain, aku nggak tau. Rendi yang tadi bersamanya, membawa Sandi keluar ruang praktek.
Gak lama kemudian Dokter Ray keluar menyusul mereka berdua. Aku yakin setelah ini mereka dapat hukuman.
Kami kembali melanjutkan praktek, kondisiku sudah baikan setelah melihat kedua temanku tadi. Mungkin karena pikiranku teralihkan.
Tidak ada kata banyolan atau lainnya, kami bicara seperlunya saja. Daripada mengobrol, lebih banyak suara klontangan benturan logam alat kedokteran, yang di simpan ambil dari meja yang terbuat dari logam juga.
"Woooiii!!"
Bima, ya tidak salah lagi itu Bima. Dia terhenyak kaget mundur ke belakang saat kami tengah fokus.
"Apaan sih? Ngagetin aja!" protes Delia.
"I--itu jarinya gerak sendiri." Bima nunjuk tangan Mayat dengan wajah ketakutan.
Akhirnya kami semua diam memperhatikan bagian tangan mayat.
"Astaghfirullah!!"
"Astaga!!"
Semua mundur menjauhi mayat.
Kami kebingungan, bagaimana bisa mayat dengan kondisi hampir semua organ dalamnya dikeluarin, jari nya bisa bergerak. Aku yakin semua melihatnya, Bima tidak bohong sama sekali.
"Kenapa lagi ini?" keluh Delia yang terlihat mulai putus asa, kami berdiri diam sambil memperhatikan mayat dari kejauhan.
"Tenang, kita pasti bisa selesaikan ini." Aku coba menguatkan.
"Maksudku apa semua mahasiswa kedokteran mengalami seperti kita? Ini udah terlalu berlebihan." Delia menggelang-gelengkan kepala.
Aku cuma membuang napas kasar mendengar pertanyaan Delia, karena aku juga gak tau harus jawab apa.
Aku juga bertanya-tanya. Kami sudah melakukan semuanya. Ritual, minta izin, bahkan kita gak pernah sekalipun berbicara kasar untuk menghormati mayat yang ada di sini. Tapi kenapa hal ini masih terjadi?
Ada apa dengan mayat ini? Kenapa aku dan temanku di teror?
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments