Ketika keduanya sedang menikmati makan malam, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka. Elmina menghentikan kunyahan, sementara Bari mulai celingukan.
"Itu mereka!" pekik beberapa orang dari arah selatan. Mereka tampak mengenakan pakaian preman.
Dari gelagatnya Bari bisa memastikan kalau orang-orang itu adalah anggota kepolisian.
"Sial!" Bari menghempaskan ikan panggang tadi ke dalam perapian. Sementara Elmina hanya bisa kebingungan.
"Kau kenapa, Bar?" tanyanya seraya melanjutkan makan malam.
Tanpa menjawab, Bari langsung menarik lengan Elmina, dan membawanya bersembunyi di balik gubuk. Ranting tusukan ikan panggang milik Elmina terpaksa dilemparnya ke sembarang arah.
"Bagaimana mereka bisa tahu tempat ini?" gumam pemuda brewok itu seraya menatap langit yang semakin temaram.
"Hehe, tadi aku sempat menelpon kakakku ketika kau pergi," aku Elmina--menjawab kebingungan Bari.
"Elmina!" erangnya.
DOR
DOR
DOR
Hujan tembakan menuju ke arah keduanya. Seraya terus menghindar, Bari langsung menarik lengan Elmina menuju mobil sedan milik gadis itu. Rencana untuk berlibur barang dua sampai tiga hari di pinggir pantai kini musnah sudah.
Mau tidak mau, mereka harus meninggalkan tempat itu bersama momen ganas yang hampir saja merenggut nyawa.
"Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan coba-coba menghubungi siapa pun!" Bari mendengus kesal seraya menghentak kemudi dengan sebelah tangannya. Mereka berhasil kabur dari kejaran orang-orang tadi.
Niat awalnya yang tak ingin menyita ponsel gadis itu, kini terpaksa dilakukan.
"Kesialan apa ini?" Elmina menghentakkan kedua kakinya dengan wajah memberengut kesal. Kedua tangan terlipat kuat di depan dada.
"Pertama, kau seenaknya mendarat di atas mobilku." Sepertinya Elmina kembali kumat. Entah, karena makan malam yang belum selesai, atau memang karena Bari sudah merebut ponselnya.
"Kedua, kau menculikku di dalam mobilku sendiri." Dia terus memelototi Bari yang sedang fokus mengemudi dengan kecepatan tinggi. Walaupun tubuhnya bergoyang ke sana kemari, tak membuatnya urung meluapkan emosi.
"Ketiga, kau merampas semua kebebasanku mulai hari ini," pekiknya sekuat tenaga di dekat telinga Bari.
Pemuda itu hanya berdecih. Ia tak menyangka jika gadis barbar tersebut akan berani berkata seperti itu padanya. Bukankah tadi Elmina sempat tergagap karena takut akan kegilaannya?
"Sebenarnya kau ini siapa?" pekik Elmina lagi. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bari.
Jika memang pemuda di sampingnya ini adalah pria baik-baik, kenapa anggota kepolisian ingin menangkapnya? Namun, jika memang benar Bari adalah orang jahat, mengapa hati kecilnya berkata lain?
"Kau benar-benar ingin tahu?" Bari bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.
"Tentu saja, bukankah aku sudah menanyakannya berkali-kali? Tapi, kau tidak mau buka mulut sama sekali." Elmina masih memandang pemuda di sampingnya dengan tatapan mengintimidasi. Kedua alisnya tampak bertautan.
Apa susahnya mengaku, jika memang dia seorang buronan? batin Elmina tak habis pikir.
"Jika ada yang mengatakan bahwa aku ini adalah seorang pembunuh, apakah kau akan memercayainya?" tanya Bari seraya melirik tipis ke arah Elmina.
Kening gadis itu berkerut dalam. Alih-alih menjawab pertanyaannya, Bari malah memberinya pertanyaan balik. Pertanyaan yang cukup sukses menciutkan keberaniannya.
"Kau jangan asal bicara!" sergah Elmina seraya membuang pandangan ke luar jendela mobil.
"Gadis aneh!"
"Apa kau bilang?!" Pandangan gadis itu kembali terhunus pada Bari.
"Selain aneh ternyata kau juga tuli."
Kalimat Bari benar-benar sukses membuat kepala Elmina mendidih. Pemuda di sampingnya ini terkesan sedikit bicara, namun jika sudah berkata, maka langsung berhasil menyentil emosi.
"Hentikan mobilnya!" pekik Elmina.
Bari berpura-pura tidak mendengarkan. Ia tetap mengemudi sebagaimana mestinya. Ia sedikit melengak ke depan. Langit tampak sangat gelap dalam pandangan, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
"Bari, hentikan mobilnya kubilang!" Elmina menarik lengan pemuda itu, sehingga membuat kemudinya bergeser dari titik awal.
Laju mobil kini menjadi tak terkendali. Kendaraan itu tampak meliuk ke kanan dan ke kiri, membuat Elmina terpukul mundur karena sebelumnya tidak sempat menggunakan sabuk pengaman.
"Aaargh!" erangnya menahan sakit pada punggung.
Bari tak bisa lagi mengambil alih kendali. Laju mobil terlalu cepat, sehingga membuatnya juga diserang kepanikan.
Di tengah-tengah kegentingan yang melanda, tiba-tiba tampak barisan mobil petugas kepolisian sudah menutup jalan di hadapan mereka.
"Oh, ****!" Bari membanting stir ke kanan, lalu menginjak rem sekuat tenaga.
CKIIIT
"Aaargh!" Pekikan Elmina pun mengudara seraya menutupi wajahnya dengan kedua lengan.
BRAAAK
BRAAAK
Hantaman keras tak bisa dihindari. Mobil sedan itu menabrak sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di pinggir jalan.
***
Cahaya putih tampak samar dalam pandangan Bari. Perlahan ia membuka kelopak matanya, lalu mengenali tempat di mana ia berada. Tangannya terangkat, sekadar untuk memastikan asumsi. Ternyata benar, ia sedang berada di rumah sakit. Pasti petugas kepolisian yang sudah membawanya ke sini.
Wajah diajak celingukan--mencari keberadaan gadis yang tadi bersamanya.
Diangkatnya tipis kepala yang tadinya berbaring nyaman di atas bantal, lalu mengambil posisi setengah duduk.
Senyuman seketika terukir samar tatkala pandangannya menangkap keberadaan Elmina yang juga terbaring di atas sebuah brankar--di kamar yang sama.
Kepala gadis itu tampak diperban. Tak hanya itu saja, lengan kirinya juga diperban dan menampakkan bercak merah di beberapa titik.
Seketika itu juga rasa bersalah mulai bergelayut di hati Bari. Jika bukan karena ulah tololnya, gadis itu tidak akan mungkin bisa terluka.
Salahnya, sudah menempatkan gadis itu pada posisi yang tidak seharusnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, keselamatan gadis itu adalah tugasnya. Elmina harus tetap bersamanya.
"Hei!" Bari menepuk lembut pipi Elmina dengan pelan. Suaranya sengaja dibuat berbisik. "Bangun, Gadis Barbar!" Ia kembali menepuk pipi gadis itu, kali ini lebih dari dua tepukan.
Elmina tampak mengerjap, lalu perlahan membuka kelopak matanya. Pemandangan pertama yang ditangkapnya adalah wajah Bari yang masih tetap tampan walaupun kepalanya terlilit perban.
"Kau!" teriak Elmina di depan wajah Bari.
Pemuda brewok dengan rambut depan yang sedikit panjang itu lantas membekap mulut Elmina dengan telapak tangannya.
"Hmmp ... hmmp ... hmmp!" Elmina berontak sebisanya. Ia tidak mau jika Bari menculiknya untuk yang kedua kali.
"Jangan berisik! Kalau tidak, akan mencekikmu" ancam Bari.
Elmina mengangguk. Ia langsung patuh dengan wajah panik yang kentara. Gadis itu berpikir bahwa jika ia tak mau bekerjasama, maka hari ini bisa menjadi hari terakhirnya berada di dunia.
"Ayo, kita harus pergi dari sini," bisik Bari seraya melepaskan tangannya dari mulut gadis berisik itu.
Untung saja, kaki keduanya tidak cedera sehingga membuat mereka masih bisa berjalan dengan sempurna.
Tangan Elmina terus digenggam Bari seraya melangkahkan kaki mendekati pintu. Kenop diputarnya perlahan, lalu mengintip ke luar ruangan.
Tampak tiga orang berbaju preman berjaga di depan ruangan tersebut dengan masing-masing orang menggendong senjata laras panjang.
Bari kembali menutup pintu, lalu menoleh ke arah Elmina yang masih memasang wajah panik.
"Kau jago acting?" tanyanya pada gadis itu.
"Hah?" Bukannya menjawab iya atau tidak, Elmina malah tampak kebingungan.
"Ayo bermain peran!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Machan
anjay, cape ya dikejar" mulu
nah, kira" mo main peran apa?
2022-12-18
0
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Lu takut, tapi ngikut aja, El, El...
2022-12-18
0
༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐
apa itu bintang-bintang bertebaran?
2022-12-15
1