#Akbarpratama73
Bab2
Demi apapun, bau dupa itu sangat menggangu. Ingin aku meminta Jonatan agar mematikan dupa-nya, tapi aku takut dituduh anti toleran.
Selain itu, perasaanku mulai tidak enak setelah beberapa saat lalu Jonatan menyalakan dupa-nya. Menurut mitos masyarakat, tepatnya masyarakat Jawa. Dupa, selain erat kaitannya dengan hal ghaib juga bisa mengundang mereka. Aku tidak sedang mengada-ngada, tapi aku merasakan seperti sedang berada di tempat ramai yang berdesakan, padahal hanya ada 13 orang di tempat yang luas ini.
Hoeeek!
Tubuhku tersentak ketika aku mendengar suara orang buang dahak persis di belakangku. Tapi siapa? Sementara semua temanku sedang mengelilingi mayat, dan posisi Dokter Ray pun tidak berada di belakangku.
Huh! Untuk kesekian kalinya aku membuang napas kasar untuk menghilangkan pikiran negatif. Aku harus tetap berpikir rasional.
Masing-masing dari kami memegang buku cukup tebal. Benar, ini adalah buku Anatomi tubuh manusia, isinya macam-macam yang berkaitan dengan tubuh manusia. Mungkin ribuan, entahlah banyak sekali materi di dalamnya. Termasuk istilah-istilah yang sulit sekali untuk di hapal. Bukan mau sombong, tapi orang yang IQ di bawah rata-rata tidak akan cocok di jurusan ini.
"Kalian pelajari bagian anatomi tubuh bagian luar." Setelah berkata seperti itu Dokter Ray meninggalkan kami di dalam ruangan.
Seperginya Dokter Ray, kami masih diam tidak ada yang berani memulai duluan. Mayat itu, mayat itu ... ah aku tak sanggup menatapnya lebih lama, ekspresi wajahnya dengan mulut menganga seakan ingin mengatakan sesuatu. Aaargh! Aku malah memikirkan hal yang di luar nalar. Harusnya aku yakin, biar bagaimanapun mayat tidak akan bisa hidup lagi.
"Pak, mohon maaf, kami sedang praktek. Mohon bantuannya." Akhirnya seseorang dari kami berbicara kepada mayat itu. Meski kami semua pakai masker, aku bisa tau dari bentuk matanya kalau yang berbicara itu, Winda.
Sungguh, perkataan Winda itu mewakili kita semua. Kita mulai mempelajari organ luar, dari mulai mata, hidung, mulut, dan lainnya. Sesekali kami mencatatnya di sebuah buku untuk laporan nanti. Ada bagian tubuh yang saat di sentuh terasa lembek, mungkin kalau aku mencubitnya bisa ke ambil. Untungnya efek formalin mencegah hal itu. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan seandainya harus melakukan ini tiap hari.
Indra penciuman dan penglihatanku agaknya mulai terbiasa. Aku dan Delia memeriksa bagian tangan untuk di cek, kita coba untuk mengangkatnya. Ternyata berat banget, kita berdua tidak sanggup mengangkat tangan mayat ini. Gak masuk akal, padahal pusat beban pada tubuh manusia itu ada di badan, ini kok tangannya yang berat. Bahkan satu lagi temanku membantu, masih tidak bisa digerakkan.
"Mohon maaf, Pak. Maaf banget," ucap Delia.
Perkataan Delia tak membuat tangan mayat ini menjadi ringan, kini malah dua-duanya tak bisa di angkat. Seperti tangan yang terbuat dari logam, dengan berat puluhan kilo.
"Apa jangan-jangan si bapaknya gak mau di jadikan bahan praktek ya, Dik," tanya Delia padaku.
Aku mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Kita semua kebingungan, wajar sih karena kita emang masih amatiran, ini praktek pertama kita. Kami kebingungan tidak tau apa yang harus dilakukan, sedangkan kita harus bikin laporan.
"Gimana ini?" Jonatan bersuara.
Rasanya ingin sekali aku protes soal dupa itu, karena mungkin saja ini terjadi juga karena hal itu. Tapi, takutnya akan mancing keributan dan aku tidak ingin itu terjadi.
"Coba tanya ke senior," usul Fauzi.
Jonatan mengeluarkan ponselnya begitu juga beberapa yang lain. Sesaat menunggu, tak ada ekspresi sumringah dari wajah mereka, aku tau tidak semua senior itu baik.
"Gimana, Jo?" tanyaku.
Dia menggeleng.
Akhirnya kami inisiatif searching di Google, ternyata di Google banyak yang menceritakan pengalamannya saat kadaver. Diantaranya ada yang ngasih saran untuk melakukan ritual. Awalnya kupikir ritual seperti membuat sesajen dan hal semacamnya. Ternyata maksud ritual itu, Seperti dido'ain lebih dulu mayatnya, dibacain Al-Qur'an, dan minta izin sama si mayat.
Karena kita masih awam kita baru kepikiran hal semacam ini. Kenapa gak kepikiran dari tadi.
Kita kembali mengitari mayat dan memulai ritual seperti yang di sarankan. Tentu saja, dengan kepercayaan masing-masing. Aku membaca beberapa surah Al-Qur'an, jelas berbeda dengan apa yang dilakukan Jonatan.
Bukan apa-apa, maksudku. Ayolah, apa dia tidak merasakan efek dari membakar dupa itu? Aku benar-benar kesal, tapi gak ada yang bisa aku lakukan.
Jonatan kembali melakukan apa yang dia lakukan di awal tadi. Bau kemenyan kembali memenuhi ruangan, bersamaan dengan bulu kudukku yang meremang sampai aku bergidik. Aku merasakan hawa kehadiran sesuatu, tapi aku melihat ke sekeliling tidak nampak apa-apa.
Baannnnnkkk!!
Kami dikejutkan suara seseorang menendang lemari pendingin dengan sangat keras, tapi tidak ada siapa-siapa di sekitar lemari pendingin itu.
Temanku yang membelakangi lemari pendingin tersentak kaget, bahkan ada satu orang yang hampir jatuh ke mayat di hadapan kami. Beberapa dari kami bahkan ada yang panik hampir berlari ke luar, termasuk winda dan Amanda dua wanita yang menangis karena ketakutan.
Aku menghampiri Jonatan yang juga terlihat shok.
"Sebelumnya sorry, Jo. Aku bukannya menyepelekan apa yang kamu lakukan. Tapi aku merasa apa yang kamu lakukanlah yang membuat ini terjadi."
Jonatan kebingungan dengan keadaan masih shok.
"Ini." Aku ngambil dupa yang menyala di bawah. "Menurut kepercayaan orang tuaku, orang Jawa. Ini yang ngundang mereka." Dan aku mematikannya.
Jonatan tidak protes, dia mengerti dengan apa yang aku lakukan.
Aku terlihat tenang bukan berarti aku tidak takut, jujur saja jantungku juga hampir copot. Bedanya aku tidak menangis seperti dua wanita itu.
Dupa dimatikan bukan berarti gangguan tidak ada, aku masih bisa merasakan seperti bisikan-bisikan, atau suara benda jatuh. Setidaknya tidak se-ekstrim tadi.
Praktek di hari pertama ini cukup melelahkan. Untunglah hari ini belum ke tahap pembedahan. Aku mengendarai motor untuk pulang kembali ke kos-kosanku, turun dari motor langsung kubuka pintu sembari mendengarkan decitan khas yang setiap hari kudengar. Sejujurnya, aku sedikit terganggu. Namun, selalu kuupayakan untuk menganggapnya sebagai irama lagu, lagu terburuk.
Merebahkan diri adalah cara terbaik menghilangkan lelah, walaupun ekspresi mayat itu tidak begitu saja hilang diingatanku.
Tidak ada yang kulakukan setelah praktek di hari ini, selain aktifitas sehari-hari yang membosankan. Sampai malam tiba, sehabis shalat maghrib aku kembali tiduran sambil membalas beberapa chat masuk, lalu tertidur dengan sendirinya. Dan terbangun di tengah malam. Sudah menjadi kebiasaanku kalau tidur terlalu awal akan terbangun di tengah malam, bukan saja karena aku belum shalat isya. Tapi itu sudah menjadi kebiasaan.
Aku duduk, lagi-lagi handphone benda pertama yang aku cari, sepertinya aku tidak bisa terlalu jauh dengan benda pipih itu. Ada tiga chat masuk tapi aku abaikan, aku hanya melihat angka pada jam di layar datar itu. Sebelum aku beranjak ke kamar mandi aku mendengar sesuatu.
Cciiieett! Ciieett! Ciieett!
Awalnya aku abaikan, pikiranku yang baru bangun dari tidur tidak ingin berpikir jauh. Usai dari kamar mandi aku kembali ke tempat semula dan suara itu masih ada.
Cciiieett! Ciieett! Ciieett!
Akhirnya kuluangkan waktu untuk mendengarkan suara itu secara seksama, beberapa saat aku diam mematung seperti pengamen berkostum pahlawan di Kota Tua. Aku tajamkan Indra pendengaran dan aku yakin itu--
Suara decitan dari ranjang pasien yang didorong.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments