Pergi

"Ini semua gara-gara kamu kan? Coba aja kamu tidak ceroboh dengan menumpahkan minyak di lantai itu, ini semua tidak akan terjadi," ucap pak Andi, beliau sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi.

"Pa, sudahlah. Ini rumah sakit, kita tunggu informasi dari dokternya aja dulu," ucap Dimas berusaha menenangkan papanya, dia tahu Amira tidak sengaja menumpahkan minyak itu, jadi ini semua murni kecelakaan, tidak sepatutnya juga dia disalahkan.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya pak Andi begitu melihat seorang dokter keluar.

"Untuk saat ini sepertinya Aura tidak bisa berjalan normal, ada sedikit keretakan di tulang kakinya, tapi Bapak dan Ibu tenang saja. Ini cuma masalah waktu, dia masih bisa berjalan normal lagi nanti setelah melakukan perawatan," jawab dokter itu menjelaskan.

"Pa, aku masuk dulu mau lihat keadaan Aura," izin Dimas kemudian.

    

"Tidak perlu, kamu lebih baik pulang!" suruh pak Andi, kok Dimas malah disuruh pulang, Dimas bingung dengan sikap papanya.

"Lho, kenapa?" tanya Dimas heran.

"Iya, Pa. Aura pasti pengen ketemu sama kakaknya, kenapa Papa menyuruh dia pulang?" bu Diandra ikutan heran.

"Bawa Amira pulang, papa nggak mau melihat wajah dia lagi di sini, dan pastikan juga kalau dia tidak tinggal lagi di rumah kita. Papa juga nggak mau Aura melihat wajah dia lagi, anak pembawa sial!" kecamnya di akhir kalimat.

Ucapan pak Andi seperti petir yang menyambarnya, Mira sakit hati mendengar perkataan lelaki itu yang mengatakannya anak pembawa sial.

"Papa ngusir Mira?" Amira bertanya seolah tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan pak Andi.

"Pendengaran kamu kurang jelas? Apa perlu saya mengulanginya?" tanya pak Andi, dia semakin marah.

"Tidak perlu, Mira pa---paham," ucapannya terbata, dia tidak menyangka separah ini keadaannya.

"Papa kan dengar sendiri tadi dari dokter, ini cuma masalah waktu." Dimas berusaha merubah keputusan ayahnya.

"Iya, Papa tidak perlu bertindak sejauh ini," sambung bu Diandra, gimanapun juga Amira tetap anak kandungnya, meski sering kali dirinya mengabaikan Amira.

"Kalian mau membantah saya? Kalian tidak mendengar tadi apa yang saya katakan!?" tanya pak Andi membentak, lelaki itu semakin marah.

Melihat keadaan yang sudah semakin tidak terkontrol, Amira buru-buru pergi dari sana tanpa berpamitan pada siapa pun. Dia berjalan cepat untuk segera keluar dari rumah sakit itu, dia tahu papa tirinya punya riwayat penyakit jantung, jadi dia tidak mau hanya karena dirinya akan terjadi hal yang lebih parah lagi.

Dimas mengikuti Amira dari belakang, dia sebagai kakak tidak mungkin membiarkan Mira pulang seorang diri, apa lagi dengan keadaan seperti ini, meskipun sebelumnya mereka tidak pernah akrab.

 ----

-----

Dimas terus memandangi Mira yang masih sibuk mengambil baju-bajunya di lemari. Mira tahu, Dimas memandanginya dengan rasa iba.

"Kenapa memandangku seperti itu?" tanya Amira, dia masih bersikap ketus, meski sebenarnya jauh di lubuk hatinya dia sangat menyayangi kedua saudara tirinya itu, tapi di saat yang bersamaan pula Amira membenci mereka, sebab Mira merasa mereka sudah merebut kasih sayang mama untuknya.

"Kamu yakin mau pergi?" tanya Dimas balik.

"Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Ini rumah kalian, aku hanya menumpang," jawab Mira murung.

"Kamu kenal papa kan, papa kalau marah memang seperti itu." Dimas mencoba merubah keputusan Mira.

"Kali ini papa beneran marah," ucap Amira. Dia tidak sedikit pun melihat ke arah Dimas yang berdiri di depan pintu, Amira sibuk mengambil album masa kecilnya.

"Kamu masih ingat nggak, dulu waktu SMP aku pernah tidak sengaja membuat Aura jatuh dari tangga, dan papa juga sangat marah, hingga mengusir aku dari rumah, tapi pada akhirnya dia juga yang mencari aku dan menyuruh aku pulang," terang Dimas, mencoba mengingat lagi kejadian bertahun-tahun yang lalu, "jadi, kamu tidak perlu mengambil semua barang-barang kamu, nanti marah papa juga bakalan hilang," tambahnya lagi.

"Tentu saja papa mencari kamu dan menyuruh kamu pulang, sebab kamu itu anak kandungnya, sedangkan aku cuma anak tiri."

Amira sudah selesai mengambil semua bajunya, dan dia kemudian segera keluar dari kamar itu sambil menarik kopernya.

"Kamu ingin meninggalkan mama?" tanya Dimas saat Amira menarik kopernya menuruni tangga.

"Kalian ada kan? Lagian mama juga tidak mengatakan apa pun dengan keputusan papa, semenjak mama menikah dengan papa kalian, mama tidak pernah memperhatikan aku lagi. Aku seperti tidak ada, jadi jangan pernah menunjukkan wajah pura-pura kasihan itu di depan aku." Amira membalikkan badannya menatap Dimas begitu kakinya menyentuh lantai bawah, jaraknya dengan Dimas begitu dekat, hanya berjauhan sejengkal saja.

 "Aku tidak berpura-pura, sekarang kita sudah sama-sama dewasa kamu..."

"Aku tidak peduli!" potong Amira, dia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun lagi.

"Biar aku antar, kamu mau ke mana?

"Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Amira.

"Kalau kamu butuh apa-apa, hubungi saja aku. Aku tidak akan memaksa, aku akan berusaha membujuk papa."

  

"Jangan berusaha terlalu keras, itu semua tidak akan merubah keadaan, dan ingat! Aku tidak pernah meninggalkan mama aku, tapi mama yang lebih dulu meninggalkan aku."

Itu kata-kata terakhir Amira sebelum dia pergi meninggalkan rumah mewah mereka, rumah yang sudah memberikan kenangan buruk dalam hidupnya.

Amira terus menarik kopernya yang berat itu, hari sudah mulai sore, sebentar lagi malam, tapi dia masih berjalan tanpa arah dan tujuan, dia sebenarnya bisa saja meminta bantuan dari mbak Agnes dan temannya yang lain, tapi Amira tidak mau mereka mengetahui masalah ini. Biar saja seperti ini, jika ini memang yang terbaik.

         

     ***   ***   ***

Mira masih melanjutkan perjalanannya, dia tidak peduli dengan kakinya yang terasa lelah, dia tidak tahu harus ke mana, bagaimana mencari kontrakan, dia tidak pernah keluar rumah sejauh ini.

Selama ini kemana-mana dia selalu bersama Della, tapi sekarang Della tidak ada.

Amira kembali menitikkan air mata, pikirannya benar-benar buntu, dia lupa membawa uangnya, dan handphonenya juga ketinggalan di rumah.

"Ya allah bagaimana ini?" batin Amira, dia terduduk lemah di halte bis.

"Mau naik apa coba, uang nggak ada," keluh Amira semakin kalut.

Akhirnya sebuah ide muncul di otaknya, dia mungkin harus pergi ke rumahnya yang dulu, siapa tahu rumah itu masih belum dijual sama mamanya, tapi perjalanan ke sana membutuhkan waktu dua jam lebih, itu pun menggunakan mobil, sedangkan dia hanya berjalan kaki. Mira bahkan tidak tahu apakah masih bisa bertahan hidup untuk beberapa hari ke depan.

Malam ini Amira tidur di depan sebuah cafe, cafe itu sudah tutup sejak jam 23:00 tadi, jadi sudah tidak ada orang lagi di sana.

Amira sangat lelah, dia juga kehausan, lapar mungkin masih bisa ditahannya, tetapi tidak dengan rasa haus. Dia sangat dahaga, mau beli air pakai apa? Coba saja dia tidak buru-buru pergi tadi, pasti dia tidak akan melupakan dompet dan handphonenya.

Mira kedinginan di sana, dia mengambil selimut di dalam kopernya, menutup seluruh tubuhnya agar tidak kedinginan. Angin semakin berhembus kencang, petir menyambar bersamaan dengan turunnya hujan.

Amira memeluk kedua lututnya, menahan dingin yang menusuk hingga ke tulangnya, di tengah hujan deras itu, seseorang tiba-tiba keluar dari dalam cafe. Amira tidak tahu kalau sang pemilik cafe masih ada di sana, Amira juga tidak bisa pergi dari sana. Orang tersebut tidak boleh mengenalinya, jadi dia sengaja menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya.

Pemilik cafe itu ternyata seorang laki-laki, Mira mencoba melihat wajah lelaki itu melalui celah rambutnya.

"Rangga? Dia Rangga," batin Amira. Jantungnya berdegup kencang saat itu.

Terpopuler

Comments

Yem

Yem

semangat ya Amira.. Jadi ikut sedih..

2023-03-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!