PRAKTEK BEDA MAYAT BAB 1

#akbarprtma

Bab1

Cengkeraman kuat yang membuat gagang cangkir tehku tak terlepas agak berlebihan. Sebagai akibatnya, ujung-ujung jariku terasa nyeri hanya karena perbuatan b*doh itu. Tak hanya sampai sana, kepulan asap akibat sisa teh yang masih panas kini memenuhi wajahku, membuatku memejamkan mata beberapa saat hanya untuk menikmati aliran air yang merasuk melalui kerongkonganku. Sisi baiknya, aku bisa menikmati tetesan terakhir rasa teh celup yang sebenarnya biasa itu, dengan lebih baik.

Kuletakan cangkir kosong pada tempat biasa dimana aku menumpuk gelas kotor. Tanganku tak henti bergetar padahal cangkir itu hanyalah cangkir kosong yang beratnya hanya beberapa ons. Tremor? Bukan. Aku gugup sampai ingin muntah.

Rasa cemas dan gugup berlebihan ini tidaklah tanpa alasan. Semua ini terjadi karena hari ini, hari pertama aku akan menjalani praktek bedah mayat. Ini akan menjadi pertamakalinya dalam hidup, menyentuh bahkan membedah mayat manusia.

Aku bukanlah orang yang berani dengan hal semacam operasi, atau yang ada kaitannya dengan bedah membedah. Kalau bukan karena orang tuaku yang ingin aku menjadi dokter ahli bedah, aku akan memilih jurusan teknik mesin. Tapi, aku tak mau dicap anak durhaka karena membangkang.

Huh! Aku membuang napas kasar setidaknya untuk menghilangkan sedikit rasa gugup ini.

Setelah persiapan selesai, aku berangkat ke sebuah Rumah Sakit dimana praktek itu akan dilakukan. Motor matic-ku melesat melintasi ramainya jalanan ibukota. Sesekali aku harus berhenti karena lampu merah, tapi hal itu tidak akan membuatku terlambat, karena aku sudah memperhitungkan jarak tempuh dari waktu keberangkatanku.

Sampai di rumah sakit, aku di sambut teman-temanku yang sudah lebih dulu sampai di sini. Kami berkumpul di ruang tunggu rumah sakit sambil menunggu dosen kami Dokter Ray tiba.

"Hai, Dikson."

"Pagi, Del." Aku sapa balik temanku Delia.

Selain Delia, ada Fauzi, dan sembilan teman lainnya. Dari kesebelas teman di sini, yang kukenal akrab hanya Delia dan Fauzi. Sisanya hanya teman kampus yang ketemu saat di kampus saja, di luar pelajaran aku tidak terlalu akrab dengan mereka.

"Gimana persiapannya?" tanya Fauzi.

"Hmm, cukup menguras mental," jelasku diakhiri sedikit tawa. "Dan kamu, Del?"

"Jujur aku gak bisa tidur semalaman," katanya.

Kami bertiga tertawa.

Dua belas mahasiswa yang kumpul di sini, terdiri dari empat wanita, delapan laki-laki. Mereka tampak antusias mengikuti praktek ini, tapi tak ada wajah santai yang aku lihat di raut mereka. Sungguh sensasi luar biasa pengalaman yang akan kami hadapi ini. Praktek ini langkah pertama yang akan membuktikan siapa saja yang sanggup bertahan, dan siapa yang akan menyerah.

Menunggu dua puluh menit, akhirnya Dokter Ray tiba. Pria paruh baya yang biasa kami panggil Dokter Ray itu menyapa kami. Tanpa banyak obrolan terjadi, kami langsung di arahkan menuju ruang diamana kami akan melakukan praktek bedah mayat, atau biasa kami menyebutnya kadaver.

Sampai di depan ruang yang dituju, kami masuk berjajar. Aku berada di bagian paling belakang, perasaan gugup mulai kurasakan lagi.

"Bismillah," gumamku.

Aku buka pintu ruangan ini dengan tangan kanan dan kulangkahkan kaki masuk kedalam. Seketika aku langsung merasakan perbedaan suhu, di ruangan ini terasa lebih dingin, berbeda sewaktu aku masih di luar barusan.

Ruangan berukuran kurang lebih 10×10 ini, terdapat sebuah lemari pendingin raksasa, berwarna silver, yang aku yakin di dalamnya berisi mayat. Bau tak sedap memenuhi indera penciumanku. Semacam bau mayat, juga bau amis, dan wangi-wangian yang mungkin dimaksudkan untuk menetralisir bebauan itu. Tapi itu justru malah tercium tak karuan di hidung. Di tengah ruangan terdapat ranjang pasien yang sepenuhnya terbuat dari logam, ranjang itu tempat berbaring mayat nantinya. Sementara pojok kanan dekat pintu terdapat wastafel, untuk mencuci alat atau cuci tangan, dengan cermin menempel di dinding atas wastafel.

Menurut salah satu temanku, di lemari pendingin itu terdapat sepuluh mayat. Yang nanti salah satunya menjadi bahan praktek kami.

Dari apa yang kudengar, mayat-mayat ini adalah mayat mister x. Mister x adalah mayat yang tidak teridentifikasi, tanpa identitas yang selama berbulan-bulan tidak ada yang mengambil dan mengakui. Tidak tahu namanya siapa, keluarganya kemana, alamatnya dimana. Oleh karena itu dinamai mister x.

Mayat mister x ini diperjual belikan untuk kebutuhan praktek medis, sesuai undang-undang yang berlaku. Harganya bisa mencapai belasan atau bahkan puluhan juta, lebih pastinya aku gak tau, karena yang mengurus bagian ini adalah petinggi universitas.

Itulah alasan kenapa sekolah kedokteran biayanya mahal, dibandingkan jurusan lain. Untuk sekali praktek saja harus mengeluarkan belasan sampai puluhan juta. Karena mahalnya biaya, untuk satu mayat ini saja di gunakan untuk dua belas orang, tidak bisa satu orang satu mayat.

Setelah briefing sebentar, kami dipersilahkan untuk memakai pakaian khusus, selayaknya akan melakukan operasi. Dua orang petugas rumah sakit sudah bersiap untuk mengeluarkan mayat dari lemari pendingin. Cantelan lemari pendingin itu ditarik persis seperti laci, semakin ditarik tampak sesosok mayat terbaring di sana.

Entah perasaanku atau apa, tengkuk-ku terasa seperti ditiup seseorang. Mendadak bulu kudukku merinding, padahal mayat belum di keluarkan dari lemari pendingin. Aku mencoba menguasai diri, meski beberapa hal tak bisa aku kendalikan. Seperti; kakiku yang gemetaran.

Huh! Aku membuang napas kasar untuk membuang ketegangan.

Mayat itu di turunkan dari laci lemari pendingin, ke atas ranjang pasien. Lalu di tempatkan di tengah ruangan.

"Beri salam, dahulu. Agar kalian bisa saling kenal dan bersahabat dengannya," ucap Dokter Ray.

Dari kami berdua belas ini ada satu mahasiswa keturunan Chinese bernama Jonatan. Dia terlihat mencolok karena melakukan salam yang berbeda dengan apa yang kami lakukan. Dia membakar dua buah dupa yang sejak tadi sudah dipersiapkannya. Dupa itu di pegang di hadapan wajahnya lalu dia membungkuk dua kali. Entah apa yang dia lakukan, mungkin itu cara orang Chinese menghormati mayat? Entahlah. Dokter Ray pun tidak melarangnya. Lalu dupa itu dia simpan di bawah dengan keadaan masih menyala.

Sementara aku, hanya menyatukan telapak tangan di depan wajah, dengan mata tertutup aku mengucap: "Assalamualaikum ya ahlul ghaib." Dalam hati, seperti kepercayaan yang aku anut.

Usai memberi salam, Dokter Ray menyuruh kami untuk mendekati mayat. Saat inilah perasaan takut, gugup, cemas, kembali muncul. Aku hanya terus mencoba menguasai diri agar perasaan-persaan itu tak terlihat di wajahku dan terlihat oleh Dokter Ray.

Salah satu dari kami membuka kain penutup mayat, saat itulah penampakan yang cukup mengerikan tersaji. Mayat seorang laki-laki kisaran usia 50 sampai 55 tahun, keadaannya sudah mulai membusuk. Meskipun biasanya mayat untuk praktek di suntik formalin terlebih dahulu, tapi entah kenapa kondisinya sudah seperti ini. Atau mungkin bapak ini ditemukan memang sudah seperti ini.

Kulitnya sudah agak mengkerut, matanya tertutup sempurna tapi tidak dengan mulutnya yang sedikit menganga. Cukup membuatku bergidik ngeri.

Entah apa yang sudah terjadi kepada bapak ini.

Bersambung .

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!