“Apa kau tidak bisa mengontrol emosimu? Perhatikan juga bagaimana istrimu sampai terluka dan sakit seperti itu. Orang-orang membicarakanmu dan itu membuat reputasi keluarga kita menjadi buruk. Sikapmu membuat ibu malu,” omel Nyonya Castor pada Titus.
Suasana makan pagi itu berubah tegang. Lord Castor tidak banyak bicara dan hanya mendengarkan istrinya mengomeli putra pertama mereka. Marcus dan istrinya tampak tidak peduli. Putra kedua keluarga Castor itu memang tidak suka ikut campur pada masalah orang lain. Sementara Damian berpura-pura fokus pada makanan penutupnya, sambil terus menikmati drama pagi itu.
Wajah Titus memerah karena menahan amarah. Ia tidak suka dipojokkan di depan banyak orang. Namun ibunya selalu melakukan hal itu berulang kali.
“Ibu tidak tahu masalah rumah tanggaku seperti apa. Sebaiknya tidak perlu ikut campur,” sahut Titus dengan ketus.
Nyonyar Carlos mendelik marah. “Aku tidak akan ikut campur kalau kau bisa menjaga sikapmu. Urusan rumah tanggamu tidak seharusnya menjadi konsumsi publik kalau saja kau tidak membuat masalah,” ujarnya tajam.
Titus menggebrak meja lalu berdiri dari tempat duduknya. Semua orang di meja makan itu, termasuk para pelayan yang berdiri di belakang meja, tersentak kaget. Wajah Lord Castor, sang kepala keluarga berubah marah. Ia menatap Titus dengan marah sambil berbicara dengan tajam.
“Jangan bertingkah di depan orang tuamu, Titus,” geram ayahnya murka.
“Aku sudah selesai makan,” sahut Titus keras kepala. Ia kemudian pergi meninggalkan ruang makan dengan kesal.
Suasana pagi itu benar-benar sudah berantakan. Ayah dan Ibu Damian sudah tidak lagi berselera makan. Ketegangan masih tersisa di meja makan, dan karenanya Damian juga terpaksa berhenti menyuap sobertnya semata-mata agar tidak membuat suasana menjadi canggung.
“Kenapa kau harus membahas hal itu di meja makan, Lauren?” tegur Lord Castor pada istrinya.
Nyonya Castor segera menoleh pada suaminya itu dengan ekspresi berapi-api. “Ini semua karena kau tidak pernah menaruh perhatian pada anak-anak. Kau selalu sibuk bekerja dan tidak pernah punya waktu untuk mereka. Kau pikir aku tidak malu kalau semua orang membicarakan tingkah putramu itu. Seluruh tubuh Arabela dipenuhi lebam dan luka-luka. Memangnya orang-orang tidak bisa memperhatikan hal memalukan itu. Mereka hanya akan menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan kita,” ratap Nyonya Castor panjang lebar.
Sang kepala keluarga menghela napas lelah. “Imajinasimu itu terlalu berlebihan,” komentarnya pendek. Lord Castor lantas menyeka mulutnya dengan serbet dan bersiap untuk beranjak pergi. Ia tampak sudah tidak berselera untuk menyelesaikan sarapannya.
“Karena sikapmu yang seperti itulah anak-anak kita tumbuh menjadi pembangkang. Mereka memang punya pekerjaan bagus, tapi kepribadian mereka benar-benar buruk,” sergah Nyonya Castor tak berhenti mengomel.
Lord Castor memutuskan untuk tidak menggubris istrinya. Ia berdiri dari tempat duduknya di ujung meja makan lantas pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Lihat ayah kalian. Karena sikapnya yang seperti itulah Titus jadi begitu keras kepala dan sulit diatur. Padahal dia sudah punya anak,” gerutu Nyonya Castor tanpa henti.
“Sudahlah, Ibu. Jangan marah-marah. Kalau ibu mengomel terus kerutan di wajah ibu akan bertambah.” Akhirnya Marcus, sang putra kedua turut berkomentar.
Nyonya Castor tampak tidak senang. Secara otomatis ia memegang wajahnya sendiri yang sebenarnya tidak terlihat tua karena didukung oleh riasan tebal yang glamor.
Marcus tertawa kecil melihat ekspresi ibunya yang berubah cemas. Ia tidak bisa menahan diri untuk menggoda sang ibu setiap kali ada kesempatan.
“Nanti biar aku yang bicara pada kakak. Beberapa hari terakhir sepertinya kakak sedang banyak masalah dengan para anggota Dewan Legislatif. Mungkin tekanan kerja membuatnya sulit bersikap baik. Aku akan mencoba membantunya sebisaku. Ibu tenang saja,” kata Marcus kemudian. Setelah menggoda ibunya, Marcus memang selalu bisa datang dengan solusi.
Ekspresi Nyonya Castor melembut. Ia akhirnya bisa tersenyum setelah beberapa waktu lalu tampak begitu kesal. “Terima kasih, Marcus. Ibu memang selalu bisa mengandalkanmu,” ucap sang ibu sembari menatap hangat ke arah putra keduanya.
Damian mendengkus pendek melihat adegan tersebut. Ia selalu kesal setiap kali Marcus ikut campur. Gara-gara Marcus, masalah menjadi selesai lebih cepat dan tidak sesuai dengan harapan Damian. Seharusnya Titus dimarahi lebih banyak lagi. Kakak pertamanya itu sudah melakukan kesalahan dan perlu dihukum agar jera. Namun setiap kali Marcus ikut campur, masalah selalu mereda dengan sendirinya.
Damian tidak suka itu. Meredam suasana hanya demi menjaga suasana yang harmonis sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Orang yang salah seharusnya dihukum dengan layak. Bukan sekedar dinasehati apalagi dibantu.
Akhirnya, sarapan pun selesai. Damian sedang bersiap-siap untuk melanjutkan pekerjaannya ketika mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya.
“Ya. Masuk,” ucap Damian pendek.
Pintu kamarnya terbuka dan Marcus muncul dari balik pintu tersebut. Pria itu tersenyum ke arah Damian lantas berjalan masuk sebelum dipersilakan. Damian menghela napas pelan, sedikit malas berurusan dengan kakaknya itu.
“Kau sudah mau berangkat, Damian?” sapa Marcus sembari menyejajari Damian yang sedang berada di depan cermin, mematut diri sambil mengenakan mantel hitam panjang.
“Iya, Kak. Ada kasus yang sedang kutangani,” jawab Damian pendek.
“Begitukah? Sepertinya kau sangat sibuk, ya,” komentar Marcus sambil merangkul adiknya dengan akrab.
Damian tidak berusaha melepaskan diri. Ia hanya bisa mengeluh dalam hati. Damian tidak suka berurusan dengan kakak keduanya itu. Menurutnya, Marcus adalah orang yang sulit dihadapi. Sifat Marcus yang tenang dan tak acuh selalu membuat Damian kehilangan kata-kata. Marcus adalah orang yang sulit dipengaruhi.
“Yah, lumayan.” Sekali lagi Damian hanya menjawab dengan singkat. Tidak ada hal yang bisa dia bahas dengan Marcus.
“Kalau begitu, sebaiknya kau fokus saja pada pekerjaanmu. Gunakan kemampuanmu di konstitusi saja. Jangan kau bawa-bawa ke rumah. Kebiasaanmu itu memperburuk suasana rumah kita,” kata Marcus sembari mencengkeram bahu Damian.
Ini juga termasuk hal yang tidak disukai Damian dari diri Marcus. Kakaknya itu selalu bisa membaca situasi. Ia tahu bahwa Damianlah yang ada di balik pertengkaran keluarga mereka pagi tadi. Karena itu Marcus mendatanginya dan mengintimidasi Damian secara personal seperti itu.
Damian hanya menarik napas panjang, berusaha untuk tidak terpengaruh. “Ini tidak seperti yang kakak pikirkan,” kilah Damian dengan suara setenang mungkin.
Marcus mendengkus pendek. “Berhenti menghasut ibu untuk mempermalukan kakak pertama kita. Kau tahu bagaimana sifat ibu, dan memanfaatkannya agar membuat kakak merasa tidak nyaman. Kalau kau merasa tidak nyaman dengan anggota keluarga kita, sebaiknya kau bicarakan langsung dengan orang yang bersangkutan. Atau kalau tidak, kau bisa membicarakannya denganku. Mungkin aku bisa membantu.
“Tapi berbicara buruk tentang orang lain di belakang mereka, itu bukan tindakan yang bijaksana, Damian. Kau hanya akan memecah belah keluarga kita. Tidak cukupkah kau membuat Balbina terusir dari rumah?” tandas Marcus serius.
Damian menelan ludah dengan kelu. Hal ketiga yang dia benci dari Marcus adalah kemampuan kakaknya itu untuk membaca gerak geriknya. Damian nyaris kehilangan kata-kata, tetapi ia tidak bisa membiarkan dirinya dipersekusi seperti itu.
“Aku hanya membicarakan fakta, Kak. Tidak ada yang salah dengan ucapanku,” timpal Damian keras kepala.
Marcus mendengkus kecil. “Tidak semua kebenaran mengandung kebaikan. Bijaklah dalam menyampaikan sesuatu,” ucapnya sembari tersenyum.
Marcus lantas menepuk-nepuk bahu Damian. “Selamat bekerja, Damian. Semoga harimu menyenangkan,” ujarnya lalu berjalan keluar kamar, meninggalkan Damian yang kini merasa seperti telah dipecundangi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments