Malam ini Amira tampil cantik di depan Rangga, karena gaun merah yang dipakainya juga terlihat serasi dengan kalung permata yang diberikan Della, dan itu membuat dia terlihat semakin cantik.
"Kamu cantik," puji Rangga saat Amira sudah duduk di depannya.
"Terimakasih, oh iya aku juga sudah nyiapin hadiah buat kamu." Amira memberikan kotak yang berisikan jam tangan di dalamnya.
Sesaat suasana hening, Mira tidak tahu harus ngomong apa, dia juga tidak tahu harus memulai dari mana, suasana jadi canggung saat itu, hingga akhirnya Rangga yang bicara duluan.
"Kamu ingin mengatakan sesuatu kan?"
"Perut aku terasa lapar dan makanan ini juga terlihat lezat, boleh aku memakannya sekarang?" tanya Amira sengaja mengalihkan pembicaraan. Rangga bukannya tidak tahu, dia hanya sedang memberi kesempatan untuk Amira meyakinkan hatinya.
"Tentu dong, aku pesan makanan ini juga untuk kamu."
Tanpa banyak bicara lagi Amira langsung menyantap hidangan di depannya, sedangkan Rangga tidak menyentuh sama sekali makanan itu. Cowok itu hanya memandangi Amira, dia baru sadar kalau Amira sudah banyak berubah sekarang, Amira lebih banyak diam, badannya juga lebih kurus daripada empat tahun lalu, saat terakhir kali dia melihat Amira sebelum berangkat ke jerman.
Mira langsung berhenti makan saat dia menyadari kalau sedari tadi Rangga terus memperhatikannya.
"Kamu tidak makan? Kamu sedari tadi memandangi aku terus lho," ucap Mira tersenyum kaku.
"Maaf," ucap Amira dengan suara bergetar.
"Aku minta maaf," ucap Mira sekali lagi, tapi Rangga masih diam dan terus menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Ma--- Maaf karena aku sudah membohongi kamu." Mira menyembunyikan tangannya yang mulai gemetaran, gadis itu tidak berani menatap lelaki yang kini tengah duduk di depannya.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Aku terpaksa, karena aku takut mengatakan yang sebenarnya."
"Maksud kamu? Kamu takut aku tahu kalau mama kamu nggak ngizinin kamu kuliah di luar negeri?" ucapan Rangga benar-benar membuat Amira tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.
"Kamu tahu dari mana?"
"Aku tahu dari Dimas."
"Mereka juga tidak mengizinkan aku kuliah di sini, itu sebabnya aku berbohong, aku malu sama kamu, maafkan aku."
"Untuk apa juga kamu kuliah, kalau pada akhirnya jadi ibu rumah tangga juga kan setelah menikah, kamu berbohong tanpa alasan yang jelas," ucap Rangga, dan omongannya itu telah berhasil membuat hati Amira benar-benar hancur.
"Aku cuma tidak mau kamu menganggap orangtuaku tidak adil, itu sebabnya aku membohongi kamu," jawab Amira membela diri.
"Aku tidak pernah berpikir seperti itu, Mira. Itu cuma pikiran kamu saja," ujar Rangga, dia tahu saat itu Amira sedang menahan tangisnya.
"Aku minta maaf, aku janji aku nggak bakalan bohong lagi. Aku benar-benar minta maaf, kamu mau kan maafin aku?" pinta Amira berharap, dia sangat takut kalau harus kehilangan Rangga juga. Dulu Rangga sangat peduli padanya, dia dan Della sangat peduli dengannya.
"Mira, kamu kenal Amel kan?" kini Rangga mulai terlihat serius, "empat tahun di sana membuat hubungan kami jadi semakin dekat, dan aku rasa aku mulai menyukainya, kamu pastinya sudah mengerti maksud aku kan," ucap Rangga.
Mendengar kejujuran dari Rangga, membuat Mira terdiam, ini sangat menyakitkan.
"Rangga!" panggil seorang gadis cantik yang ternyata adalah Amel. Mira dan Amel adalah teman yang cukup dekat saat SMA dulu, mereka juga pernah satu kelas.
"Amel." Rangga tersenyum senang melihat kekasih barunya.
"Hai Mira, lama tidak bertemu," sapa
Gadis itu memamerkan senyum bahagianya.
"Kamu tunggu apa lagi? Amel sudah di sini," tegur Rangga, saat Mira hanya terdiam saja menatap mereka dengan air mata yang hampir berlinangan. Tanpa bicara lagi, Amira langsung bangun dari kursinya dan pergi seperti orang linglung.
"Ini, tolong dibawa pergi hadiah murahannya," ucap cowok itu sinis, dia melempar jam yang tadi diberikan Amira kepadanya dengan kasar, ternyata dia tidak membiarkan Amira pergi begitu saja.
"Aku tidak mengambil apa yang sudah kuberikan kepada orang lain, kalau memang tidak suka ya sudah, buang saja!" jawab Amira, kemudian dia kembali melangkahkan kakinya tanpa menoleh lagi ke belakang. Beningan kristal itu akhirnya jatuh juga, ternyata ini akhir dari kisah mereka.
****
"Apa kamu tidak berniat untuk melanjutkan bisnis papa?" tanya bu Diandra pada Dimas.
"Dimas sih rencananya mau buka usaha kecil-kecilan gitu aja dulu sama teman, Ma. Dimas nggak mau kerja kantoran," jawab Dimas sambil melirik Aura yang duduk di sampingnya.
"Lho, kenapa memangnya?" tanya pak Andi bingung.
"Alah, biasalah itu, Pa. Kayak Papa nggak kenal kak Dimas saja, dia pasti berharap Aura yang bantuin bisnis Papa," ujar Aura sambil menunjukkan wajah kesalnya.
"Ya bagus dong, nanti kamu bisa ketemu terus sama Doni," ucap Dimas menggoda, dia tersenyum usil.
"Kamu suka sama Doni?" tanya pak Andi tidak menyangka.
"Tidak, Kak Dimas bohong tu!" jawab Aura tersenyum malu-malu.
"Lah, jadi kamu beneran suka sama Doni ya, Ra? Tapi mama setuju lho, dia itu anaknya pintar, rajin, tampan, dan yang paling penting dia anaknya sopan iya kan, Pa?" bu Diandra terlihat setuju, dia bahkan meminta persetujuan dari suaminya.
"Iya, papa juga setuju kalau kamu minta dijodohin sama dia," jawab pak Andi.
Mereka kemudian sama-sama tertawa melihat perubahan wajah Aura yang tampak malu-malu gitu.
Mira yang saat itu baru pulang dapat mendengar obrolan mereka dari balik pintu ruang keluarga, dia dapat melihat sendiri betapa mamanya bahagia dengan kedua saudara tirinya. Mereka tidak menyadari kalau sedari tadi Amira terus memperhatikan mereka.
Sudah 15 tahun lebih dia hidup seperti ini, diabaikan seolah tidak ada di antara mereka, dia merasa dirinya hanya bayang-bayang. Dia merindukan banyak hal dari mamanya, selama ini mamanya tidak pernah bertanya dia sudah makan, dia baik-baik saja, atau apa yang dia butuhkan, wanita itu bahkan tidak pernah ambil pusing tentang kehidupannya, dan mungkin Amira mati pun wanita itu tidak akan peduli.
\*•••~°°^°°~•••\*
Jam dinding sudah menunjukkan pukul tengah malam, namun Mira masih saja tidak bisa memejamkan matanya. Gadis itu masih teringat ucapan Rangga yang menyakitkan hatinya, ingin sekali dia berbagi kesedihannya dengan Della, tapi akhir-akhir ini dia juga susah dihubungi, mungkin dia lagi sibuk dengan urusan kuliahnya.
Amira terus berusaha memejamkan matanya, dan melupakan kejadian tadi, hingga akhirnya dia bisa tertidur juga.
----
----
"Tumben jam segini kamu sudah bangun, kamu tidak salah melihat jam kan?" tanya mamanya menyindir.
"Mira cuma mau bantuin mama aja kok, ada yang bisa mira bantu?" tanya Amira.
"Tuh, piring kotor banyak, kamu mending nyuci piring saja sana!" suruh mamanya.
Tak butuh waktu lama Amira sudah selesai mencuci semua piring kotor tadi, dan dia kemudian mengambil minyak goreng yang disuruh ambil oleh mamanya.
"Duh, tumpah lagi," gerutu Amira, dia jadi kesal pada dirinya sendiri karena tidak berhati-hati.
"Gimana sih, itu saja bisa tumpah, kamu ini sangat ceroboh!" Bu Diandra marah.
"Mira minta maaf, Ma. Mira nggak tahu kalau minyaknya sudah dibuka," jawabnya membela diri.
"Ya sudah, ambil kain lap cepat! Biar nggak ada yang kepeleset nantinya," suruh mamanya.
Saat Amira baru saja keluar untuk mengambil kain lap yang memang dijemur di teras belakang, tiba-tiba saja Aura muncul entah dari arah mana, dan pada akhirnya....
"Akhh!" pekik gadis itu, dia terpeleset hingga terjatuh ke lantai, dan kepalanya terbentur cukup keras mengenai lantai. Tangannya juga ikut terkilir, bu Diandra yang tengah menunggu masakannya matang langsung mematikan kompor begitu melihat Aura terjatuh.
"Ya ampun, Aura..." Bu Diandra panik saat Aura berteriak kesakitan sambil memegang tangannya. Ternyata tidak hanya itu, kepala bagian belakangnya juga mengeluarkan darah, sepertinya dia terbentur terlalu parah.
"Mira, Mira cepat ke sini!" seru mamanya semakin panik saat melihat Aura yang meraung kesakitan.
**°°°••••°°°**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Nayla arafah
ya ampunn
itu sakit banget Amira, Rangga kok gitu sih
2024-01-11
1
Nayla arafah
hmmm kasian Mira kak 🥺
2023-12-15
0
Yem
Kasihan Mira
2023-03-04
1