Makan di Restoran

Edgar menatap wanita yang baru saja memberinya suatu pukulan, beberapa detik kemudian laki-laki tampan itu kembali mengajukan pertanyaan.

"Ok lanjutkan, sekarang aku mau tau apa warna favoritmu ?"

"Biru" Alana menjawab dengan santai, di dalam pikirannya haruskah semua itu di bahas.

"Lalu kamu sendiri, apa warna kesukaan mu ?" kali ini Alana yang mengajukan pertanyaan, jika Edgar saja sudah tau warna favoritnya, ia juga harus tau warna kesukaan Edgar.

"Aku tak suka warna mencolok, apalagi yang terlalu terang" jawab Edgar santai.

"Terus warna apa ?" Alana mendengus kesal.

"Hitam tentu menjadi favoritku"

Alana menarik napas panjang, ia tidak menyangka kalau Edgar akan menyukai warna hitam. Padahal warna baju yang pria itu pakai sekarang begitu cocok pada kulitnya yang putih.

"Sekarang giliran ku lagi, tempat favoritmu apa ?, maksudku tempat yang sering kamu kunjungi"

"Aku tidak punya tempat favorit, bagiku dimana pun berada semuanya sama saja, lagian aku tidak punya uang untuk liburan" mata Alana berkaca-kaca, mengingat kehidupan yang ia jalani bersama sang ibu selama ini sangatlah keras. Ia harus bekerja keras demi bisa makan.

"Kenapa tidak punya ?, setidaknya satu saja kamu sebutkan" Edgar menatap wajah Alana, ia dapat melihat kesedihan di mata wanita itu.

"Saat Ayah ku pergi, aku dan ibu berjuang untuk bisa makan setiap hari. Jadi memikirkan tempat favorit bagiku tidak lah penting" Lirih Alana.

"Lalu dimana ibumu ?"

Alana menatap Edgar, harusnya tadi ia tak perlu mengatakan tentang ibu pada pria itu. Alana tidak ingin Edgar mengetahui kondisi ibunya apalagi mengharap belas kasihan.

"Dia tinggal bersama Bibi ku" jawab Alana berbohong.

Edgar kembali menatap Alana dengan bingung "Terus, apa kamu tidak akan memberi tahu ibumu tentang pernikahan kita ?"

Alana menjawab dengan gelengan, bagaimana bisa ia akan memberi tahu sang ibu kalau dirinya akan menikah. Karena saat ini ibunya tengah terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

"Kenapa ?" kembali Edgar bertanya.

"Kita menikah hanya setahun, jadi bagiku ibu tidak perlu tau. Beliau pasti akan sedih jika aku akan menjalani pernikahan kontrak" balas Alana mencoba tersenyum.

Edgar terdiam, walau di benaknya masih banyak menyimpan pertanyaan untuk Alana. Namun ia tak bisa mengungkapkan semua itu.

Alana menyeruput teh hangat yang ada di hadapannya. "Maaf sebelumnya, kamu kerja apa ?" tanya Alana, ia begitu penasaran apa pekerjaan Edgar, walau sebenarnya ia sudah yakin kalau Edgar pasti orang penting.

"Arsitek" jawab Edgar enteng.

Alana menganga, ternyata calon suaminya adalah seorang Arsitek, ia tidak pernah menyangka akan menikahi seorang Arsitek. Dulu ia pikir orang miskin seperti dirinya akan menikah dengan orang miskin juga.

"Orang tua mu pasti orang penting, apa mereka akan setuju jika kamu menikahiku ?"

"Kedua orang tuaku tidak pernah menomor satukan harta, yang penting dia gadis baik"

"Lalu apa rencana kita kedepannya ?"

"Aku cuman minta sama kamu jangan sampai kedua orang tua ku tau kalau kita menikah kontrak"

Alana mengangguk, tentu saja ia akan merahasiakan semua ini. Lagian ia tak punya hak untuk mengumumkan pernikahan mereka. Mengingat kalau Edgar tidak mencintainya.

"Minggu depan, kamu harus ikut bersama ku untuk bertemu kedua orang tuaku" kata Edgar membuat detak jantung Alana berdegup cepat. Padahal pernikahan mereka hanya pernikahan palsu tapi tetap saja Alana deg-deg kan saat Edgar mengatakan untuk bertemu kedua orang tuanya.

Setelah saling mengenal dan melakukan banyak bicara, tiba-tiba saja Edgar mendengar perut Alana berbunyi cukup keras. Pria itu hampir saja meledakkan tawanya, namun ia urungkan saat melihat tatapan tidak bersahabat dari Alana.

Padahal tadi Alana sudah makan banyak, bahkan Edgar tidak percaya tubuh sekecil Alana bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Dan sekarang wanita itu kembali lapar lagi.

Tidak ingin membuat Alana mati kelaparan Edgar membawa Alana ke sebuah restoran mewah. Karena di rumah itu tidak ada makanan apapun.

"Pesan lah makanan apapun yang kau inginkan !" pinta Edgar setelah keduanya duduk berhadapan.

"Aku tidak tau nama makanan di menu ini, jadi kamu saja yang pesan, kita samakan saja" jawab Alana cukup pelan, ia tidak ingin malu karena tidak tau makanan yang ada di buku menu.

"Hah, baiklah" balas Edgar. Ia memahami hal itu. Alana hanya orang kecil yang mungkin pendidikannya tak selayak pendidikan Edgar.

Edgar kembali memesan banyak makanan, ia juga ingin makan karena sudah waktunya makan siang. Kini, di meja makan itu kembali di penuhi dengan aneka makanan.

Tiba-tiba ponsel Edgar berbunyi, pria itu langsung melihat siapa yang menelpon.

"Aku tinggal dulu, mau jawab telepon" ucap Edgar dan di jawab anggukan oleh Alana.

Mendengus kesal, Edgar kembali menatap layar ponselnya. Disana tertera nama Agina, wanita yang ia kencani seminggu yang lalu. Padahal Edgar sudah memutuskan hubungan dengan Agina tapi kenapa wanita itu kembali menghubunginya ?.

"Halo sayang". suara cempreng di ujung telepon membuat Edgar kembali mendengus kesal.

"Kenapa kamu tidak menjawab telepon ku ?". suara yang di buat semanja mungkin membuat Edgar ingin muntah. Entahlah apa yang Edgar pikirkan saat akan mengencani Agina, menurut teman-teman Edgar wanita itu tidak cantik sama sekali.

"Maaf Gina, aku sangat sibuk dan saat ini pun aku begitu sibuk. Nanti aku telepon lagi" balas Edgar merasa geli sendiri saat ia mengatakan hal yang begitu lembut.

"Tidak mau" balas Agina di seberang sana "Kamu sudah lama menghindariku, dan aku ingin bertemu dengan mu"

"Ok nanti malam jam 09 aku akan menemuimu" balas Edgar yang akhirnya mengalah.

"Benarkah ?"

"Tentu saja, aku punya kejutan untuk mu"

Setelah mengatakan itu Edgar menutup telepon, ia yakin nanti malam Agina akan menunggunya.

"Ric, nanti jam 09 malam temui aku di Vila X" begitulah isi pesan yang Edgar tulis pada teman dekatnya Erick. Tentu saja nanti malam ia tidak akan menemui Agina seorang diri, bahkan ia akan membawa Alana juga.

Setelah memasukan ponselnya ke kantong celana, Edgar kembali ke meja makan. Dimana Alana masih menyantap makanan yang terlihat sangat lezat.

"Kau sudah menghabiskan berapa piring ?" tanya Edgar saat melihat sudah dua piring yang kosong disana.

"Kan kamu bisa melihatnya sendiri" balas Alana dengan mulut penuh.

Edgar menggeleng, cara makan Alana begitu lucu menurutnya. Dan yang Edgar sukai Alana tidak merasa malu makan dengan rakus di hadapannya. Wanita itu apa adanya tanpa ada yang di tutupi.

Baru ini Edgar yang menemui wanita apa adanya, tanpa harus menjadi orang lain untuk menarik perhatiannya. Tak terasa sudut bibir Edgar terangkat membentuk sebuah senyuman.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!