"Ayo kita pulang, mama sudah seperti orang gila karena mengkhawatirkanmu," ujar Prima seraya melepas dekapannya.
Elmina mengangguk, lalu menyeka kedua pipinya yang basah dengan telapak tangan.
Prima mendekap adiknya dari samping, kemudian membawanya berjalan ke arah parkiran.
Di dalam mobil Elmina tak sedikit pun mengeluarkan suara. Pandangannya fokus mengarah ke luar jendela. Entah, apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan, Prima pun tak tahu.
Lelaki matang yang berusia dua puluh sembilan tahun itu melirik tipis ke arah sang adik, lalu kembali fokus pada setir. Ia sengaja melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Siapa nama pemuda itu?" Tiba-tiba Prima bertanya sekadar untuk memecah keheningan. Ada sebuah keanehan yang ia tangkap dari diamnya sang adik.
Elmina adalah gadis periang yang terbiasa berisik dengan segala dialog tidak jelasnya. Sudah barang tentu, Prima menangkap gelagat tak biasa dari diamnya ini. Layaknya seorang balita berusia empat tahun, adiknya itu selalu saja mengoceh jika sedang bersama. Namun, kenapa sekarang tampak berbeda?
Sebenarnya, pertanyaan yang baru saja dicetuskan lelaki itu hanya sebagai bentuk pembuktian saja. Prima ingin memastikan jika diamnya sang adik ada kaitannya dengan pemuda yang telah bersamanya selama dua hari terakhir.
Elmina mengerjap setelah mendengar pertanyaan dari sang kakak. Kepala dibawa bergeser arah, lalu menjawab, "Namanya Bari, Kak." Sekarang wajahnya sudah menghadap ke arah Prima.
"Kakak tahu, dia itu sangat lihai mengendarai mobil, benar-benar seperti seorang pembalap profesional." Keantusiasan mulai menguasai dirinya. "Dan lebih hebatnya, dia berhasil menyelamatkanku dari hujan peluru saat kami masih di tepi pantai." Sepertinya topik yang dipilih oleh Prima adalah topik pembicaraan yang tepat. Buktinya, Elmina langsung kembali bersemangat.
Sekarang, lelaki itu sudah bisa menyimpulkan bahwa sedari tadi sang adik terdiam karena sedang memikirkan pemuda itu.
"Oh, jadi namanya Bari." Prima tersenyum mencemooh.
"Kenapa ekspresi wajah kakak jadi menyebalkan seperti itu?" Elmina mengerutkan dahinya tidak suka.
"Asal kau tahu, semua buronan selalu memberikan informasi palsu pada siapa pun yang ia temui." Jawaban Prima tak sedikit pun menjawab pertanyaan Elmina sebelumnya. Ia lebih memilih untuk meneruskan dialognya yang sempat terpotong oleh celetukan sang adik.
Elmina terdiam. Awalnya ia tak mau percaya jika Bari adalah orang jahat. Namun pada akhirnya, ia bisa mendapatkan informasi valid tentang identitas pemuda brewok itu. Prima Sanjaya adalah ketua satuan reserse kriminal di kota mereka. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa jika kakaknya itu akan memberikan informasi terpercaya bukan hoax semata.
"Jangan terlalu percaya. Apa lagi yang dikatakannya padamu?" Prima menambah pertanyaannya. Membuat Elmina kembali mengerjap. Pasalnya, ia sempat larut dalam mode lamunan untuk sesaat.
"Dia ...." Elmina ragu untuk meneruskan kalimatnya. Hal itu sukses membuat sang kakak menoleh padanya.
Jika ada yang mengatakan padamu bahwa aku ini adalah seorang pembunuh, apa kau akan memercayainya?
Sepenggal dialog Bari kembali terngiang di telinga Elmina. Akhirnya, ia sampai juga pada momen itu. Momen di mana seseorang akan mengatakan hal yang sama persis dengan apa yang telah dikatakan oleh pemuda yang menculiknya tersebut. Dan orang itu adalah kakaknya sendiri.
"Apa benar dia telah melenyapkan nyawa seseorang?" Elmina malah balik bertanya. Kelanjutan dialog sebelumnya tak niat lagi untuk diteruskan.
"Aku tidak mengatakan hal itu," jawab sang kakak seraya berkerut dahi.
"Jawab saja, Kak. Kenapa harus main rahasia-rahasiaan?" erangnya seraya bergelayut di lengan sang kakak.
"Ini kode etik dalam bertugas, Adikku. Kau cukup tahu saja kalau dia adalah pemuda yang sangat berbahaya. Sebaiknya lupakan saja!" Prima memilih untuk tidak mengungkapkan kebenarannya. Tujuannya hanya ingin memperingati sang adik, itu saja. "Yang jelas, jika kau bertemu dengannya lagi, kau harus langsung menghubungi kakak," pesan Prima.
Elmina mendengus kesal, lalu menarik diri. Wajahnya memberengut seraya melipat kedua tangan di depan dada. Pandangannya kembali tertuju ke luar jendela. Hatinya seperti tidak terima ketika sang kakak mengatakan hal tersebut.
Siapa pemuda itu sebenarnya? batinnya sambil terus berpikir.
Tak berapa lama, mobil yang dikendarai oleh Prima tiba di pelataran sebuah rumah megah. Rumah berlantai dua dengan warna putih sebagai identitasnya.
Elmina keluar dari mobil setelah sang kakak sudah mematikan mesin dengan sempurna. Keduanya melangkah bersamaan memasuki rumah tersebut dan disambut oleh sang ibunda tercinta.
***
"Kalian semua tidak becus!" sentak seorang pria paruh baya. Ia memakai setelan jas mewah dengan topi koboi, perutnya tampak buncit sempurna, dan ... berkumis panjang. "Percuma aku membayar kalian mahal jika untuk menjaga orang pingsan saja kalian tidak bisa!" pekiknya lagi di depan tiga orang anak buahnya.
Ya, tiga orang yang berjaga di depan ruang rawat tadi terpaksa memberitahukannya jika tawanan mereka kabur. Karena terlalu sulit untuk menemukan jejak keduanya, jadi mau tidak mau mereka harus menerima amukan dari sang atasan.
Sementara beberapa pria berpakaian sama dengan ketiga pria itu, berdiri tegak di belakang pria berperut buncit. Senjata laras panjang ditimang masing-masing tangan. Layaknya pasukan elit, mereka juga tampil dengan tambahan kacamata hitam pekat. Tubuh besar dan kekar sudah pasti menjadi identitas masing-masing dan juga merupakan modal untuk membantai lawan.
Pria bertopi koboi itu lantas mengerang dan menembakkan tiga peluru secara beruntun pada masing-masing kaki tiga pria di hadapannya.
DOR
DOR
DOR
Ketiganya memekik kesakitan tatkala peluru dari kuningan itu menembus tulang mereka. Ketiganya meringkuk sambil memohon ampun pada sang atasan. Berharap pria paruh baya itu tidak akan merenggut nyawa mereka saat itu juga.
"Kalian tahu, aku paling tidak suka kegagalan." Pria itu berkata dengan nada geram. Membuat ketiga pria yang tertembak tadi merunduk dengan tubuh bergetar. "Ini baru peringatan, jika sekali lagi kalian berbuat kesalahan, maka kepala kalian yang akan kutembak!" pekiknya membahana seantero ruangan.
Ruangan yang tampak seperti sebuah gudang tinggi tanpa langit-langit. Di sekitarnya terlihat banyak drum bahan bakar yang tersusun rapi mengitari orang-orang yang berada di sana.
Lebih tepatnya, tempat ini merupakan gudang penimbunan bahan bakar. Selain itu, di sana juga terdapat banyak senjata ilegal yang mereka sembunyikan.
"Temukan pemuda itu! Aku menginginkannya hidup-hidup!" titah pria paruh baya itu pada anak buah yang berdiri di belakangnya.
Semuanya bersikap siap dan menundukkan kepala ketika sang atasan beranjak dari posisinya berdiri. Ia langsung memasuki sebuah mobil yang sengaja diparkir di dalam gudang. Seorang sopir bertubuh kekar, memakai setelan jas serba hitam, memutar arah kendaraan, lalu membawa bosnya pergi dari sana.
Sepeninggalan atasan mereka, pria-pria berotot itu langsung mengambil langkah seribu untuk menjalankan tugas. Sebagian tampak mengendarai mobil, dan sebagiannya lagi mengendarai sepeda motor.
***
Di tempat berbeda, seorang pemuda sedang memasang sepatu boot lengkap dengan pisau kecil dan pistol cadangan--diselipkan pada saku khusus yang dirancang pada bagian samping sepatu itu.
Sebuah ransel berukuran sedang tampak bertengger di punggungnya. Ia berdiri tegak seraya melangitkan sebelah telapak tangan. Sebuah kalung berlian berliontin bulat besar, dengan warna biru laut tersorot jelas di sana. Ia menatap lekat benda itu tanpa ingin berucap. Perlahan kalung itu tenggelam dalam genggamannya, lalu dimasukkan ke dalam sebuah kotak kecil berbentuk rubik dengan warna pelangi.
Diselipkannya benda berbentuk persegi empat itu ke dalam saku celana, lalu mengambil langkah untuk meninggalkan ruangan itu.
Sampai di ambang pintu, dihirupnya udara segar dengan perlahan. Kesiur angin terasa sangat menenangkan, membelai lembut rambut bagian depannya yang tampak agak panjang. Ia tersenyum tipis. Sudah sangat lama ia tak menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah pohon yang menjadi salah satu tempat persembunyiannya dan juga rumah yang terletak di pinggiran hutan buaya.
Kepala dibawa menunduk samar, memeriksa pergerakan buaya-buaya pemangsa yang berenang di sungai kecil samping pohon yang ia injak.
Sebuah batu kerikil tampak tergeletak di samping kakinya. Badan dibawa merunduk untuk menggapai benda kecil itu, lalu melemparnya ke arah buaya.
Salah satu hewan buas itu menangkap kerikil tadi dengan mulutnya.
"Dasar rakus, buaya makan batu," gumamnya seraya tersenyum mengejek.
Tubuhnya bergerak cepat menuruni pohon, lalu mendarat dengan sempurna.
"Aku harus bergerak cepat," ucapnya pada diri sendiri. Kemudian berjalan ke luar hutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐
Kok bisa akur sama buaya?
Jangan-jangan dia sejenis buaya juga 😝
2022-12-19
1
༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐
itu juga yang jadi pertanyaan pembaca...
2022-12-19
0