Habis, habislah tak tersisa. Kini kesabaran Asmara telah habis, kesabaran yang selama ini terpendam didalam dirinya.
Mendapat status janda bukanlah kemauannya, mungkin ini sudah takdir yang digariskan Tuhan padanya. Tapi, mendapatkan julukan janda g*tal dari tetangga sekitar komplek membuat ia tak tahan, tak tahan untuk melabrak para rombongan ibu-ibu yang acap kali membicarakannya saat memilah-milah berbagai macam sayur-mayur pada akang sayur langganannya.
"Bu surty, apa yang ibu bilang?? Coba ulangi?" Kedatangan asmara di sambut dengan wajah terkejut oleh para ibu-ibu yang tengah membicarakannya, tanpa tahu jika Asmara kini telah ada di belakang mereka.
"Ehh ... Neng Maa-ra," ucap Ucup si tukang sayur, dengan mata membola disertai jantung yang jedag-jedug.
Surty, seseorang yang dianggap sebagai biang kerok dan suka mengompori para ibu-ibu lainnya pun terperanjat kaget.
"Bu surty, bisa ulangi apa yang baru saja ibu bilang??" mata Asmara mulai menajam, di tatapnya lekat-lekat surty yang sudah gelagapan dengan mata yang memutar kesana kemari.
"Kenapa? Kenapa ibu tidak mau mengatakan secara langsung kepada saya? Bukankah lebih seru membicarakan seseorang tapi dihadapannya langsung, Bukan hanya berani berkata dibelakang!" Asmara masih menunggu Surty berbicara, namun ia hanya bungkam hingga membanting pelan sayuran yang tengah di pegangnya tadi ke gerobak sayur Ucup.
Surty pun pergi, ia terlihat ketakutan saat Asmara mulai emosi. Surty tidak menyangka jika Asmara yang terlihat kalem dan biasa saja itu berani menggertaknya di depan orang banyak.
"Lah buuu Surtaaaay, ini sayurannya kok di tinggal?? Uh ... P-H-P!!!" Ucup meneriaki bu Surty dengan logatnya yang khas ala-ala lelaki gemulai.
Melihat bu Surty pergi, Asmara pun mulai memperingatkan ibu-ibu yang lainnya. "Ibu-ibu, dan Mang Ucup harap tidak menanggapi dengan serius perkataan bu Surty. Saya harap, kalian bisa menilai sendiri apakah ucapan itu benar atau tidak. Dan berhenti membicarakan hal buruk tentang saya, saya diam bukan berarti saya takut. Saya bisa jamin dan membuktikan, jika saya tidak pernah menggoda suami bu Surty!!!" Dengan nada tegas, asmara memberikan penjelasan berharap tidak ada lagi kesalah pahaman.
"Tapi Mara, Bu Surty sendiri yang bilang kalau dia lihat kamu terus menggoda suaminya," ucap Bu Jamilah.
"Iya, bahkan kamu pun pernah diberi uang oleh pak Amir," sambung Sarah dengan bibir tebalnya yang mengerucut.
"Ibu hanya mendengar ucapan bu Surty? Apakah ibu pernah melihatnya langsung?" Asmara semakin kesal, ia masih tak menyangka jika bu Surty bisa memanipulasi sebuah informasi untuk menjatuhkannya.
"Ya, tidak ..." jawab mereka berdua serentak saling pandang.
"Teliti dulu kabar itu Bu, sebelum menuduh dan merugikan orang lain!" Asmara setengah menggertak bu Jamilah dan Sarah, hatinya begitu kesal akibat fitnah yang terus saja menimpanya.
"Maara??" suara khas seorang terdengar ditelinga Asmara, hingga ia pun menoleh kearah asal suara.
"Steve?" Asmara membulatkan matanya sempurna, melihat kedatangan Steven. Ia pun berjalan mendekat ke arah Steven, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Mara, apa kabar??" Tanya Steve menatap lekat kearahnya.
"Baik, sudah lama tidak bertemu," ucapan Asmara pun terhenti, ia merasa sedang di perhatikan oleh bu Jamilah dan Sarah karena berbincang dengan Steven.
Akhirnya Asmara pun memutuskan mengajak Steven masuk ke dalam rumahnya karena tak ingin terus membuat ibu-ibu itu memperhatikan Steve.
Hingga tiba di dalam rumah berlantai dua yang kini ia tempati bersama ibu dan adiknya, Asmara mempersilahkan Steve duduk di sofa ruang tamu.
Asmara menjamu Steve dengan secangkir teh hangat manis beserta satu toples cake cokelat hasil buatan tangannya sendiri.
Steven bercerita jika ia baru saja keluar dari tahanan, selama kurang lebih tiga tahun ia berada di dalam sel dengan sejumlah denda yang cukup besar, akhirnya ia keluar juga dari tempat mengerikan itu. Ia memutuskan untuk mencari Asmara dan keluarganya.
"Kamu pindah tapi tidak memberitahu aku, Mara?" Tanya Steven setelah menyeruput teh hangat buatan Mara.
"Maaf Steve, aku tidak ingin lagi merepotkanmu," ucap Asmara jujur.
Selama ini ia begitu membebani Steve setelah kejadian-kejadian yang menimpanya. Ia juga bertekad setelah semua masalah ini, ia ingin lebih mandiri.
"Apakah kamu tidak ingin kembali ke Amsterdam bersamaku??"
Niat Steven mencari Asmara adalah untuk membawanya kembali ke Amsterdam.
Asmara menggelengkan kepalanya, tanda menolak ajakan Steven. "Tidak ada yang bisa aku perbuat disana Steve. Aku sudah nyaman di Jakarta dengan usaha yang aku dirikan sendiri,"
"Mara ..." Steve membuang nafasnya pelan. "Mara, apakah keluarga Malik mengusikmu?" Steven merasa khawatir, pasalnya Asmara tinggal satu kota dengan keluarga Byan.
"Tentu aja tidak Steve. Meski kami berada dalam satu kota, tapi kami tidak pernah saling mengusik, ucap Asmara dengan tetesan air matanya ketika mengingat masa lalunya bersama Byan.
Setelah selesai mengurus semua urusan keluarga di Jogja, Mara dan keluarganya akhirnya memutuskan pindah ke Jakarta. Mereka juga baru beberapa bulan tinggal di kota ini.
"Dan Bintang, meski aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi aku tetap mendoakannya dari jauh," lanjut Mara mengingat tentang anak sambungnya yang begitu ia rindukan.
"Bintang pasti amat bersyukur memiliki ibu sepertimu. Meski kamu bukanlah ibu yang melahirkannya," Steven tersenyum kecil, ia begitu tersanjung dengan sifat Asmara yang penyayang dan keibuan.
Asmara ternyata memiliki hati yang baik, meski Steven tahu tak banyak hal yang bisa dilakukan olehnya. Apalagi mengenai urusan dapur, Mara tak bisa melakukan apapun meski hanya merebus Air.
"Bintang tidak akan pernah tahu jika memiliki ibu sepertiku, Papanya pasti tidak menginginkan itu," dengan usapan sedikit kasar, Asmara menyeka air mata dipipinya.
"Kenapa kita harus sedih begini, haruskah kita merayakan kepulanganmu, Steve? Sepertinya harus!" ucap Asmara dengan nada yang sudah kembali bersemangat.
"Mara, apa yang perlu dirayakan?" Tanya Steven penasaran.
"Aku akan memasak hari ini, aku akan membuat makanan yang lezat," ucapan Asamara di tanggapi Steven dengan tatapan aneh.
"Memangnya kamu bisa masak? Setahuku kamu bahkan tidak bisa menyalakan kompor!" ucap Steven dengan gurauannya mengejek Asmara. Tapi memang itulah kebenarannya.
"Hmmmm, kamu belum tahu! Ya, memang dulu aku tidak bisa apa-apa. Tapi sekarang, kamu akan dibuat ketagihan oleh masakanku!" Dengan bangga Asmara memamerkan keahliannya sekarang.
"Benarkah??" Steven merasa tak percaya dengan rasa Percaya diri Asmara yang begitu tinggi.
"Kita lihat saja nanti," Asmara pun bergegas menuju dapur cantiknya, ia mulai memilah-milah berbagai bahan yang akan di masaknya di dalam lemari es.
"Dimana bu Kamila dan Randy?" Tanya Steven mencari keberadaan ibu dan adiknya Asmara.
"Randy sedang study tour ke pulau seribu. Dan ibu ikut bersamanya," jawab Asmara.
"Oh begitu, pasti saat ini Randy sudah tumbuh besar. Apakah kalian cuma tinggal bertiga, Mara?" Tanya Steven lagi.
"Ya tentu, aku ingin membatasi diri dari orang-orang diluaran sana," dengan tangan yang sibuk mencuci sayuran, Asmara masih sempat menjawab pertanyaan Steven.
"Mara, rumahmu seluas ini? Bukankah kamu membutuhkan Asisten Rumah Tangga untuk sekedar beres-beres?" Steven memperhatikan sekitaran rumah baru Asmara.
"Aku dan ibu bisa mengatasinya, Randy juga bukan anak yang pemalas dan manja," Asmara menyunggingkan senyum manis kearah Steven.
Entah mengapa melihat Asmara tersenyum seperti itu membuat hati Steven bergemuruh. Antara senang, namun bisa dibilang sedih. Senang karena kini ia bisa melihat Asmara kembali tersenyum, sedih karena sampai saat ini Steven masih belum berani menunjukkan perasaan yang sebenarnya pada Asmara.
"Steve, jangan memandangku seperti itu. Kamu bisa stroke jika terus-menrrus tidak berkedip!" Asmara melempar sisa potongan sayuran kearah Steven, hingga membuat Steven terperanjat kaget. Untung saja hanya mengenai lengannya.
"Mara, kamu terlihat semakin cantik ..." ucal Steven lirih, namun Asmara masih dapat mendengarnya.
"Steve, apakah kamu baru menyadarinya? Kamu begitu jahat!" Asmara mendengus kesal dengan nada yang sedikit bergurau.
Steven hanya bisa tersenyum, ia tak menyangka jika bertemu Asmara akan menjadikan hatinya lebih sedikit tenang dari sebelumnya.
"Steve, kapan kamu akan kembali ke Amsterdam?" Tanya Asmara ingin tahu memulihkan fikiran Steven yang tengah melayang entah kemana.
"Jika aku beri tahu apa kamu akan ikut?" Steve malah balik bertanya.
"Steve, aku serius ..."
"Aku pun serius Mara ..."
"Ck! Kamu ini. Sejak kapan kamu jadi pria yang suka lelucon? Bukankah kamu tipe orang yang serius? Apakah Hantu-hantu di dalam penjara sudah merasukimu?" Banyak pertanyaan dibenak Asmara, ia sungguh tak menduga jika sikap Steven bisa berubah menjadi lebih ramah.
"Banyak pelajaran yang aku dapatkan disana, tempat itu sungguh menyiksaku. Terlebih lagi ..."
Asmara langsung mendekat kearah Steven, ia menempelkan jari telunjuknya di bibir Steven.
"STOP! Jangan mengingat lagi kenangan buruk disana, mulailah kubur dalam-dalam semua itu Steve. Berbahagialah, kamu berhak atas itu dan jangan pernah melakukan kesalahan yang sama lagi,"
Asmara tahu, mata Steven kini tengah berkaca-kaca mengingat masa lalunya. Bahkan ia juga dapat merasakan kesedihan yang mendalam seperti yang dirasakan Steven.
Namun, semua itu tak ada artinya. Menurutnya, jika terus-menerus mengingat masa lalu maka kita sama saja menyiksa diri sendiri.
Move on, bukan kata yang hanya untuk melupakan seseorang. Tapi, kata yang bisa mengantarkan kita untuk lebih bersemangat lagi mengerjakan hal-hal baru dengan baik.
Meski kata Move On tak semudah yang diucapkan, melakukannya perlu kesabaran dan tenaga ekstra. Mara mencoba dengan sekuat tenaga untuk memulainya.
To be continue ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments