..."Dari puluhan juta pemuda, baru kali ini aku bertemu dengan dia yang sangat sederhana."...
...~~~...
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?" tanya Daniel karena tidak mau meminta maaf kepada Hadwan.
"Aku akan laporkan kamu kepada Pak Saputra!" Iklima mengancam Daniel.
"Sudah tidak perlu, saya sudah memaafkannya," ucap Hadwan secara tiba-tiba.
"Tapi ...," sahut Iklima dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa, seseorang yang baru saja dihina oleh orang lain dengan mudah bisa memaafkannya? Sungguh Hadwan sangat baik, itu yang dipikiran oleh Iklima.
"Tuh, Hadwan juga sudah maafin. Jadi, tidak papalah enggak minta maaf juga," ujar Daniel, dengan entengnya.
Iklima hanya diam saja, dan Hadwan malah pergi dari tempat itu, sedangkan Iklima yang baru saja menyadarinya segera mengikuti langkah Hadwan yang mulai menjauh dari penglihatannya.
"Iklima, kamu mau ke mana? Sudah di sini saja sama aku, nanti aku belanjain deh," ucap Daniel, merasa bahwa Iklima sama seperti wanita lainya yang mudah dirayu oleh barang-barang mahal.
"Bukan urusanmu!" jawab Iklima, dan kembali melanjutkan langkahnya.
Di kolidor sekolah, Iklima melihat sosok Hadwan dan segera memanggil namanya.
"Hadwan!" panggil Iklima dengan sedikit berteriak, karena Hadwan berada agak jauh darinya.
Lantas, Hadwan pun menoleh ke belakang, dan berhenti sejenak. Dengan begitu, Iklima langsung saja menghampirinya.
Hadwan memberikan jarak di antara mereka agar tidak saling berdekatan, sedangkan Iklima yang tidak mengerti hanya diam saja, dan tetap mendekati Hadwan.
"Stop! Jangan mendekat lagi!" protes Hadwan, karena Iklima terus saja mendekatinya.
"Kenapa emangnya?" tanya Iklima dengan wajah lugunya.
Hadwan terdiam, dia terlihat bingung untuk menjawab apa, dan jika tidak dijawab pasti Iklima akan terus-terusan menanyakannya.
"Kita bukan mahram," jawab Hadwan singkat.
Barulah Iklima mengerti setelah mendengarkan jawaban dari Hadwan, karena dulu Iklima pernah mengetahui kata itu dari Mama Nadira.
"Oh, baiklah. Maaf," imbuh Iklima sembari menggeserkan tubuhnya dari Hadwan.
Setelah itu, Iklima langsung saja memulai pembicaraan di antara keduanya.
"Kenapa kamu malah diam saja di saat semua orang menghina, dan membicarakan hal buruk tentangmu? Padahal bukan satu orang saja yang begitu, melainkan banyak," tanya Iklima sembari menatap Hadwan yang masih tertunduk, tanpa menatapnya sekalipun.
"Memaafkan lebih indah daripada membenci," jawab Hadwan singkat. Namun, mampu membuat Iklima terdiam.
"Apa kamu tidak sakit hati ketika banyak orang yang membicarakan hal buruk di hadapanmu, sedangkan kata maaf sudah sering kamu berikan kepada orang yang tidak pernah bisa berubah?" tanya Iklima dengan serius.
"Masih ada Allah yang mampu membulak balikan hati setiap hambanya, maka tidak ada yang mustahil jika orang yang jahat berubah menjadi baik," jawab Hadwan dan segera pergi dari hadapan Iklima.
Iklima terdiam, dia masih teringat dengan jawaban yang Hadwan berikan barusan. Sungguh, baru kali ini Iklima menemukan seorang laki-laki yang sangat berbeda dari yang lainnya.
Pribadinya sangat tersembunyi, tetapi hatinya sangatlah luas untuk memaafkan orang-orang yang sudah menghinanya.
Dari kejauhan, Wardah dan Naina melihat keberadaan Iklima yang masih berdiri di tempat yang sama, dan tidak ada orang yang menemaninya, karena Hadwan sudah lebih dulu pergi meninggalkannya.
"Iklima, kamu dari mana saja? Akhirnya kita ketemu kamu di sini, padahal dari tadi kita berdua sudah cari-cari kamu di mana-mana, tapi tidak ketemu," ujar Naina panjang lebar, dan Wardah masih mengatur napasnya, karena sempat berlari di saat menghampiri Iklima.
"Enggak ke mana-mana, aku baru saja datang, dan belum lama juga berada di sini," jawab Iklima santai, sedangkan kedua sahabatnya hanya menatap heran kepadanya.
"Kenapa tidak langsung masuk ke kelas saja, Iklima? Kalau tahu begini, tadi aku enggak usah cari-cariin kamu ke mana-mana," cetus Naina yang merasa sangat kesel.
"Naina, jaga ucapanmu! Tidak baik berkata begitu kepada Iklima," tegur Wardah. Dia sangat menghargai perasaan Iklima.
"Biarin, salah siapa sudah buat aku kesel," rajuk Naina.
"Ya udah, aku minta maaf ya, Naina cantik? Serius deh, tidak akan buat kesel dan capek lagi kedua sahabatku ini," ucap Iklima sembari menangkup pipi Naina dengan gemes.
Wardah tersenyum karena Iklima memang selalu bisa membuat kedua sahabatnya kembali senang, dan tidak marah-marah.
Setelah perbincangkan itu selesai, Iklima dan kedua sahabatnya segera masuk kelas, karena sebentar lagi bel masuk berbunyi.
***
Di kelas 12 IPA, Hadwan baru saja masuk ke dalam kelasnya, dan Ikbal sudah menyambutnya dengan senyuman.
"Hadwan, kamu dari mana saja? Tumben sekali telat," tanya Ikbal yang satu meja dengan Hadwan.
"Ada masalah dikit," jawab Hadwan santai.
"Apa ada yang ganggu kamu lagi ya? Siapa orangnya? Biar aku kasih pelajaran nanti." Ikbal sudah siap siaga jika ada yang menggangu temannya.
"Sudah jangan bikin masalah lagi! Aku tidak papa, lagian tidak ada gunanya juga berurusan dengan orang yang seperti itu," ujar Hadwan. Orang yang dimaksud olehnya itu, siapa lagi kalau bukan Daniel dan kawan-kawannya yang sudah sering mengganggu Hadwan.
Ikbal mengalah jika Hadwan sudah melarangnya, dan kembali melihat kepada Hadwan yang sedang mengeluarkan benda kecil dari dalam tasnya.
Sudah menjadi kebiasaan Hadwan membawa benda kecil itu, dan Ikbal sudah mengetahuinya jika mushaf Al-Qur'an itu selalu Hadwan bawa ke mana saja.
Dengan begitu, Ikbal selalu marasa tenang jika Hadwan melentunkan ayat suci al-qur'an dengan sangat merdu.
"Hadwan, kamu mau apa?" tanya Ikbal dengan heran.
"Baca Al-Qur'an. Lagi pula gurunya masih lama datang ke mari," jawab Hadwan yang kembali fokus dengan benda berukuran kecil itu.
"Di sini berisik, Wan. Apa kamu yakin mau baca di sini?" tanya kembali Ikbal karena suasananya kurang memungkinkan.
"Enggak papa," jawab Hadwan singkat. Dengan begitu, Ikbal hanya mendengarkan saja, sedangkan teman-teman lainnya tengah sibuk mengobrol banyak hal.
Namun, Ikbal tidak sama sekali menghampiri mereka, karena baginya Hadwan lebih baik dari teman-teman lainnya. Dapat memberikan banyak hal positif, dan mampu merubahnya menjadi anak yang lebih baik lagi. Padahal dulunya, Ikbal adalah anak yang paling susah dinasehati, brutal, bahkan sering kali bergonta-ganti pacar. Namun, setelah mengenal Hadwan, dia mulai berubah derastis, dan tidak menjadi anak yang bandel lagi.
Maka dari itu, Ikbal sangat nyaman berteman dengan Hadwan, walaupun Hadwan bukan dari kalangan berada, tetapi sikapnya mampu membuat Ikbal menyadari bahwa selama ini laki-laki yang dibilang aneh itu tidaklah benar, dan Hadwan menyimpan keistimewaannya dari banyak orang, sehingga tidak ada yang mengetahuinya.
"Hadwan, apa kamu mau mengajarkanku membaca Al-Qur'an itu?" tanya Ikbal dengan sedikit hati-hati.
Hadwan teseyum, dia sangat senang dengan tawaran dari Ikbal. "Tentu saja, boleh. Nanti setelah istirahat, kita ke mushola," jawab Hadwan, dan Ikbal sangat senang karena Hadwan mau mengajarkannya membaca Al-Qur'an yang sudah lama ia ingin kembali membaca, dan memegang mushaf tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
novel yang sangat bagus,, dari baca bab 1 udah jatuh cinta 😍😍😍
2023-07-11
1
Ayano
Bagus. Tobat akhirnya
Kembalilah ke jalan yang lurus
2023-07-04
1
Ayano
Jawabannya bagus banget
Panutan kuuu ☺☺☺
2023-07-04
1