“B-Bagaimana ini bisa terjadi…?!”
“Hm?”
“…”
Waktu gue lagi nanya-nanya orang yang namanya Meldek ini, kok gue bisa ngerasain ada yang mau dateng, ya?
Kayaknya yang mau dateng itu sekitar 4 atau 5 orang, deh…
“*Kriieek… (suara pintu terbuka)”
“Aaaggghhh… boneka kesayangan aku udah bangun!”
“Hei, Viya. Jangan macem-macem sama orang itu, dia aset penting untuk bisnis kita!”
“Diam, Bronto! Jangan kamu atur-atur aku!”
“Bronto benar, Viya. Nanti Kakak Tertua bisa marah jika harga Pangeran itu turun karena anda.”
“Haah?! Kamu kok ikut-ikutan dia sih, Axelo?!”
“Hyahahaha! Kamu itu terlalu sadis, Viya! Walaupun begitu, aku tetap senang dengan kesadisanmu! Hyahahaha!”
“Aku nggak tau kamu puji aku atau hina aku, Quitos!”
“…”
“Ngomong kek, Vast!”
Bener, kan? Yang dateng ada 5 orang.
Ada cewek yang daritadi dipanggil Viya itu. Bajunya yang minim yang bikin dia keliatan seksi. Walaupun gitu, dia keliatannya sinting. Makanya gue nggak ada napsu-napsunya sama sekali.
Abis itu, orang yang tadi disebut Bronto tadi badannya lebar banget. Dia juga punya pedang gede di punggungnya.
Terus, yang namanya Axelo tadi tangannya buntung. Anehnya, tangan buntungnya diganti pake kapak.
Ada juga yang ketawanya aneh tadi dipanggil Quitos. Dia keliatannya kayak nenek sihir gitu.
Terakhir, yang diem aja itu namanya Vast. Dari posturnya sih cewek, tapi gue gak bisa liat mukanya yang ketutupan tudung dari jubahnya.
Keliatannya mereka orang-orang yang nyulik “gue”, walaupun gue yakin mereka masih punya bos yang tadi disebut Kakak Tertua.
Entah kenapa, gue tau kalo mereka itu bahaya.
Tapi, kalo pun bahaya, kok gue gak ngerasa takut ya sama sekali?
Bukan takut sama sekali, tapi benci ngeliat mereka!
“*Dhum! (suara tekanan aura)”
“Hikkh!”
“Oi, oi, oi… kalian nggak ada yang ngerasa merinding?!”
“Si-Siapa yang bisa ngeluarin aura se-ngeri itu?!”
Hah? Kok pada takut gitu?
Padahal gue cuma ngeliatin mereka doang, kan?
“Yang itu udah mati, yang pasti nggak mungkin orang itu karena keliatannya takut begitu! Artinya…”
“Se-Serius dia nggak punya Mana sama sekali?! Kok tatapannya bikin merinding ya?”
“H-Harusnya sih kita ngerasa beruntung karena dia belom mati! Tapi kok… jadi ngeri sendiri, ya?!
Hah? Mereka ngomongin apaan sih?
“Woy, Anak Ha—”
“*Tap… (suara menggenggam)”
Cewek Bertudung itu kenapa tahan Si Gendut?
“Vast! Apa maksud lo?! Kenapa lo tahan gu—”
“Makasih, Vast! Jadinya aku ada waktu main deh sama dia!”
“Woi, Vast! Lo bikin masalah jadi lebih panjang! Harusnya lo tahan Viya, bukan—”
“Hyahahaha! Biarkan saja dia, Bronto! Paling tidak, hanya psikisnya saja yang rusak!”
Kira-kira gitu obrolan mereka semua yang gue denger.
“Ja-Jangan macam-macam dengan Tuan
Muda—”
“*Dhuk! (suara tendangan)”
“Urrgh…”
“Diam! Dasar budak!”
Buset! Enak banget tuh Si Tangan Kapak nendang orang yang namanya Meldek itu!
“Haangghh...”
Si Cewek Aneh yang namanya Viya kenapa mendesah gitu?
Terus dia mau ngapain masuk ke dalem penjara gue?
“Muuu…”
“…”
“Jangan malu-malu dong, sayang! Cium aja aku!”
“*Hachih! (suara bersin)”
Sumpah, cewek ini bau banget!
Udah gila, bau lagi!
“Ahahaha! Aku berlendir! Tapi aku mau lendir dari—”
“Sorry kalo gue ngomong begini, tapi lo tuh bau sampah! Hiddung gue sensitif! Makanya gue bersin nyium bau sampah kayak lo!”
““!!!””
Loh! Kenapa semuanya pada kaget?! Emangnya nggak ada yang nyium bau sampah kayak dia?!
“G-Gak ada satu pun cowok yang berani ngomong kayak gitu ke Viya!”
“Hyahahaha! Orang ini seru juga ya ternyata!”
Hah? Mereka ngomong apa? Nggak ada yang berani sama cewek ini?
“Hah? Apa kamu bilang?”
“Gue bilang lo bau sampah! Urus diri yang bener dong, jablay sinting!”
“Urgh! Dasar kurang a—”
“Cu-Cukup, Viya!”
“Kalo dia kenapa-kenapa, nanti Kakak Tertua jadi marah!”
“Minggir kalian! Aku harus hukum orang ini biar dia tau siapa aku!”
“Vast, cepet bawa Viya keluar dari tempat ini! Kalo begini terus, kita bisa kena juga sama Kakak Tertua!”
“Apa-apaan kamu, Bronto?! Kakak pasti maafin aku kalo orang ini cuma ‘lecet’ sedi—”
“…”
“Vast! Lepasin! Jangan tarik aku keluar! Kamu nanti…”
Cabut juga tuh dua orang dari sini.
Hiiiihhh, merinding gue ketemu jablay sinting kayak gitu!
“Nggak disangka, kasar juga ya omongan lo untuk orang yang lahir jadi Anggota Kerajaan!”
“Hyahaha! Bahkan dia berani menantang Viya! Pertunjukkan kali ini sepertinya seru sekali! Hyahaha!
“Tambah lagi, aura yang seram tadi. Apakah… ia benar-benar Anak Haram yang rumornya tidak punya Mana sama sekali?”
Hah?! Anak Haram?! Maksudnya apaan?!
“Hey, Anak Haram!”
“…”
“Kita bisa janji gak akan jual lo, kalo lo jelasin dimana harta yang keluarga lo dapetin dari kakek lo!”
Haaahh?! Kekayaan dari kakek gue?!
Gue bingung Si Gendut ngomong apaan, tapi kayaknya gue cuma bisa kasih satu jawaban, deh.
“Ah, sorry. Gue lupa ingetan.”
“Ha?”
“Ha?”
“Ha?”
Kenapa mereka tatap-tatapan gitu?
““Hahahaha!””
“Hyahahaha!”
“…”
“Serius, itu alesan lo gak mau kasih tau?!”
Ah… Kayaknya nggak mempan ngomong kayak gitu.
Gue kira alesan itu nggak mempan ke Meldek aja, nggak taunya ke mereka juga.
Tapi gue bisa apa juga, selain ngomong kayak gitu?
“Gue serius!”
““Hahaha…””
Cih! Ngeliat mereka ketawa, gue jadi makin kesel, bawaannya!”
“Woy, Tangan Kapak!”
“Haahh?! Anda bilang a—”
“Coba jelasin! Gue siapa, lo siapa, gimana ceritanya gue bisa ketangkep, sama cara keluar dari sini!”
“Hey, hey, hey! Bisakah anda bertanya satu persa—”
“*Dhum! (suara tekanan aura)”
“CEPET, ANJING!!!”
“*Bruk! (suara terjatuh)”
“…”
Kenapa dia tiba-tiba jatoh?
Tambah lagi, kok mukanya ketakutan gitu?
“Ba-Baik lah, lebih baik saya yang jelaskan.”
“…”
“Nama anda itu Djinnardio Vamulran. Anda adalah Anak Haram dari persilangan Putri High Elf, Luscika Vamulran, dan anak dari selir kaum bangsawan, Brent Fricks!”
Haah?! Apaan itu?!
Jadi, artinya gue masuk di dunia ini bukan sebagai Dwi Lukman lagi?! Jadi sekarang gue udah punya nama baru sebagai Djinn… apa tadi namanya? Kedengeran aneh…
Abis itu dia bilang siapa nama ibu gue?
Terus dia itu putri apa? High Elf? Itu nama apaan?
Tambah lagi, katanya bapak gue itu anak dari mana? Selir kaum bangsawan?
“Woy, Axelo! Kok lo ngikutin aja kemauan dia?!”
“Ah… iya, ya… saya terpancing dengan aura miliknya yang menakutkan…”
Mereka daritadi ngomongin apaan, sih? Aura ini, aura itu…
Emangnya gue ngomong se-nakutin itu, ya?
“Hyahaha! Mari kita uji kebenarannya saja! Hyahaha!”
“…”
Dia keliatannya mau ngetes gue itu boong apa nggak.
Tapi yang gue bingung, bukannya ke gue, dia malah ke penjaranya Meldek? Maksudnya mau ngapain?
“Dari yang kami dengar, katanya anda itu orang yang bahkan baik kepada bawahannya, kan? Lantas bagaimana jika saya melakukan hal seperti ini?!”
“…”
“Argh!”
Loh! Kok Meldek dijambak gitu?!
((Bloody Juice))
“*Jlub… (suara tertusuk)”
HAH?!
Kok tau-tau ada selang keluar dari lengannya?!
Terus lengannya itu nusuk ke nadinya Meldek?!
“Hooo… gue kira lo mau macem-macem sama Anak Haram ini, Quitos!”
“Pastinya tidak, Bronto! Kalau dia kan masih ada harga, tapi kan orang ini cuma budak!”
Ohh, gitu maksud mainnya, ya?
Yaudah, sana. Lagian tuh orang juga bukan siapa-siapa gue juga.
“Hyahahaha! Ayo “Pangeran’” yang terkucilkan! Kalau benar anda lupa ingatan, harusnya anda tidak perlu khawatir kan jika orang ini saya serap darahnya?!”
“Hah?! Gimana caranya?! Emang bisa?!”
“Hyahahaha! Memang susah ya berbicara dengan orang yang tidak punya Jiwa sejak lahir!”
Hah?! Gak punya Jiwa?!
“Tenang saja! Aku tidak akan langsung habiskan darahnya! Akan menghabiskan darahnya secara perlahan, sehingga sakit yang ia rasakan juga perlahan! Hyahahaha!”
“…”
Eh! Beneran dong dia ngisep darahnya Meldek! Ini kayak orang transfusi darah, tapi nggak pake kantong darah!
“…”
Gue cuma diem doang selama Meldek diisep darahnya.
“Hmm… kayaknya ini orang bener-bener lupa ingetan.”
“Ya. Tidak ada reaksi darinya walaupun budaknya tersebut semakin pucat.”
“Hyahahaha! Mungkin ia tidak mengenali budak tidak berharga ini! Kalau begitu, boleh aku habiskan ya budak ini?!”
“Ya. Dia tidak ada harganya pula…”
Gue makin lama bisa liat Meldek semakin pucet karena kekurangan darah.
Karena gue nggak kenal dia siapa, jadinya…dia mati pun juga nggak begitu ngaruh ke gue—
“Tu-Tuan… Muda…”
Hah?
Kok tiba-tiba… gue keinget Kak Eka sebelum dia meninggal karena kecelakaan, ya?
“Lu… Lukman…”
Brengsek! Ngeliat muka Meldek yang kayak gitu bikin gue keinget Kak Eka!
“*Krrr…(suara tali merenggang)”
“Hmm?”
“Itu suara apaan?”
““…””
“*Krraak! (suara tali putus)”
“Hah?!”
“Kok talinya bisa putus?! Itu tebel, loh!”
“Ah, tali ini? Talinya cuma berasa kayak kertas aja buat gue.”
Asli, nggak bohong.
Gue awalnya ngira tali ini keras banget. Tapi waktu gue coba tarik tangan gue, ternyata gampang banget putusin talinya.
“Kalo kayak gini ceritanya…”
“Mau tidak mau kita harus menghajar dia!”
“Tapi jangan dibunuh, Axelo! Nanti Kakak Tertua bisa marah!”
“Hyahahaha! Ia telah menunjukkan taringnya!”
Sekarang gue harus lawan 3 orang ini sebelum Meldek mati!
Tapi, untuk lawan 3 orang doang mah, gue masih sanggup!
Kenapa gue bisa se-pede itu? Karena gue jago Pencak Silat!
“Hey, posisi itu…”
“Itu posisi Bela Diri?”
“Akan tetapi, posisi bela diri itu sepertinya berbeda dari yang ada di dunia ini…”
Beda dari yang ada di dunia ini? Emangnya di dunia ini nggak ada Pencak Silat? Atau mungkin mereka nggak tau Pencak Silat?
“Axelo?”
“Biar saya saja yang uji dia, Bronto!”
Ok, si Tangan Kapak Axelo mau coba maju pake tangan kapaknya.
“Humph!”
Waw! Dia lompat sejauh itu ke gue!
Walaupun gitu, waktu dia udah mau nyerang gue, kok gue ngerasa pelan banget ya gerakannya dia?
Kayak slow-motion.
“…”
Waktu dia mau hajar gue pake tangan kapaknya, gue tahan lengannya pake tangan kanan gue, abis itu gue hajar perutnya pake sikut kiri gue.
“*BHUK! (suara sikutan keras)”
“*Craatt! (suara muncratan darah)”
““!!!””
HAH?!
KOK PERUTNYA BOLONG?!
SERIUS INI PUKULAN DARI SIKUT
GUE?!
““HAAAHHH?!””
“Brengsek!”
Selanjutnya Si Gendut Bronto yang mau serang gue dari belakang pake pedangnya yang gede itu.
Sama kayak waktu gue lawan Axelo, gerakannya Bronto lambat banget, sampe gue bisa ngehindarin serangan dia yang cepet.
Abis berhasil ngehindarin serangannya, gue pegang kepalanya, terus gue banting ke tanah.
“*BRUK! (suara bantingan keras)”
“*Craatt! (suara muncratan darah)”
“HAAAAHHH?!”
Jangankan si nenek-nenek itu yang kaget, gue aja kaget!
Waktu gue banting dia ke tanah, kepalanya langsung gepeng, dong! Bahkan tanahnya langsung ancur karena ngebanting dia!
“Aku berubah pikiran! Lebih baik aku akan membunuhmu terlebih dahulu!”
“*Jlub…(suara tertancap)”
Eh, dia juga mau ngisep darah gue?!
“Hyahahaha! Sekuat apapun dirimu, kamu tidak akan bisa melepas sihir ini, bedebah!”
Eh! Gimana ini cara ngelepasnya?!”
“Hyahaha… ha…”
“Hm?”
“Ha…”
Itu nenek-nenek kenapa?
“Uhok! Hueekk!”
Hah?! Kok dia muntah-muntah?!
“Da-Darahmu… beracun!”
“Hah?! Beracun?!”
“Agh! Tubuhku seperti terbakar!”
“…”
“Ti-Tidak! Aku tidak mau mati!”
“Lo nggak mau mati tapi lo mau bunuh orang?!”
“Aku… harus melakukan itu!”
“Ya kalo gitu gue juga harus ngelakuin gitu karena muka lo yang jelek! Dasar bau tanah!”
“To-Tolong aku, Anak Haram!”
“Minta tolong tapi masih manggil gue kayak gitu?!”
“Ah… ah… a…”
“…”
Haaah…
Ternyata dia udah mati.
Tunggu, tapi ada satu hal yang bikin gue sadar…
“…”
Kenapa gue… tenang banget, walaupun berlumuran darah kayak gini…?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 516 Episodes
Comments
PHSNR👾
ini kan ceritanya jaman dulu kan yaa, tapi kok bahasanya pakai lo gue, gak cocok laah
2025-02-12
0
Kampung Pekerja
gue lo gk tuh hmm 🤔
2023-04-07
1