Pertama Kali

Kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik alami miik Yura perlahan mulai terbuka. Dan ia mendapati tubuhnya terbaring tanpa pakaian hanya ditutupi selimut tebal warna putih. Wanita berparas ayu itu merasakan tubuhnya sakit seperti baru saja ditimpa reruntuhan. Yura tentu tahu apa yang menjadi penyebabnya.

"Azka...." Yura bergumam ketika mendapati suaminya masih terpejam di sampingnya. Jika pria itu tidur seperti ini kelihatan tampan sekali, tidak sangar dan tidak menyebalkan seperti biasanya.

"Kita sudah melakukannya... benar-benar sudah. Aku sudah menyerahkan semuanya sama kamu."

Yura bicara lirih, ia tatap wajah teduh Azka yang saat itu menghadapnya. Yura masih ingat betul bagaimana Azka memperlakukannya dengan lembut. Pria itu bahkan berulang kali menghujam tubuhnya.

Aku nggak akan menyesali semuanya, Azka. Sampai sekarang, pertemuan pertama kita dulu tidak pernah aku lupakan. Meskipun di pertemuan kedua kamu nggak ngenalin aku, tapi aku tetap bahagia melihat kamu baik-baik aja. Azka... andai kamu tahu selama ini aku menunggu kamu, selama ini aku berharap kamu datang untuk menepati janjimu, selama ini aku nggak pernah sedikit pun melupakanmu, mungkin kamu nggak akan mengacuhkan aku. Azka... andai kamu masih ingat kalau di masa lalu kita pernah bertemu, mungkin cerita kita tidak akan seperti ini. Azka, aku harus memendam semuanya, sebab sudah ada wanita lain yang mengisi hatimu.

Yura membatin dan memejamkan mata, kepingan-kepingan masa lalu ketika ia bertemu dengan Azka ketiks mereka masih kecil masih terbayang. Ya, Yura berusia 8 tahun saat itu. Sedangkan Azka terpaut dua tahun di atasnya. Sayang, Azka melupakan semua itu.

Dengan tertatih dan menahan perih Yura masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak tahu sekacau apa penampilannya saat ini ia tetap memerhatikan tubuhnya di depan cermin. Beberapa bercak merah tampak jelas di tubuhnya. Yura tersenyum getir mengingat alasan Azka mau menyentuhnya.

"Demi tanda tangan agar kamu bisa secepatnya terbebas dariku." Yura mendesahkan nafas yang terasa sesak, ia bingung dengan langkah selanjutnya. Di satu sisi ada perjanjian dengan mama Azka, di lain sisi Azka ingin mereka berpisah. Sedangkan hati ini... masih menyimpan nama pria itu. Ya, hanya Yura yang tahu ada setitik cinta di hatinya untuk Azka.

Setelah urusannya di kamar mandi selesai Yura langsung bergegas menyiapkan sarapan pertama untuk suaminya itu. Dia keluar tanpa membabgunkan Azka yang masih terlelap di atas ranjang yang menjadi saksi bisu saat Azka menguasai tubuhnya.

***

Silau cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar yang memang tidak tertutup sempurna membangunkan Azka dari tidurnya. Pria berusia 25 tahun itu tidak lantas bangkit dari tempat tidur. Azka mengamati kamar asing yang berhasil membuat tidurnya nyenyak sepanjang malam.

"Ternyata bukan mimpi. Aku memang ada di apartemen Yura." Figora foto Yura menjadi pusat matanya saat ini. Ia sekilas memejamkan mata untuk mengingat apa yang sudah ia lakukan dengan Yura malam tadi. Bekas cakaran di punggungnya menjadi bukti memang telah terjadi pergumulan antara dirinya dan Yura.

"Sebenarnya apa yang dipikirkan Yura? Mengapa begitu mudahnya dia menyerahkan kesuciannya padaku? Sekarang, kemana dia pergi?"

Azka merasa terhina dan dicampakan. Meskipun ia mengakui Yura luar biasa, tapi Azka tidak suka wanita itu pergi tanpa membangunkan dirinya. Hanya meninggalkan bercak merah yang telah mengering.

Setelah nyawanya terkumpul, pria itu membersihkan diri di kamar mandi, lalu bergegas mencari Yura. Aroma harum nan lezat dari dapur menarik kakinya untuk pergi ke sana.

"Aku sudah menepati janjiku. Surat cerai yang kamu siapkan sudah aku tanda tangani," ucap Yura saat Azka sudah mendudukkan bokongnya di kursi tepat di balik pantry.

Azka terkesiap mendengarnya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas saat memperhatikan Yura. Dan ntah mengapa hatinya merasa keberatan.

Setelah apa yang kami lakukan malam tadi, dia masih bisa membicarakan tentang perceraian. Apa tidak ada yang membekas di ingatannya? Batin Azka, sepertinya pria itu lupa kalau dirinya sendiri yang menginginkan perpisahan ini.

"Nanti kita bicarakan kalau perutku ini sudah terisi. Aku nggak tahu kenapa bisa selapar ini setelah melahapmu!" ucapan Azka membuat mata Yura mendelik menatapnya. "Kenapa? Apa aku salah bicara?" tanyanya tanpa dosa, ia memasukkan sosis goreng ke dalam mulutnya. Lalu meletakkan benda pilihnya di meja.

yura meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Azka. "Makanlah, setelah itu cepat pergi dari sini," ucapnya sebelum akhirnya ikut duduk di hadapan pria itu. Menatapnya penuh canggung. "Urusan kita udah selesai."

Azka berdecih, "Ngusir? Sepertinya ada yang lupa kalau apartemen ini milikku juga."

"Tapi hanya aku seorang yang menempatinya dan aku pikir kamu nggak pernah berniat tinggal di sini, " jawab Yura, ia sengaja menimpali ucapan Azka agar pria itu tidak menyingging malam pertama mereka.

"Tapi, aku pikir gak ada salahnya kalau mulai sekarang kita tinggal bersama."

Ucapan Azka membuat Yura tersedak, ia cepat-cepat menelan segelas air putih hingga tenggorokannya kembali lega.

"Aku nggak ada waktu untuk ngeladeni kamu. Mending kamu pergi sekarang aku karena aku ada urusan lain."

"Pengangguran kayak kamu punya urusan apa? Oh, mau menghabiskan uang mak lampir itu?"

Yura menggelengkan kepala. "Kamu bisa lebih sopan lagi, gak? Mama Ina itu udah ngelahirin kamu. Harusnya kamu bisa menghormati mama."

"Terserah aku mau manggil apa!" Kali ini Azka bicara tanpa melihat Yura, ia menyantap makanan yang disiapkan Yura untuknya. "Pinter masak juga kamu."

"Tumben muji."

"Terpaksa!"

Yura mengumpat dalam hati, kalau seperti ini terus Azka bisa membuat dirinya darah tinggi, setelah itu mereka makan dalam hening. Sesekali Azka melirik Yura dan mendapati Yura juga melihatnya.

"Aku nggak bisa nungguin kamu lebih lama lagi di sini. Untuk hari ini kamu boleh di sini selama yang kamu mau. Tapi, aku harap kamu udah pergi kalau aku pulang nanti."

Dering handpone di atas meja mengurungkan niat Azka untuk bicara. Bahkan, perhatian Yura juga tertuju pada benda pipih miliknya. Tertera nama Agata di sana.

"Pergilah, kekasihmu sudah menunggu," Seutas senyum terlukis di wajah Yura, seperti biasa ia tidak terusik dengan kisah asmara Azka dan Agata. Selama ini anak-anak panti sudah sedikit bisa membuat Yura melupakan perasaannya pada pria itu.

Tanpa kata Azka menjauhi Yura dan menjawab panggilan dari Agata di sana. Sementara Yura pun bersiap untuk pergi. Yura tidak tahu apa yang dibahas Azka dan Agata hingga wajah pria itu tampak menegang.

"Iya, nanti aku datang."

Samar-samar Yura mendengar ucapan Azka ketika ia melintasi pria itu menuju pintu. Namun tiba-tiba Azka menahan tangannya hingga Yura tidak bisa pergi.

Terpopuler

Comments

Tini Laesabtini

Tini Laesabtini

Semangat ya thor.... Aku udah kasih vote sm kopi biat rajin upnya 💪💪💪👌👌👌🤞🤞🤞

2022-11-30

3

Ary Widyani

Ary Widyani

adeeehhh....pindah lagi

2022-11-30

1

Kikan dwi

Kikan dwi

udah deh kak jgn pindah2 stay tune za disini.... penasaran sama ceritanya. kn c Azka sendiri yg nyesel udah d tanda tangan suratnya 😝

2022-11-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!