"Zahra, kamu ngapain di sini?" Suara seseorang tiba-tiba mengalihkan perhatian Zahra.
"Sendiri lagi. Temen-temen kamu pada ke mana? lagi berantem yah?". Laki-laki itu tersenyum hangat, menunjukkan sisi ramahnya seraya berjalan mendekati Zahra yang sedang duduk sambil menikmati pemandangan taman sekolah.
"Eh, kak Revan. Lo ngapain di sini kak?" Zahra bertanya heran, karena menurut pengalaman nya Revan bukanlah orang yang suka menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan tidak jelas di sekolah.
"Ya ampun Zahra, bukannya jawab kamu malah nanya balik. Jawab dulu dong pertanyaan kakak." Revan tertawa ringan, lalu dengan sikap akrabnya ia sudah duduk dengan manis disamping Zahra. Menikmati pemandangan taman sekolah yang mungkin biasa saja, akan tetapi ada rasa ketenangan yang damai di sana.
"Ah ya, gue lagi mau cari udara segar aja. Temen-temen gue sih lagi pada di kantin. Biasa, isi bensin." Jawabnya Zahra jujur. Ia dan teman-temannya memang sempat jalan bersama saat keluar dari kelas. Akan tetapi saat di perjalanan menuju kantin, Zahra memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah, ia sudah menawarkan teman-temannya agar mau bergabung dengan nya. Akan tetapi teman-temannya menolak karena mereka harus menuntaskan urusan perut terlebih dahulu. Itulah mengapa Zahra ada di sini sendirian.
"Kalo lo kak, ngapain di sini? mau cari udara juga?" Zahra bertanya seraya asal menebak jawaban nya. Karena ia tau Revan bukanlah tipe orang yang suka bermain-main di sini.
"Ya kale udara dicari, Ra, bukannya tiap detik kita hirup itu udara jadi gak perlu dicari. Udah, aku tau kok kamu kesini buat cari ketenangan." Revan menjawab seraya memberikan tawa hangatnya. Membuat Zahra yang ada disamping nya tersenyum tipis, ia merasa tidak nyaman dengan jawaban Revan yang sesungguhnya adalah kebenaran.
"Kalo kakak sih, lagi males ke kantin aja. Makanya kakak milih buat jalan-jalan di sekitar taman sekolah. Eh, tau nya kakak ketemu kamu. Jodoh kali." Ucapnya seraya tersenyum.
"Tidak ada alasan khusus, hanya ingin bertemu dan lebih dekat dengan kamu saja, Ra. Dengan begini, semua orang akan berpikir bahwa kita layak berjodoh. Lalu, tidak ada lagi yang akan mendekati tanpa seizin ku." Batin Revan jujur serakah.
Mendengar nya, Zahra hanya bisa tersenyum tipis. Ia tidak tahu bahwa apa yang dikatakan Revan adalah sebuah kebenaran atau bukan, akan tetapi yang jelas, ia tau jika Revan tidak sebaik itu. Ia bisa merasakan perasaan enggan dalam dirinya yang ingin tidak berdekatan dengan Revan.
Buaya oh buaya. Batin Zahra tidak suka.
Berbicara tentang Revan, ia adalah salah satu kakak kelas Zahra yang menaruh hati kepada Zahra. Tidak ada alasan khusus selain fisik Zahra yang tidak diragukan lagi. Ia hanya sebagian kecil dari laki-laki yang tertantang akan kehidupan Zahra yang sulit tunduk terhadap mereka yang berusaha dekat dengan nya.
Zahra terkenal karena sikapnya yang sembrono dan tidak mau di atur, bahkan kabar Zahra yang suka pergi keluar malam bukan lagi rahasia umum di sini. Akan tetapi inilah titik menariknya bagi mereka yang menaruh hati kepada Zahra. Karena Zahra bersikap buruk dan sembrono, akan tetapi sejauh ini mereka tidak pernah melihat bahwa benar-benar seburuk yang terdengar. Mereka tidak pernah melihat Zahra merokok, minum-minuman keras atau pun yang paling parahnya melakukan seks bebas. Mereka tidak pernah melihat salah satu dari hal yang seharusnya sudah biasa Zahra lakukan.
Bahkan, mereka sempat berpikir bahwa apa yang terlihat pada Zahra diuar bisa saja hanya topeng untuk pertunjukan luar.
"Eh,Ra. Bisa gak kalo ngomong sama kakak jangan pake 'lo-gue'. Kesannya itu kaya kaku banget gitu, Ra. Bisa gak kita pake 'aku-kamu' aja."
"Hhm, gimana yah, soalnya gue udah biasa kak pake 'lo-gue' ke siapa pun. Apa lagi kalo ngomong sama sahabat gue, itu juga berlaku kok. Dan gue juga gak biasa pakek 'aku-kamu'. Malahan menurut gue nih, ngomong pakek 'aku-kamu' itu terkesan kaku." Ini tidak sepenuhnya jawaban jujur. Zahra hanya menyadari bahwa tidak semua orang pantas mendapatkan rasa hangatnya, bahkan mereka yang selalu berada di sekitar nya pun setiap hari diperlakukan sama oleh Zahra.
"Makanya di biasain dong, Ra. Kan enak kalo kita ngomong gitu." Revan masih tidak ingin menyerah, ia tetap bersikukuh membuat Zahra menuruti apa kemauan nya. Ini adalah salah satu cara agar Zahra takluk ditangannya.
"Hhm, ok deh gue-eh maksudnya aku, aku akan coba kak." Zahra menjawab kesal, ia terpaksa menuruti kemauan Revan karena jika tidak, Revan pasti akan terus mengejar nya untuk melakukan hal kecil seperti ini.
"Ini buaya kok maksa banget jadi orang. Sigh, harus mesti sabar ngadepin ni orang." Batin Zahra kesal, ia hanya tidak habis pikir jika laki-laki juga bisa bersikap buruk seperti ini.
Sementara itu dibelakang mereka, ada seorang gadis yang sedari tadi mengawasi obrolan mereka. Gadis itu sudah geram dengan pemandangan yang ada didepan nya. Daun tumbuhan puri yang sedari tadi dijadikan tempat persembunyian nya pun terkena imbasnya. Gadis itu sudah *** remas daun tumbuhan itu hingga hancur didalam tangannya.
"Awas lo Zahra! gue gak bakal lepas'in loe kali ini. Dasar cewek genit, bisanya godain pacar orang aja." Wanita itu menggeram tidak suka, kilatan benci dan rasa iri sudah memenuhi sinar matanya. Ya, permainan mungkin akan benar-benar di mulai setelah hari ini. Entahlah, siapa yang tahu.
Kring
Kring
Kring
"Eh, udah masuk kak. Kalo gitu gue-"
"Maksud aku, aku masuk ke kelas dulu yah." Pamit Zahra seraya pergi berjalan tanpa menunggu jawaban dari Revan.
Melihat nya, Revan hanya menggeleng kan kepalanya ringan.
"Ini yang aku suka dari kamu Zahra." Ucapnya seraya tersenyum.
***
Zahra menghembuskan napasnya dengan berat. Dia masih mengumpulkan sisa tenaga tubuhnya. Sepulang sekolah tadi, Zahra memilih langsung pulang kerumah nya. Zahra tak melakukan aktifitas yang biasa dia lakukan bersama sahabatnya seusai pulang sekolah untuk kali ini. Ya, Zahra sedang tak ingin pergi shopping atau sekadar berjalan-jalan di mall. Menurutnya, hari ini sangat membosankan. Di tambah lagi, Zahra akhir-akhir ini terkadang memikirkan lelaki yang pernah dia tabrak waktu lalu. Zahra berpikir, jika lelaki itu adalah guru barunya di sekolah. Namun, mengapa dia tak pernah melihat kehadiran lelaki itu di sana?
"Ah, shit. Kenaoa gue jadi mikirin cowok itu sih? ." Zahra bergumam kesal.
"Kalo diliat-liat dia emang tampan. Cukup menarik-" Tiba-tiba Zahra terdiam. Memikir kan lagi sosok laki-laki yang ia temui di sekolah beberapa waktu yang lalu.
Sampai akhirnya bibir tipis Zahra menyunggingkan sebuah senyum tipis, jika dilihat baik-baik senyuman yang tersungging di bibir tipis Zahra bukanlah senyuman penanda sebuah kebahagiaan. Ia miris dengan apa yang ia pikirkan saat ini.
"Yah, cukup menarik untuk menggantikan posisi nya, ah, jika bisa. " Bergumam ragu, ia tak tau apakah hatinya saat ini akan mau memihaknya. Entahlah, tidak ada yang tau apa yang dipikirkan Zahra. Hanya sang kuasa, ahli skenario lah yang paling tahu.
Zahra mengangkat bahunya pasrah, kemudian ia beranjak dari posisinya dan segera membuka seragam sekolahnya. Ia pun segera membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi. Melepaskan semua lelah, kegusaran dan semua masalah nya termasuk keringat yang membasahi tubuhnya selama 6 jam akibat beraktifitas di bawah guyuran air dingin. Menghilangkan semua kepenatan dikepala nya dan kerumitan hidupnya selama ini.
Zahra sempat berpikir, andai keluarganya seramah air ini. Yang sifatnya menenangkan dan menenteramkan jiwa. Mungkin, dia bisa melewati hari-hari keras nya dengan mudah. Namun sayang, keluarganya jauh dari kata ramah baginya. Bahkan keluarga nya lebih keras dari kerasnya kehidupan Zahra.
Setelah selesai mandi, Zahra pun menggunakan pakaian tidur dengan gambar teddy bear nya. Dengan warna merah yang lebih mendominasi pakaiannya.
Dilirik nya jam dinding yang terpajang manis di dinding kamarnya. Sudah menunjukkan pukul 19.33.
"Kok aku gak sadar yah ini udah malem. Hem, aku keasyikan mandi mungkin. " Ucapnya menjawab kebingungannya sendiri.
Tiba-tiba ponsel Zahra bergetar, menandakan ada pesan masuk. Zahra pun bergerak mengambil ponsel nya dan membuka pesan tersebut.
From: Fia
Zahra, clubing yok. Sepi nih di rumah gak ada orang.
"Clubing yah" Gumam Zahra berpikir.
"Hm, ok juga. Lagi pula umi dan abi pergi ke pengajian paman. Sedangkan, kak Razi dan kak Annisa lagi mengurusi kepanitiaan untuk acara bazar besok." Tiba-tiba senyum Zahra langsung mengembang.
"Asyik, aku bebas malam ini. Ikut aja'ah, kan aku juga manusia kali. Butuh hiburan juga." Mengotak-atik ponselnya, Zahra menulis pesan singkat sebagai balasan dari pesan ajakan Fia sebelum nya.
To:Fia
Gue ikut. Tapi mobil gue dibawa sama orang tua gue. Sedangkan motor gue juga lagi di pake sama kak Razi dan kak Annisa. So, lo jemput gue yah. Gue tunggu.
Jari lentiknya pun bergerak untuk menekan kalimat, send.
Sambil menunggu balasan dari Fia, Zahra menyempatkan diri untuk mengganti pakaiannya dengan sweter biru laut dan dengan celana jins sepaha. Rambutnya yang hitam lebat pun ia lepas dan biarkan tergerai. Dilirik nya ponselnya. Belum ada balasan dari Fia.
"Tu anak niat gak sih ngajakin aku clubing." Gumam Zahra kesal karena masih belum mendapatkan kabar dari Fia lagi.
Tiba-tiba terdengar suara klakson motor dari luar rumahnya. Zahra bergegas keluar dari rumahnya untuk melihat siapa sang pemilik motor.
"Zahra, et dah lo lama banget sih dandan nya. Udah kaya mak-mak pergi kondangan aja." Protes Dewi yang kini sedang duduk manis di belakang Fia.
"Apa? lo bilang gue mak-mak?. Muke gila lo, cewek cantik kaya incest gini lo kira emak-emak! bukan cuma otak lo kali yang geser yah, tapi kayaknya mata lo juga geser deh." Kesal Zahra karena tidak terima dikatain emak-emak.
"Hahaha...omelan lo udah kaya emak-emak, Ra, salut gue." Ejek Fia membuat Zahra semakin kesal.
"Jadi pergi gak sih." Emosi Zahra.
"Jadi, dong mak. Yok." Ajak Dewi semangat.
"Emak-emak emang gue emak lo apa?. Hadeh, kesel gue lama-lama. "
Zahra membuang nafasnya berat, berusaha menghilangkan rasa jengkelnya yang sempat menggerogoti. Belum selesai rasa kesalnya karena ejekan Fia dan Dewi, tiba-tiba mata Zahra kembali menyala. Seperti yang terlihat, persentase kekesalan Zahra semakin bertambah setelah melihat apa yang kini dinaiki Fia dan Dewi ke rumah nya.
"Kita naik motor ini? " Zahra bertanya polos dan sekalem mungkin, menekan kejengkelan nya.
"Iyalah, Ra. Kita naik motor, ya kali naik mobil. Kan di depan lo yang ada sepeda motor bukan mobil." Jawab Fia santai masih belum menyadari perubahan wajah Zahra.
"Iyalah, bego ini motor. Anak TK pun tau kalo ini motor. " Zahra mulai kesal, tidak bisa menekan rasa kesalnya lagi.
"Lha, lo kan nanyanya kita naik motor ini apa enggak. Gimana sih." Kali ini Fia ikut menyuarakan kekesalan nya. Fia pikir bahwa dalam posisi ini ia adalah yang berada dipihak yang benar dan Zahra adalah dipihak yang salah?
"Iya, tapi maksud gu kita bonceng tiga? " Zahra mulai habis kesabaran nya.
"Iya. " Jawab Dewi enteng, muka datar.
"Oh, ok. " Jawab Zahra tak kalah datar.
"Ya, udah buruan naik entar orang tua lo keburu pulang lagi. " Putus Fia yang langsung di Iyakan Zahra dan Dewi.
***
Setelah sampai di depan club, Zahra, Fia, dan Dewi langsung bergegas masuk ke dalam. Terdengar hingar bingar musik yang membuat sebagian besar penghuni club yang kebanyakan adalah remaja langsung melupakan dunia nya.
"Hahaha.. cabe. " Seorang
cowok berteriak seraya menunjuk ke arah Fia. Seketika senyum Fia langsung hilang.
"Emang itu cowok tau ya kalo kita ke sini bonceng tiga?" Tanya Fia bingung. Di zaman ini orang yang naik motor melebihi kafasitas aturan akan mendapatkan julukan 'cabe'. Julukan ini identik dengan orang-orang yang suka melakukan kenalakan remaja. Entah itu besar atau kecil, dewasa atau anak-anak, panggilan ini akan tetap berlaku bagi mereka sekalipun mereka bukan.
"Emang kenapa?" Tanya Dewi bingung.
"Soalnya tu cowok nunjuk ke kita bilang cabe." Jawab Fia polos.
"......" Dewi seketika terdiam.
"Et dah, bukan kita kali yang di tunjuk tu cowok, tapi lo doang Fia!. Lo di rumah abis makan apa sih..?" Tanya Zahra penasaran seraya menekan ekspresi agar tetap tenang.
"Gue di rumah tadi abis makan ayam balado, enak banget lho, Ra. Kenapa, lo mau juga?." Jawab Fia seraya tersenyum bangga.
"Ayam balado?." Zahra bertanya tak yakin.
Fia mengangguk pelan sebagai jawabannya.
"Gak, gue kagak minat." Zahra menjawab tak tertarik.
"Trus, kenapa lo nanya.."
Zahra memutar bola matanya jengkel. Dalam hati ia bersuara; Ini Anak kok gak ada peka peka nya yah. Perasaan, kalo urusan penampilan Dia yang pertama paling peka.
"Itu di gigi lo ada cabai." Jawab Zahra santai.
"......" Dewi.
"....." Fia.
Beberapa detik kemudian Zahra dan Dewi menutup telinga mereka kesal.
"What, cabai? " Fia teriak histeris seraya meraih cermin dari dalam tasnya.
"Kok lo kagak bilang dari tadi sih? kan image gue hilang, Ra!" Fia protes seraya memandang miris dirinya di depan cermin.
"Lo gak nanya."
"Ya kale pikiran gue kesana, Ra, lo kan tinggal bilang 'Fia, di gigi lo ada cabai.' Gitu kek, jadinya kan gue kagak malu." Protes Fia seraya membersihkan giginya dengan tissue.
"Lo kan udah bia-"
"Udah napa sih. Pada niat santai gak? kalo niat ayo kita masuk, kalo gak kita pulang. Malu tau dilihat ama orang terus." Lerai Dewi dongkol setelah benar-benar bosan mendengar pembicaraan tidak jelas mereka.
"Jadi dong." ucap Zahra dan Fia kompak.
"Ya udah kalo gitu, ayo kita masuk." Ajak Dewi seraya berjalan mendahului mereka masuk.
Suara riuh para penghuni club sangat terdengar. Apalagi aroma minuman keras sangat tercium di indra penciuman Zahra.
"Minum Neng." Tawar seorang laki-laki dengan pakaian seragam ala pelayan.
"Gak mas, makasih." Tolak Zahra halus.
Walaupun terkenal berperilaku sembrono, Zahra tidak pernah membiarkan dirinya jatuh dalam kumbangan prilaku keras seperti ini. Aneh memang, ia hanya masuk ke club namun tidak melakukan apa-apa di dalamnya selain memantau kedua sahabatnya di sini.
"Eh tau gak, gue lagi happy banget malam ini." Ucap Fia girang seraya meletakkan gelas yang berisi jus jeruk ke atas meja.
"Happy kenapa? atau karena lo dibilang cabai yah sama cowok tadi." Ucap Dewi menerka. Sontak Fia langsung menghadiahi Dewi sebuah getokan halus ke atas kepala nya.
"Fia, ih. " Dewi protes tidak suka.
"Shit, enak aja lo. Gue masih waras kali, masa iya sih ada cowok nunjuk cabai di gigi gue, gue malah seneng. Yang ada gue malu kali." Fia bersuara jengkel, ia masih trauma dengan pengalaman yang ia dapatkan malam ini. Menjadi pengingat bahwa ia akan berhati-hati lagi ke depan nya.
"Trus, apa yang ngebuat lo jadi happy?." Zahra mulai angkat suara.
"Gue happy karena.. "
"Karena-"
"Iya, lo happy karena apa Fia?." Kali ini Dewi sudah tak sabaran.
"Gue ditembak sama kak Alfi, tau." Histeris Fia membuat Dewi langsung menatap nya tidak percaya.
"Lo serius, Fi?" Dewi bertanya tidak yakin.
Fia mengangguk pelan sebagai persetujuan.
"Kok bisa, bukannya kak Alfi pacaran sama kak Yola?"
"Ya bisa lah. Apa sih yang gak buat Fia." Fia berucap bangga.
"Tapi si Yola dikemanain?." Kali ini Zahra penasaran.
"Diputusin, demi gue." Jawab Fia enteng.
"Wah, keren lo, Fi. Pj dong." Dewi mulai girang.
"Ok."
"Yes."
"Tapi lo yakin si Yola dan kelompoknya gak bakal nyari masalah ke lo, Fi?" Raut Zahra khawatir. Zahra tau betul betapa buruknya Yola dan kelompoknya di sekolah, hal serumit ini pasti tidak akan ia lepaskan begitu saja.
"Gue gak tau Ra, tapi ya semoga aja gak." Harap Fia seraya mencomot makanan ringan ke dalam mulutnya.
"Ya udah deh, mending kita manfaatin aja malam yang langka ini buat kita happy-happy." Ucap Dewi.
Walaupun enggan, Zahra tetap menganggukkan kepalanya ringan sebagai persetujuan.
***
"Kamu habis ke mana, Ra? kok jam segini baru pulang?" Ucap Abi datar.
Zahra terkejut dan segera membalikkan badannya mencari sumber suara. Begitu mendapati arah sumber suara, mata Zahra langsung membola terkejut. Di sana, abi berdiri dengan aura yang sangat menakutkan. Bohong jika Zahra tidak merasa takut dengan aura abinya.
"Jawab Zahra! kamu habis ke mana!" Bentak Abi geram.
"Zah-ra..abis kerumah teman, bi." Jawab Zahra terbata-bata.
Ekspresi wajah Abinya kini menjadi semakin merah dan terlihat menahan amarah.
"Bohong, abi tau kamu bohong Zahra!," Menatap Zahra dengan tatapan marah.
"Dengan pakaian terbuka seperti ini, kamu kira abi gak tau kamu ke mana?." Ucap Abi kesal.
Kini ekspresi Abi nya bukan lagi memperlihatkan kemarahan. Namun kini sudah berubah menjadi sendu. Tatapan kasihan. Ya, Zahra benci tatapan itu. Tatapan yang memperlihatkan rasa belas kasihan kepada dirinya. Bukan tatapan ini yang Dia mau. Dia lebih suka abi nya memarahinya dari pada memberikan tatapan itu.
"Maaf, bi. Zahra tidur dulu." Ucap Zahra berlalu dari hadapan abinya. Saat menaiki tangga, dirasakannya pipinya memanas. Zahra merasa air matanya akan tumpah. Namun, dia mencoba untuk tahan sekuat tenaga.
"Jangan lemah Zahra, kuat Zahra, kuat." Zahra menyemangati dirinya sendiri.
Sesampainya dikamar, dia langsung melepaskan tangisannya. Segala sesak yang dia rasakan, Zahra keluarkan pada malam ini. Sakit, sakit yang Zahra rasakan malam ini semakin membuat dada nya meluap.
Mengunci pintu, Zahra langsung merebahkan dirinya di atas ranjanya. Menenggelamkan wajahnya di dalam selimut dan dinginnya malam, ia menumpahkan rasa sakitnya dalam sepinya malam.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Yaser Levi
anak kurang ajar..setidaknya jaga kelakuan liar lu itu..walau tdk pake hijab..pake lah baju yg sopan..jijik gw anak model bgni
2024-04-08
0
Rhu
kelakuan zahra emng g baik,wjar aja klo abi nya marah
2021-08-22
0
Hilmiyatus Herbalis Nasa
padahal sebenernya kluarganya sayang zahra. tp zahra malah merasa terasingkan
2021-07-17
0