The Accident

"Eh, Ra. Lo kapan jadian sih? bosen gue liatnya."

"Ya elah Wi, dia aja yang jomblo gak bosen. Kok lo yang cuma ngeliat bosen duluan?" Latifa bertanya heran, tak habis pikir dengan pertanyaan Dewi yang terkesan kepo.

"Duh, lo gimana sih, Fa?. Di antara kita berlima itu cuma dia yang gak punya pasangan alias jomblo,"

"Eh, Ra kalo gue liat yah di sekolah ini banyak kok yang suka sama lo, termasuk kak Revan!." Kali ini Andrini bersuara mendukung rasa penasaran Dewi.

"Iya, Ra. Lo gak minat yah sama kak Revan?,"

"Padahal ni yah, gue liat si Revan ngejar-ngejar lo mulu, tapi lo nya aja yang belum ngeh' dari kemaren. Bahkan, di antara sekian banyak cowok yang ngejar lo, cuma beberapa cowok yang tetep bertahan dengan sikap acuh loe ini. Termasuk si Revan, gue liat dia ngebet banget pengen jadian ama lo."

"Kalo gue jadi lo sih, udah gue sikat si Revan. Lagian siapa sih yang gak mau sama si dia?. Udah ganteng, kapten basket, friendly dan tentunya incaran para cewek di sekolah kita lagi. Jarang-jarang lho Ra, lo dapetin cowok kaya dia." Zahra memutar matanya pelan.

"Ya udah, kalo lo mau. Ambil aja tuh si Revan, kalo bisa, ajak nikah sekalian aja. Kan jarang-jarang nih ada cowok kayak dia." Jawab zahra santai memutar perkataan Dewi.

"Sialan lo, Ra. Kalo gue ambil si Revan, trus yayang Ragis gue kemanain? geser otak lo yah." Dewi mengelus dadanya sabar, ia tidak ingin kesetiaan nya terhadap sang kekasih dapat dicemari dengan mudah oleh tawaran Zahra. Yah, walaupun hal yang ditawarkan menggiurkan.

"Nah, itu masalah lo. Lo yang punya pacar, ya kale gue yang ngurusin." Jawab Zahra datar.

"Duh, Ra, walaupun lo mau mana rela gue juga nyerahin yayang Ragis ke lo. Yah walaupun si Revan lebih sempurna, tapi di sini cuma ada si yayang Ragis." Ucap Dewi seraya menunjuk dada nya narsis.

"Serah lo deh.." Pasrah Zahra.

"Tapi, guys. Lo pada ngerasa aneh gak sih?" Ucap Latifa bertanya. Membuat mereka berempat langsung menatap Latifa dengan pandangan bertanya.

"Aneh kenapa?, perasaan kelas kita gak angker, Fa. Gak pernah tu gue denger cerita atau liat penampakan di kelas ini."

"Ih, begok, itu si kita semua tau. Maksud gue itu lo pada gak ngerasa aneh gak ama si Zahra." Semua pandangan menuntut kearah Zahra. Andrini dan Dewi memperhatikan Zahra dari ujung kaki, eh ralat! maksudnya dari ujung sepatu sampai puncak kepala. Sedangkan orang yang mereka perhatikan hanya mengernyitkan dahinya bingung.

"Lo pada liat apaan sih, risih tau gak!." Kesel Zahra.

"Kita cuma mau liat bagian mana yang aneh. Eh, tapi ternyata gak ada kok, Fa. Lo kali yang aneh. Zahra mah tetep sama kayak kemaren-kemaren!. Gak ada bedanya." Timpal Dewi membuat Latifa menghela nafas tidak puas.

"Sigh, siapa suruh lo pada ngeliatin Zahra. Ya-Iya lah dia masih Zahra yang sama. Yang ada maksud gue itu Zahra aneh. Nih ya, dia itu kan remaja, saat di mana masa remaja adalah masa kita untuk dimabuk cinta. Cari pasangan, intinya gitu deh. Eh, tapi Zahra kok beda. Dia malah lebih suka jomblo atau sendirilah malahan risih kalo di deketin cowok."

"Iya juga sih, kalo dipikir-pikir benar juga." Gumam Andrini.

"Zahra, lo aneh deh. Masa ada cowok yang mau deket ama lo, lo menghindar trus. Jangan-jangan lo-" Ucap Latifa seraya menutup mulutnya sendiri.

"Eh, kampret!. Lo pikir gue pecinta sesama jenis heh?. Lo kira gue lesbian!." Emosi Zahra.

"Bu-bukan gitu, Ra.. " Jawab Latifa terbata-bata.

"Gue milih jomblo karena gue belum tertarik sama mahluk yang bernama cowok, kenapa? karena gue belum bisa jatuh cinta sama satu pun cowok yang ngejar-ngejar gue,"

"Kecuali dia, tanpa di kejar pun hati aku sudah jatuh untuk nya. "

"So, apakah salah gue jomblo?

toh, hati gue juga belum ada penghuninya,"

"Entah, posisinya di hati ini salah atau benar, akan tetapi bohong jika aku tidak merasa perasaan hangat setiap kali mengingat dirinya. "

"Oh, bilang kek dari kemaren." Andrini bernafas lega seraya menggeser duduknya lebih dekat lagi dengan Zahra.

"Lo kan gak nanya." Mendengar jawaban santai Zahra, mereka bertiga pun mengangguk membenarkan hal tersebut. Sejauh ini mereka tidak pernah bertanya tentang hal ini kepada Zahra.

"Hehehe..." Andrini tertawa bodoh membuat suasana menjadi lebih cair lagi.

"Ok, lupain masalah jomblo nya gue. Sekarang Kita beralih ke Fia." Zahra mengalihkan topik. Menyadari sedari tadi mereka belum melihat sosok Fia bergabung bersama mereka, Zahra merasakan sesuatu yang tidak baik tentang hal ini.

"Lo pada liat Fia gak, perasaan dari tadi gue gak liat dia deh?." Zahra tidak bisa menyembunyikan raut khawatir nya, sejujurnya ia saat inicuriga jika Fia tiba-tiba mendapatkan masalah dari Yola. Pasalnya Fia sempat menceritakan kepada Zahra dan Dewi tentang hubungan nya bersama Alfi, kakak kelas mereka yang kebetulan juga adalah mantan kekasih Yola.

"Iya-yah dari tadi gue juga gak pernah liat si Fia, dia kemana yah?" Timpal Latifa baru menyadari keberadaan Fia yang nihil di antara mereka.

"Gue lihat sih, malahan sempat jalan bareng juga sama si Fia. Tetapi saat kita mau masuk kantin, eh, tiba-tiba kak Alfi muncul terus ngajak dia pergi. Gue ditinggal tau sendirian, kesel anjir." Dewi menceritakan kemana Fia pergi dengan wajah kesal yang kentara.

"Eh, Ra, lo ngapain sih mikirin curut satu itu. Dia kan baru jadian ama kak Alfi, so dia pergi kencan lah ama kak Alfi," Tersenyum geli.

"Gak usah di ribetin kale. Nanti juga kalo si Fia bosen kan tinggal pulang ke kita." Saran Andrini menasehati sok bijak yang langsung diangguki yang lain.

Zahra masih berpikir, ia sepenuhnya tidak puas dengan hiburan yang diberikan Andirini. Ia sangat mengenal prilaku semena-mena Yola di sini, ia juga mengenal bagaimana prilaku Alfi dalam bergaul. Ia takut, takut jika Alfi hanya memanfaatkan nya untuk sesuatu. Ia takut, jika hubungan yang Fia jalin dengan Alfi adalah jebakan dari Yola dan teman-temannya. Ia takut, jika jebakan itu mereka buat hanya untuk memancing kedatangan nya.

"Gak, kalian semua gak ngerti apa yang aku rasakan. Kalian gak tau betapa penting nya Fia bagiku dia adalah sahabat sekaligus keluargaku. Dia berharga. " Batin Zahra miris, Fia adalah satu-satunya orang yang mampu membuat nya membuka diri kepada orang lain. Jika di rumah air mata adalah terlarang, maka di depannya menangis adalah sesuatu yang wajar. Itulah mengapa ia bisa menganggap Fia sebagai saudaranya, karena ia mampu melakukan hal yang mereka tidak mampu lakukan kepada nya.

"Ra-Ra, Zahra? " Panggil Dewi dengan suara yang lebih keras.

Zahra tiba-tiba langsung tersadar dari lamunan nya, mengerjap bingung, ia sudah mendapati wajah bersalah Dewi di depannya.

"Sorry, gue gak maksud buat ngebentak lo kok. Gue cuma kesel aja lo gak nanggepin omongan kita makanya gue teriakin lo, tapi lo ternyata lagi ngelamun. Pasti lo kaget gara-gara gue teriakin, sorry, Ra. " Dewi merasa bersalah dengan raut wajah shock Zahra. Ia tidak tahu jika sedari tadi Zahra sedang melamun dan tidak sengaja mengabaikan pembicaraan mereka.

"Oh, itu bukan masalah. Lagi pula aku yang salah karena keasyikan ngelamun di saat kita kumpul gini. " Zahra mengusap wajah lelah nya, mengembalikan lagi wajah datarnya yang sempat ia lepas beberapa waktu yang lalu.

"No, gak ada yang salah. Hanya saja lo tadi ngelamun menghayati banget, lo ngelamunin apa sih? " Andrini bertanya lembut.

"Gak, gue cuma kepikiran Fia aja. Gue takut dia ada masalah." Jawab Zahra jujur, ia tidak ingin menyembunyikan hal yang seharusnya mereka juga tau.

Dewi, Latifa dan Andrini langsung geleng geleng kepala begitu mendengar jawaban Zahra.

"Lo tuh sia-sia tau gak khawatir sama di-"

"Zahra! " Teriakan seseorang berhasil memotong ucapan Dewi. Di koridor, seorang gadis berlari dengan wajah paniknya. Tidak perduli tatapan siswa lain, ia tetap berjalan mendekati Zahra dan yang lain sedang duduk.

"Fia, Ra! Fia lagi di bully sama kakak kelas. " Gadis itu mengatakan sesuatu yang membuat nya merasakan panik sedari tadi. Membuat mereka yang ada disekitar Zahra langsung menatap Fira dengan tatapan tidak percaya.

Mendengar laporan panik gadis itu,  Zahra tidak perlu bertanya dengan siapa Fia mendapatkan masalah. Zahra juga tidak perlu bertanya apa yang mereka lakukan tergadap Fia di sana. Yang Zahra tau hanya satu, bahwa mereka yang di sana sudah berhasil mengusik ketenangan nya di sini. Membuatnya merasakan marah.

Zahra tersenyum dingin, menatap gadis yang kini sedang berdiri di depannya dengan tatapan acuh tidak acuhnya.

Melihat tempramen Zahra yang tergolong tenang, bahkan sangat tenang, gadis itu tidak bisa tidak merasakan perasaan dingin yang menusuk panggung nya.

"Mereka dimana?" Zahra bertanya dingin seraya membersihkan tangannya dengan selembar tissue.

"Kelas 12.3." Gadis itu menjawab secepat yang ia bisa.

Tersenyum kecil, Zahra langsung mengangkat beban tubuhnya. Ia berdiri di depan gadis yang terlihat gemetaran takut.

"Fira, terima kasih atas info mu. Aku sangat berhutang budi kepada mu. " Tersenyum kecil, Zahra langsung membawa langkahnya menuju koridor yang akan membimbingnya ke arah kelas tersebut.

Melihat langkah Zahra, mereka yang dibelakang tidak tinggal diam dengan hal tersebut. Mereka juga bergegas mengikuti langkah pelan Zahra.

Menutup botol air minum nya, Andrini menatap punggung Zahra dengan tatapan permusuhan. Lalu, di sudut bibirnya ada senyuman tipis yang melambamgkan rasa benci yang besar.

"Ah, ternyata umpan kali ini benar-benar berhasil untuk memancing kedatangan nya. "

***

"Dasar cewek murahan, kenapa gak sekalian aja lo jadi PSK!. Sigh, lagian gue liat yah, lo dan teman-teman lo itu gak ada bedanya sama PSK, sama-sama murahan!." Ejek Yola, kakak kelas yang secara kebetulan adalah mantan kekasih dari Alfi.

"Iya nih, kenapa gak sekalian aja sih?, apalagi teman lo yang satu itu, siapa sih namanya, Zar-Zara-Zahra!. Yah, lo tau gak? lo itu sekelas sama si Zahra, tukang goda pacar orang, genit, dan murahan!." Rani, yang juga menjadi salah satu dari anggota kelompok Yola juga tidak mau ketinggalan. Ia dengan bangganya menghina Zahra didepan orang-orang yang juga sedang menyaksikan sikap mereka.

Fia bingung juga ketakutan, "Kak Yola kenapa harus bawa-bawa nama Zahra?, emang salah gue sama kak Yola, apa? "

Yola tertawa dingin, lalu, dengan sombong nya ia tarik ikat rambut Fia yang sudah terlihat acak-acakan.

Menatap penuh penghinaan, "Lo gak salah sih sebenarnya, tapi karena lo lancang banget bersikap jijik di depan pacar gue, jadi yah, seperti yang lo liat sekarang. Lo juga cari masalah. " Melepas tarikannya, Yola berjalan anggun ke sisi Alfi yang kini sedang menatap Fia dengan tatapan mencemooh.

Mata Fia langsung membola begitu mendapatkan pemandangan ini. Ia marah, bukahkah itu Alfi? Kekasihnya.

Lalu, kenapa kekasihnya hanya berdiam diri di sana?, kenapa kekasihnya tidak membantu nya?, dan kenapa kekasihnya dan Yola tampak terlihat mesra?

Ini, ada apa ini?

Fia mengecangkan genggaman tangannya, ia marah juga takut. Tempatnya berdiri sekarang bukan lah tempat orang-orang mau bersimpati kepadanya. Lihat saja, mereka yang sedang mengelilinginya saat ini hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Ia benci, benci dengan manusia yang tidak berhati ini. Oh, atau mereka memang berhati, akan tetapi sengaja menutup hatinya untuk Fia saat ini.

"Yo, mesranya ditunda dululah, lo gak kasian apa sama dia yang lagi cemburu ngeliat lo sama si Alfi." Mengejek, Lala yang kini berdiri di samping Rani memberikan Fia sebuah penghinaan secara tidak langsung.

"Maksud semua ini apa, kak?, kenapa lo sama kak Alfi masih bersama?, bukankah kalian sudah putus?." Fia bertanya menahan marah, bahkan sudut matanya pun kini digenangi sesuatu yang hangat dan berusaha ditahan agar tidak keluar dari tempat nya.

Mendengar pertanyaan bodoh Fia, Yola tersenyum ringan. Melepas genggaman tangannya di tangan lembut Alfi, ia lalu beralih menatap Fia yang kini tampak sangat menyedihkan bagi Yola. Ah, ia sangat menikmati pemandangan ini.

"Ah, jadi lo juga penasaran."

Mendudukkan dirinya di salah satu kursi, tatapan nya tidak pernah teralihkan selain menatap Fia dengan senyuman aneh, "Begini, kedatangan mu di sini sejujurnya hanya untuk memancing kedatangan Zahra," Yola menceritakan awal dari rencananya tanpa menyembunyikan kebenaran nya.

Lalu melanjutkan, "Akan tetapi rencana ini harus bergeser sedikit karena tingkah lo yang sangat menjijikkan, lo terlalu bertingkah untuk ukuran sampah, "

Tersenyum dingin, "Gue mau lo juga merasakan sedikit pelajaran dari gue dan yang lain, gue harap lo menikmatinya. "

Sakit!

Bohong jika Fia tidak merasakan sakit, lupakan masalah laki-laki brengsek ini karena yang ada dipikiran Fia saat ini adalah Zahra. Memikirkan semua kejadian instan yang sudah ia lewati dan berakhir di tempat ini, Fia akhirnya menyadari bahwa ia memang di jebak. Tapi kenapa?

Kenapa mereka ini menjebak Zahra?, bukankah Zahra selama ini tidak melakukan kontak apapun dengan mereka?.

"Lo biasa aja dong, tenang, ini gak bakal sesulit pelajaran yang membosankan itu. Ini juga gak semenakutkan yang lo pikirkan."

Memutar bola matanya, Rani berjalan mendekati Yola yang kini sedang duduk cantik menonton penderitaan Fia.

"Salah Zahra apa sama lo, kak?. Kenapa lo mau ngelakuin hal ini, percayalah, rencana lo gak akan berhasil dengan gue sebagai umpan. Zahra gak akan serendah itu. "

Yola tersenyum meremehkan, bersikap apa yang diucapkan hanya menjadi angin lalu untuk nya, "Hah, bull shit, lo gak tau apa-apa. Jadi lo diem aja. "

"Gak ada pertunjukan lain, nih?, cuma acara bacotan aja?. " Seorang laki-laki bertanya dengan nada meremehkan, membuat Yola yang sedang duduk di sana merasa tersinggung.

"Lo ngeremehin, gue? " Yola mendengus tak suka.

"Yah, siapa yang tau."

"Ran, La, serah deh lo apain aja dia gue gak peduli. Buat telanjang juga gak masalah, asal cowok-cowok hentai ini bisa diem. " Yola memberikan perintah dan wewenang yang langsung diangguki antusias oleh Rani dan Lala.

"Siap, bos. " Rani menjawab semangat.

"Yoklah, La, kita harus bekerja keras untuk memuaskan para hentai-hentai ini,"

Mereka berjalan mendekati Fia yang kini sudah melangkah mundur ketakutan. Ia memang tidak takut dengan mereka, akan tetapi sikap mereka yang nekat dan bersikap tidak perduli adalah sesuatu yang sangat menakutkan.

"Jangan mendekat! " Fia berteriak marah.

"Oh, udah siap ditelan-"

"Sentuh, maka kalian akan tau akibatnya. " Tiba-tiba suara dingin mengintrupsi kegiatan mereka.

"Zahra." Panggil Fia lemah sekaligus merasakan perasaan lega.

Ya, pemilik suara dingin itu adalah Zahra yang kini sedang menatap dingin mereka semua, terutama Yola yang masih dalam ekspresi shock nya.

"Lo.." Kaget Yola.

"Gue datang. " Berucap dingin, Zahra dengan angkuhnya masuk ke dalam kelas tersebut. Menampilkan sisi tak tersentuh nya, mereka bisa merasakan perasaan menindas hanya dari tatapan tajam Zahra.

"Yah, lebih cepat dari perkiraan." Yola walaupun merasakan perasaan yang tidak biasa masih bisa melontarkan sebuah apresiasi kepada Zahra.

Tersenyum dingin, " Terima kasih, aku begitu tersanjung. " Zahra menarik salah satu kursi dan mendudukinya dengan gerakan yang anggun.

Mengalihkan tatapannya ke arah Dewi, " Lo semua bisa keluar, urusan di sini adalah urusan gue." Intruksi Zahra membuat Latifa dan Andrini mendesah tidak suka.

"Zah-"

"Keluar!. " Tak ingin dibantah, Zahra membawa pandangannya menatap Fia yang kini sedang menatapnya khawatir.

"Gak, Zahra. Ini jebakan, lo gak perlu ngeladenin sikap mereka. " Fia mencoba meyakinkan Zahra, namun hanya dibalas dengan senyuman dingin oleh Zahra.

"Wi, bawa Fia keluar. " Sekali lagi Zahra mengulangi perintah nya.

"Fi-"

"Percaya sama gue, ini gak benar karena ujungnya lo akan terluka. Ingat, keluarga lo gak suka lo begini-"

"Keluar. "

"Yuk, Fi." Ajak Dewi seraya menarik Fia keluar bersamanya.

"Zahra, kita gak bisa ninggalin lo sendiri di-"

"Yah, itu terserah kalian. " Zahra bersikap tak perduli.

"Sialan, sombong banget dia sok memerintah orang!. Hah, baiklah kita lihat seberapa lama kamu akan bertahan. " Andrini menatap tajam.

"Eh, mau lo bawa ke mana dia." Tanya Yola tak suka.

"Bukan urusan lo." Jawab Zahra datar.

"Oh, hebat yah, sekarang ada adek kelas yang berani lawan kakak kelas." Ejek Yola.

"Sudah bukan cerita lama lagi." Timpal Zahra tak ingin kalah.

Yola geram, merasa tak dihargai ia pun berdiri dari tempat duduknya. Berjalan ke arah Zahra berniat untuk menarik rambutnya. Namun, sebelum tangan Yola benar-benar bisa menyentuh rambutnya, Zahra sudah lebih dulu mencengkram tangannya.

"Apa lo pikir dengan bersikap seperti ini lo bisa menyakiti gue,"

Tersenyum dingin, " Sayang, lo salah. " Cengkeraman kasar itu Zahra lepas dengan sekali hentakan dan berhasil membuat Yola hampir terjatuh.

Melihat Yola hampir kehilangan keseimbangan, Alfi dan yang lain berniat membantu Yola namun suara dingin Zahra mengintrupsi mereka.

"Jangan coba membantunya, jika tidak, " Mengangkat atensinya ke arah mereka yang diam tidak bergerak.

"Maka kalian tidak akan pernah bisa menebak hal buruk apa yang akan aku lakukan kepada kalian, percayalah." Diam, ekspresi mereka terlihat menimbang-nimbang apakah akan tetap membantu atau tidak. Zahra tersenyum tipis, menikmati raut bimbang yang mereka tampilkan.

"Sialan, lo kok ngancem sih?," Yola menatap marah.

Memperbaiki penampilan nya, ia mulai memasang wajah meremehkan, "Jangan terlaku bertingkah, Zahra, lo di sini bukan apa-apa buat gue. "

Zahra tersenyum dingin, menatap balik tatapan Yola dengan tatapan menantang, "Emang lo, siapa?"

"Seorang detektif yang menyamar sebagai siswa? atau oh, jangan-jangan lo anak presiden yah?, anak Pak Jokowi? Hah, serius?" Memasang wajah shock yang berlebihan, Zahra sangat menikmati raut wajah Yola yang berubah-ubah.

"Hahaha...mimpi kali!, Ya kali ada anak Presiden model gini?. Sangat tidak berpendidikan. "

"Sialan, lo diremehin, Yo. " Kesal Rani seraya mencoba menggali emosi Yola semakin dalam.

"Ngelunjak anjir, minta dihajar ni cewek!." Lala pun tidak tinggal diam dengan situasi tersebut, ia membantu Rani membuat Yola semakin emosi.

"Yo, ternyata dia gak tau siapa lo di sini."

"Tenang aja, gue akan kasih info yang sudah hal biasa di sekolah ini. Gue yakin saat dia mendengarnya, dia pasti langsung bungkam dan langsung bersujud di depan gue untuk minta maaf." Yola berucap bangga seraya mendudukkan dirinya kembali ke kursi semula.

Namun respons Zahra, masih tetap sama. Datar dan acuh, ia terkesan tidak tertarik dengan topik yang akan dibicarakan Yola.

"Ok, kita mulai dari perkenalan." Ucapnya santai.

"Kenalin nama gue Yolanda Aritami Pramono. Gue anak pertama dari pasangan suami istri Agus Satria Pramono dengan Aliarati Pramono pendiri sekaligus pemilik sekolah ini. SMA MERAH PUTIH, di mana tempat lo berdiri sekarang dan tempat lo menimba ilmu." Senyuman kemenangan sudah tercetak manis di bibirnya.

Mendengar itu respon Zahra masih tak berubah, bahkan sangat datar .

"Kenapa?, " Yola bertanya seraya memberikan pandangan mengejek, "Lo shock, yah?. Hahaha..guys, liat deh, mungkin sekarang dia lagi mau nyiapin mental buat minta maaf ke gue." Yola tertawa menang, menampilkan pandangan menghina dengan aura penguasa.

"Hahaha..." Bahkan para penonton pun tidak ingin ketinggalan meramaikan situasi ini.

Zahra pun mulai memperlihatkan ekspresi bosannya, memutar bola matanya malas. Menaikkan tangan ia mulai bersekap dada.

"Oh, cuma itu?" Tanya Zahra dingin dan tidak berminat.

"Hanya itu..?" Tanyanya menantang.

"Gak ada yang lain?" Zahra berdiri, berjalan ke arah Yola dengan tatapan meremehkan.

"lo," Menyentuh dagu Yola dengan senyuman tipis. Yola memundurkan wajahnya spontan, tidak pernah berpikir jika respon Zahra seperti ini dan jauh dari targetnya.

"Salah besar ngomong gini ke gue!," Zahra berbisik tajam.

"Dan lo semua!" Mengangkat wajahnya, ia membawa atensinya ke sembarang arah, menatap hina mereka yang kini sedang terdiam.

"Harus dengar dan tau ini!"

Tatapan Zahra kembali lagi ke wajah Yola yang sangat shock.

Lo gak tau sedang bermain dengan siapa. Batin Zahra meremehkan.

"Gue, Zahra Affianisha, dari keluarga FFIAN. Keluarga terpandang dan keluarga yang disegani di sini. Lo tadi bilang siapa lo di sekolah ini?," Menyentuh pipi Yola dengan sentuhan hangat.

"Dengan gaya lo yang sok pamer dan arogan ngebuat gue harus buka identitas. Gue harus bungkam mulut lo yang selalu berkata sombong agar tidak berulah lagi." Mengelus pipinya pelan, Zahra menepuknya dua kali lalu bergerak menjauh dari wajah pucat Yola yang kentara.

"Lo keluarga dari PRAMONO?," Bertanya dengan wajah shock yang dibuat-buat.

"Hahaha..si pemilik sekolah?, gitu aja bangga,"

"Lo pernah gak sih nanya, keluarga lo itu bisa begini karena siapa?, atau lo pernah nanya gak darimana orang tua lo dapat uang untuk sekolah ini?. Atau jangan nanya yang tadi deh, lo pernah gak kepikiran siapa pemberi saham paling besar di sekolah ini atau siapa sih yang memfasilitasi sekolah elite ini?,"

"APA DI ANTARA PERTANYAAN YANG GUE SEBUTIN TADI PERNAH LO TANYAKAN PADA AYAH LO?" Zahra berteriak tajam.

Menghela nafas, kemudian menyunggingkan sebuah senyuman miris, "Gue pikir kayak nya gak pernah deh. Secara lo kan gak peduli dengan hal-hal yang seperti itu. Yang ada lo mah bodo amat, yang penting bisa megang uang aja udah bahagianya serasa dunia milik sendiri. " Zahra mengejek, menyerang Yola dengan sederetan kata yang memang faktanya adalah sebuah kebenaran bagi Yola.

Zahra sangat membenci orang yang memamerkan kekayaannya. Apalagi kekayaan yang dia banggakan dan sombong kan adalah milik orang tuanya dan bukan dirinya.

"Jangan banyak bacot lo yah, kalo enggak gue keluar'in lo dari sekolah ini!." Yola mengancam penuh geram, ia tidak ingin mendengar omong kosong Zahra lagi yang sialnya adalah sebuah kebenaran.

"Oh, kejam banget ancaman lo. Tapi sayangnya, ancaman lo gak berlaku sama sekali buat gue,"

"Lo tau gak, kenapa?."

Yola terdiam, bingung kenapa tidak mempan dengan ancaman nya tidak seperti siswa lain yang pasti tidak akan pernah mencari masalah lagi dengan Yola.

"Lo tau gak gue anak siapa?, "

Aku harap kamu tidak akan menyesal begitu mengetahuinya.

"Gue adalah anak dari investor terbesar di sekolah ini, orang tua gue adalah pemilik saham terbesar di sekolah ini, tanpa keluarga gue, sekolah ini gak ada dan gak akan pernah ada.!"

Bahkan aku pun bisa tumbuh seburuk ini karena hal ini, hal yang membuat ku membenci mereka. Batin Zahra miris.

Yola terkejut, bahkan ekspresi nya tidak bisa ia kontrol karena rasa terkejutnya.

"Dan semua fasilitas yang lo semua nikmatin itu semua adalah pemberian keluarga gue,"

"Jadi, nyonya Yola yang terhormat, bagian manakah yang anda banggakan di sini? saya rasa hanya sebuah bangunan sekolah udik yang mati tanpa bantuan dari orang lain."

"Jadi gue harap mulai sekarang lo harus jaga sikap, jaga sopan santun lo sebelum hal yang tak di inginkan terjadi. "

" Lo tau kan maksud gue, kalo ada sesuatu yang ngebuat keluarga gue bad mood di sini, menurut lo apa yang akan mereka lakuin di sini?"

"Hahaha..kenapa?," Menyadari ekspresi ketakutan Yola, Zahra tertawa senang.

"Lo takut?"

"Lo malu?"

"Atau lo marah karena apa yang lo banggakan gak setinggi apa yang gue banggakan?"

Malu?

Ya, Yola merasa malu dengan apa yang dimiliki Zahra. Ia ceroboh, tidak pernah menduga jika Zahra bukanlah lawannya yang sepadan. Seharusnya ia menyadari hal ini dari awal sehingga ia tidak akan merasa malu seperti ini.

"Jadi lo anak pemilik saham terbesar itu, jadi bener dong apa yang dikatakan orang-orang mengenai anak terakhir pemilik saham di sekolah ini? " Rani berkata acuh, berniat menjatuhkan Zahra sengan kabar yang pernah ia dengar.

Mengernyit tak yakin, "Maksud lo?."

"Hoho, pura-pura tidak mengerti rupanya. Mereka mengabaikan anak terakhir dan itu lo, kan?. "

Srek

Rasa sakit berdenyut nyeri di dalam dadanya. Menahan ekspresi nya agar tetap datar, Zahra mencoba mengabaikan rasa sakitnya. Melangkah pelan ia berjalan mendekati Rani.

Meraih kerah bajunya, ia tatap tajam wajah ketakutan Rani dengan tatapan dingin.

Yah, ia benci dengan orang yang seakan tau jalan kehidupannya.

"Dimasa depan awasi mulut lo jika ingin masih tetap tenang." Peringat Zahra tajam.

Rani menganggukkan kepala nya takut, tidak ingin menganggap remeh ancaman Zahra.

"EKHEM! "

"APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN!."

Tiba-tiba suara seorang laki-laki mengintrupsi mereka semua. Zahra mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara, sedikit terkejut, ia perlahan menurunkan tangannya yang ada di kerah Rani dengan acuh tak acuh.

Oh, ternyata dia benar-benar guru. Baguslah, dengan ada dia di sini aku bisa melupakan kehadiran pangeran tampan ku dengan cepat. Mungkin.

"Semua yang terlibat, ikut saya ke BK tanpa terkecuali."

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Nayla Putri

Nayla Putri

syaa baru mampir ceritanya serruu

2024-01-26

0

Bunda Aqazam

Bunda Aqazam

yg bilang novel ni sama dg yg di sebelah? mgkin yg dimaksd my teachet my secret husband

beda bgt

coba lanjut baca

cerita ini bagus bgt.
q baca berulang" gak bosan😊

2020-06-13

19

Aliyudin Aliyudin

Aliyudin Aliyudin

kaya tetangga sebelah

2020-01-11

38

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!