Walau kami sekelas di sekolah, aku tidak terlalu dekat dengannya, hanya Kak Vino yang dekat Bara. Mungkin karena Bara juga indigo seperti Kak Vino, jadi keduanya dapat bersahabat.
"Orang seperti kami ingin hidup normal, tapi ada orang yang masih lupa bersyukur diberi kehidupan normal," ucap Bara melipat tangan dan bersandar ke pintu. Lumayan kata-katanya menyindirku.
"Aku tidak bermaksud begitu, Bara," kataku menyeka sisa air mataku.
"Aku hanya merasa payah hidup di keluarga ini, aku tidak ada spesial-spesialnya." Aku menepuk dada merasa bersalah.
"Harusnya tubuh lemah ini yang menjadi wadah kutukan itu, bukan Kak Vino," tambahku berdiri mendekati Bara.
"Bara, aku yakin kamu pasti seperti ayahmu, bisakah kamu memindahkan kutukan itu ke tubuhku?"
Sontak saja saranku itu membuatnya terbelalak. Pasti konyol mengajukan diri menjadi wadah.
"Jika itu berhasil, kamu bisa membunuhku. Dengan begitu, hidup Kak Vino akan terus berlanjut tanpa kutukan itu," ucapku yakin.
"Dan bagaimana denganmu? Kamu tidak mau melanjutkan hidupmu?"
Aku terdiam mendengar pertanyaannya itu. Jujur aku ingin sekali terus hidup, merasakan cinta, dan hal lainnya. Tapi jika Kak Vino yang dibunuh, maka tidak ada anak spesial lagi di keluarga ini.
"Kamu sangat bodoh, Vina!" kata Bara.
"Tapi ini demi kebaikan keluargaku!" ucapku tegas.
"Percuma, meski dengan cara apapun, Vino sudah digariskan mendapat takdir kutukan itu," jelas Bara lalu mendecak.
"Ck, aku sudah merasakan akan ada bahaya sebelum kutukan itu berlaku ke Vino. Ternyata bahaya itu bukanlah sembarangan bahaya!" tutur Bara lalu menatapku.
Sepertinya Kak Vino juga merasakan bahaya itu, tapi kenapa dia hanya diam dan tidak menceritakan pada kami? Kak Vino terlalu acuh menyembunyikan kekhawatirannya..
"Hanya ada dua cara bagaimana melepaskan kutukan ini, Vina," ucap Bara.
"Sungguh? Apa itu?" tanyaku memegang lengannya. Aku tentu kaget dia bicara begitu.
"Satu, ada seseorang yang sengaja mengirim kutukan itu, dan jika itu benar maka kita harus mencari pelakunya, tapi jika bukan kiriman, maka kita harus pakai cara kedua," jawab Bara menggantungkannya.
"Apa cara kedua itu?" tanyaku penasaran.
"Keluarga ayahmu," jawab Bara.
"Hah, keluarga Papi? Maksud kamu apa, Bara?" tanyaku tidak paham.
"Mungkin lebih baik kamu mencari tahu asal usul kelebihan kakakmu berawal dari mana, bisa jadi salah satu generasi yang dulu pernah membuat kesepakatan kepada Iblis," jawab Bara.
"Tunggu dulu, jadi sekarang kamu menuduh keluarga ku adalah pengikut setan, begitu?" ketusku agak kesal mencerna kalimat Bara.
"Aku juga tidak menuduh begitu, bisa saja ada ritual yang tidak seharusnya dilakukan oleh generasi yang lalu, hal yang tidak sengaja dilakukan, tapi leluhurmu malah melakukan itu. Lebih baik, kamu memulainya sekarang, siapa tahu ada celah yang dapat memberi kita petunjuk."
Aku melepaskan genggamanku dari lengan Bara, lalu kusentuh dagu ini dan mulai berpikir.
"Jika kutukan ini dari leluhur keluarga Papi, lantas dari mana harus aku memulainya?"
"Setiap anak pertama yang lahir akan dianugerahi kelebihan itu, namun baru generasi sekarang kutukan itu berlaku, maka yang dikatakan kamu bisa jadi ada benarnya,"
Bara tampak tersenyum tipis mendengar asumsiku ini.
"Vina, apa kamu tahu, kamu berada di generasi ke berapa sekarang?" tanya Bara.
Aku membisu, tentu kelahiran kami telah masuk keturunan ke tujuh. Itu artinya kutukan itu memang sudah ditetapkan hanya berlaku ke masa generasi ke tujuh? Generasi yang mungkin akan menjadi terakhir di keluarga ini? Tidak! Aku tidak akan membiarkan garis keturunan Papi berakhir sampai di sini.
.
.
^^^To be continued_^^^
^^^Like and komen💖^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments