Bab 15

Mika tak habis pikir dengan kakaknya itu. Ia bahkan sampai masih merasa kesal, merasa belum puas me mu ku li sang kakak yang menurutnya sudah gi la.

Dadanya masih naik turun, walaupun kini ia sudah berada di kost-an nya. Mika lantas merogoh ponsel. Yang ia harus lakukan sekarang adalah bertanya pada Mama Yuni.

Tut ... tut ... tut.

Panggilan tersambung, namun belum mendapat jawaban. Mika yang kesal sampai memutuskan sambungan dan mulai kembali menelpon. Begitu terus sampai berkali-kali.

..._-_-_-_-_-_-_...

Di tempat lain, lebih tepatnya di teras rumah. Malik masih setia duduk di sana. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Satu yang ada di pikirannya. Keberadaan Giska, istrinya. Yang kini entah di mana.

Tiba-tiba nama bunda terlintas dalam benaknya. Membuat nya melebarkan kelopak mata dan merogoh ponselnya yang masih setia di dalam sakunya. Ia meringis saat merasakan perih di sudut bibirnya akibat pukulan keras Mika.

Adiknya itu, memukulinya sampai parah. Dalam hatinya, 'ini baru Mika, jika Ayah dan Papa tahu, bisa lebih parah dari ini.' Malik lantas menggeleng kan kepalanya, lantas mencoba menghubungi nomor bunda.

Tersambung, namun tidak di jawab. Lagi, Malik mencoba mengubungi lagi. Namun, sama. Tidak ada jawaban. "Kenapa tidak di angkat, Bund," ucapnya pada layar ponsel.

"Ayah," katanya lagi. Lalu, beralih menelpon sang ayah. Tapi, sama. Tidak di angkat juga. 'Ke mana semua orang?' hatinya bertanya-tanya.

..._-_-_-_-_...

Rasanya malam ini begitu lama, setiap detik yang Malik tunggu seperti karet, semakin panjang saja. Ia diam di kamarnya, luka di wajahnya bahkan tidak ia kompres, ia biarkan begitu saja, sampai terasa susah dan kaku juga perih.

Sampai pagi, saatnya untuk shalat subuh ia bangun dan shalat di rumah. Semalaman ia mencoba menelpon nomor Giska, namun masih belum bisa di hubungi. Nomor bunda tidak di jawab, begitu juga Ayah, Mama dan Papa. Rasanya ia semakin heran, sampai akhirnya sesaat setelah shalat ia pergi dari rumah dengan mobilnya.

Mengendarai mobilnya dengan hati yang gusar, penuh ketakutan. Baru ia menjalankan mobilnya, ponselnya bergetar, ia pikir itu adalah panggilan dari Giska atau orangtuanya, tapi sayang ternyata dari Sarah.

Malik mengembuskan napas kasar, lantas meminggirkan mobilnya. "Ya, Sar," ucapnya saat tombol hijau sudah ia gulir.

"Lik, maaf, aku kontraksi lagi, aku tidak tahu harus menghubungi siapa," suara Sarah terdengar menahan sakit.

Malik memejamkan matanya kesal, 'apa lagi ini!' kesalnya dalam hati. Ia ingin sekali memarahi Sarah, tapi, memang benar. Sarah di sana hanya sendiri dan bahkan yang membawa Sarah dari amukan keluarganya adalah dirinya, rumah kecil yang di tinggali Sarah bahkan hasil dari tabungan nya. Jadi, sekarang jika bukan pada dirinya, pada siapa lagi Sarah meminta bantuan.

"Iya, aku ke sana." sambungan telepon di matikan, ia lantas memutar arah, menuju rumah Sarah. Kini, entah apa yang akan ia lakukan. Mencari Giska ke Desa atau membiarkan istrinya itu di sana menenangkan diri. Karena, ia yakin sekali kalau Giska pulang Ke Desa. Karena kalau tidak di sana, sudah pasti semua orang akan menjawab panggilan telepon darinya. Sementara ini, mereka semua kompak tidak menjawab.

Dan benar saja, saat Malik tiba di sana, Sarah tengah kesakitan. Ia tengah menarik napas dan mengembuskan nya perlahan, mengusap perut buncitnya dan terlihat kesakitan. Malik dengan sigap mengusap perut Sarah, ia juga membatu Sarah untuk duduk di dengan benar.

Lalu, setelah sedikit mereda, Malik membawa Sarah ke puskesmas terdekat. Tempat yang menjadi biasanya untuk Sarah memeriksakan kehamilannya. Begitu sampai di sana, ternyata Sarah sudah pembukaan satu, dan dari itu Sarah di sarankan agar tetap di sana. Mengingat kandungan yang baru memasuki usia 37 minggu.

Malik semakin dilema, ia benar-benar bingung. Bahkan saking bingungnya ia duduk di lantai menjambak rambutnya kasar. Membuat Sarah yang tiduran di sana merasa khawatir.

"Maaf, Lik. Kamu kenapa? Babak belur seperti itu?" tanya Sarah, dengan mulut yang seringkali meringis kesakitan saat kontraksi itu datang.

Malik mendongak, lalu menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Sar." jawabnya. Lantas Malik pun berdiri dan mendekat, "kalau aku tinggal sebentar buat ngerokok, tidak apa-apa 'kan?" tanyanya.

Sarah menggeleng, "tidak apa-apa. Kalau kamu mau pergi juga tidak apa-apa kok, Lik. Di sini ada bidan dan juga dokter, aku aman di sini." ujar Sarah.

"Tidak. Aku cuma mau ngerokok sebentar." Malik lantas memutar tumitnya dan pergi dari sana.

..._-_-_-_-_-_...

Nyatanya Malik tidak merokok, ia hanya membeli kopi di kantin. Ia bahkan berkali-kali mengembuskan napas kasarnya. Ia tak tahu harus meminta pertolongan pada siapa. Ia ingin berada dengan istrinya, tapi ia tak bisa meninggalkan Sarah begitu saja.

Walaupun ia tak mencintai Sarah, tapi untuk meninggalkan Sarah begitu saja jelas tidak mungkin ia lakukan.

Mika. Seketika nama adiknya terlintas dalam pikirannya. Entah masih marah atau tidak yang jelas orang yang bisa membantunya adalah Mika.

Malik segera bangkit dari duduknya, pergi dari kantin dan pamit pada Sarah untuk pergi sebentar. Sarah jelas mengiyakan, karena terlihat dari wajah Malik, kalau ia sedang banyak masalah, sebagai wanita yang sudah banyak di tolong ia pun membiarkan dewa penolong nya itu pergi.

Mobil Malik berhenti di depan kedai, ia langsung masuk karena ternyata Mika sudah di sana, tengah membuat adonan cilok. Mika yang sadar akan kedatangan sang Kakak hanya diam, melirik saja dia sangat enggan.

Malik menelan ludahnya dengan kasar, dengan ragu ia mendekat. "Ka, tolong aku," ucapnya.

Mika diam tak perduli, ia tetap membuat bulatan pada adonan cilok-nya. Bahkan saat memasukan ke dalam panci ia lempar sampai air yang mendidih itu muncrat ke mana-mana.

"Aku, tidak tahu harus minta tolong sama siapa. Aku yakin Giska sekarang ada di Desa, sedangakan di sini, Sa-Sarah akan melahirkan. Dia sendirian, aku bingung Ka, aku tidak bisa membelah diri menjadi dua, tapi pikiran ku ada di dua tempat." ujar Malik.

Mika bahkan masih tidak perduli. "Tolong, lah Ka. Tolong, Mas-mu yang br eng se k ini." sambung Malik memohon.

Mika menatap sang kakak dengan kesal, "jadi, sekang Mas Malik penjaga neraka mau apa? mau minta bantuan buat ngurusin wanita ja la ng itu! Atau mau minta aku buat jadi ayahnya? Mas! Asal Mas Malik tahu. Alika sudah tahu semuanya, sebaiknya Mas Malik siap-siap saja, sebentar lagi mendapatkan surat cinta dari pengadilan." Kata Mika.

Kelopak mata Malik melebar, ia begitu terkejut. Lalu jika sudah seperti ini ia akan apa?

"Kamu, jangan bohong Ka?" tanyanya tak percaya.

"Heh." Mika tersenyum sinis, "tidak nyangka saja sih aku, bisa punya Kakak se ja hat kamu. Mempermainkan perempuan. Di mana Mas Malik yang sok cool, yang selalu menolak perempuan saat masih muda. Nyatanya begitu tua langsung melahap dua wanita sekaligus. Dan sekarang_" kalimat Mika terhenti saat Malik menarik kerah kaosnya dengan kencang.

"Cukup, Ka! Kamu tidak tahu segalanya, kamu baru mendengar setengahnya. Sekarang, Sarah ada di puskesmas, aku menyerahkan tanggung jawab itu sama kamu. Aku pergi!" katanya dengan kesal. Malik melepaskan kerah baju Mika sampai Mika terhuyung kebelakang.

Setelahnya ia benar-benar pergi dari sana.

Terpopuler

Comments

Jusmiati

Jusmiati

harus Nya cerita klau ada masalah bukan diam.....
nolong orang justru menyusahkan diri sendiri dan menyakiti keluarga.... hedeeee

2023-09-12

3

Sandisalbiah

Sandisalbiah

sak karep mu wae lah malik... sok jd pahlawan ke sorenan kamu bertanggung jawab atas hal yg gak jd kewajibanmu dan meninggalkan kewajiban mu terhadap istri.. kurang bodoh apa lagi coba dirimu... hadeh.. bodoh di pelihara...

2023-06-18

0

Mom Dian

Mom Dian

penak tenan jadi mas yo adiknya malah ikut susah🤔

2023-03-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!