Perjalanan mengendari hewan tunggangan Leo rupanya cukup nyaman dan tangkas. Hewan itu bisa berlari hingga dua kali lebih cepat dari laju mobil balap. Ditambah keadaan jalanan yang lengang, membuat perjalanan mereka lancar tanpa hambatan.
Akan tetapi, keadaan itu pun tidak berlangsung selamanya. Setelah hampir satu jam melesat bersama hewan-hewan tunggangan tersebut, perjalanan Laudi dikejutkan oleh munculnya sebuah monster raksasa setinggi hampir dua puluh meter. Monster itu berkulit seputih salju dengan tubuh menyerupai manusia raksasa yang tidak memiliki lengan atau kaki sama sekali. Wajahnya serupa seorang wanita yang sedang menutup mata. Tidak ada rambut di kepalanya, hanya warna putih seperti kertas tanpa noda.
Ketiga hewan tunggangan tersebut pun berhenti. Laudi segera menoleh ke arah Bu Dista dan dua orang lainnya yang tampaknya hendak berteriak. "Diam. Jangan teriak," perintah Laudi tegas.
Ketiga orang itu pun langsung menutup mulut mereka sembari menatap terbelalak ke arah sang monster. "Corux ini udah mulai berevolusi. Wujudnya hampir jadi. Apa perlu kita bunuh sekarang? Kalau tubuhnya udah sempurna, bakalan lebih susah ditangani," gumam Leo sembari menengadah mengamati sang Corux putih yang berdiri menjulang di antara bangunan-bangunan rumah penduduk.
Tak jauh dari sana, sebuah kebun binatang terbesar di Bali berdiri. Kalau Corux itu muncul di sini, bisa jadi kebun binatang itu adalah tempat inkubasinya. Corux biasanya membutuhkan sebuah tempat yang luas dan besar untuk melakukan inkubasi dari makhluk-makhluk hidup yang tinggal di planet inangnya.
"Kita nggak mungkin kalahin Corux itu berdua, Leo. Kekuatanku juga belum pulih sempurna," sahut Laudi turut menengadah mengamati Corux yang tertidur. Evolusi Corux ini setingkat lebih tinggi dari yang ada di hotelnya. Ini akan sulit ditangani.
"Kamu bener. Staminamu juga udah habis karena pertarungan sebelumnya," sahut Leo. "Jadi gimana? Kita lanjut aja?" lanjutnya bertanya.
Laudi menggeleng pelan. "Masih ada cara buat menghentikan proses evolusi Corux ini. kita bisa hancurin inang inkubatornya," usul Laudi sembari menunjuk ke arah pintu masuk kebun binatang.
Leo menyeringai ke arah Laudi. "Let's get the party," ujarnya bersemangat.
Akhirnya mereka pun melanjutkan perjalanan itu memasuki kawasan kebun binatang. Tidak ada siapa pun di tempat itu. Pepohonan rimbun menyambut mereka dalam kesunyian. Tidak ada suara burung berkicau atau pun desau angin sama sekali. Keadaan tersebut sungguh ganjil karena biasanya kebun binatang itu dipenuhi suara-suara hewan yang saling bersahutan. Para petugas kebun binatang juga tidak terlihat di mana-mana.
"La, Laudi ... apa kita tetep perlu ikut ke sini. Nggak bisa apa cari tempat yang aman dulu," keluh Vanya yang duduk berdempet-dempetan dengan Mega dan Bu Dista.
Laudi menghela napas panjang. "Kalau takut, kalian tunggu di sini aja. Itu masuk di pos penjaga juga bisa. Sembunyi dulu aja di situ sampai kami jemput lagi," ujar gadis itu sembari menunjuk ke pos penjaga yang biasanya digunakan sebagai tempat penjualan tiket.
Bu Dista, Mega dan Vanya tampak saling berpandangan dengan ragu. Mereka lantas kembali bertanya pada Laudi. "Tapi, kalian bakal balik ke sini lagi, kan. Nggak akan ninggalin kita?" rintih Mega masih ketakutan.
"Tenang aja. Lola bakal nemenin kalian. Kalau ada apa-apa, langsung naik ke atas punggungnya. Nanti Lola pasti bisa nemuin aku," timpal Leo meyakinkan.
Akhirnya ketiga orang itu pun setuju untuk menunggu di pos penjanga tersebut bersama Lola. Laudi dan Leo pun lantas meninggalkan mereka dan masuk lebih dalam ke tengah-tengah hutan buatan di kebun binatang tersebut.
Semakin ke dalam, pemandangan hutan itu tampak semakin mengerikan. Kandang-kandang hewan sudah terbuka. Dan di dalamnya, organisme serupa daging mentah mulai menjangkiti tempat tersebut. organisme itu merekat pada dinding dan pagar kandang, hinga menempel pada pohon-pohon yang tumbuh berdekatan. Kondisi tersebut memaksa Laudi dan Leo untuk melambatkan langkah hewan tunggangan mereka.
"Ini tempat inkubasinya. Apa kamu mau bakar seluruh hutan ini?" tanya Leo sembari mengamati jaringan-jaringan organisme yang berbau busuk itu.
"Kita lihat dulu berkeliling, separah apa infeksi Corux itu menjangkiti hutan," jawab Laudi tenang.
"Kebun binatang ini luas banget, lho. Kamu yakin mau keliling sampai kelar? Bisa-bisa semaleman baru selesai. Belum kaau ada molden-moldennya," kata Leo menasehati.
"Sebentar aja. Hewan-hewan koleksi kebun binatang ini juga semuanya hilang. Aku jadi curiga." Laudi berceletuk.
Leo menarik napas panjang lantas mengikuti Laudi berjalan semakin jauh ke dalam. Tidak banyak yang mereka temukan di sana selain jaringan organisme yang semakin parah serta kandang-kandang kosong tanpa penghuni. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah rumah kaca berkubah melengkung yang cukup besar. Tempat itu merupakan area yang digunakan sebagai tempat budidaya buah-buahan organik. Di bagian bawah sisi luar rumah kaca itu sudah direkati jaringan organisme menjijikkan. Akan tetapi Laudi memperhatikan kalau bagian dalam rumah kaca itu masih terlihat bersih tanpa infeksi Corux.
"Leo. Lihat rumah kaca itu. Tempat itu masih steril," ucap Laudi sembari menunjuk ke arah berdirinya rumah kaca seluas seratus meter persegi itu.
Leo mengamati tempat itu dan ikut menyadari keajaiban tersebut. "Kayaknya karena semua bangunannya tertutup kaca. Nggak ada celah buat Corux untuk menginfeksi bagian dalamnya," terang Leo mencoba menalar kondisi tersebut.
"Ayo, coba kita masuk," ajak Laudi sembari turun dari hewan tunggangannya dan berjalan ke arah pintu masuk rumah kaca. Leo ikut turun dari punggung Abbas, singa emas raksasa tunggangannya. Pemuda itu lantas kembali membuka portal dimensinya, lalu memasukkan kembali dua hewan itu ke dimensi spiritnya.
Laudi sudah berada dekat dengan bangunan rumah kaca. Seluruh dinding dan pintu masuknya sudah tertutup jaringan organisme. Laudi mengambil sebuah senjata penyembur api dari dalam portal dimensinya. Senjata itu memiliki sebuah tabung gas berukuran sedang yang bisa ditenteng-tenteng.
Setelah turun dari Roan, serigala tunggangannya, Laudi pun mulai membakar selaput-selaput jaringan organisme menjijikkan itu dari pintu rumah kaca. Dengan cepat api menyebar dan menghanguskan sebagian besar selaput jaringan yang menempel di dinding luar rumah kaca. Betapa terkejutnya Laudi ketika menyaksikan bahwa rumah kaca itu ternyata dipenuhi orang-orang yang selamat dari wabah infeksi Corux.
Sontak Laudi langsung mendekat ke arah rumah kaca. Leo pun sama terkejutnya dengan gadis itu. Mereka berdua tertegun dengan banyaknya orang yang selamat. Setidaknya ada sekitar lima belas orang yang ada di dalam sana. Mereka tampak letih dan kusut. Meski begitu mereka baik-baik saja. Kebun buah-buahan di dalam rumah kaca pasti telah banyak membantu mereka untuk bertahan hidup.
Kemunculan Laudi dan Leo juga memancing perhatian orang-orang yang selamat itu. mereka langsung berkerumun di dekat pintu kaca dan mencoba berkomunikasi dengan Laudi.
"Kalian juga selamat? Nggak kena lengket-lengket itu?" tanya seorang pria paruh baya yang berseragam safari cokelat muda. Dia sepertinya bertindak sebagai pimpinan dari kelompok kecil tersebut. Pria itu kemudian membuka pintu kaca tanpa ragu-ragu.
"Kami nggak terinfeksi. Kalian semua juga selamat? Udah berapa hari kalian terkurung di sini?" tanya Laudi sembari masih menenteng alat penyembur api dan tabung gas hijau tua di tangannya.
"Ini udah hari kelima kami ada di sini. Kami bertahan pakai buah-buahan yang tumbuh sama air dari keran yang untungnya masih nyala," jawab pria itu kemudian.
Laudi mengamati kondisi di dalam rumah kaca itu memang tampak tidak terlalu buruk. Ada sebuah toilet portable juga diujung ruangan. Di sudut lainnya, sebuah terpal biru dibentangkan di atas lahan kosong yang belum ditanami. Laudi menduga terpal itu digunakan sebagai alas tidur.
"Ternyata udah lima hari sejak aku nggak sadarkan diri," gumam Laudi kemudian.
"Kalian dari mana? Kok bisa kalian selamat? Selama lima hari ini beberapa orang nyoba keluar dari rumah kaca. Tapi mereka nggak balik lagi. Apa keadaan di luar baik-baik aja?" tanya seorang wanita muda berambut coklat muda.
Laudi tak lantas menjawab. Kalau orang biasa keluar dari rumah kaca itu, dan tertangkap oleh jaringan organisme Corux, maka mereka pasti tidak akan bisa melepaskan diri. Belum lagi para Molden yang mungkin berkeliaran. Ngomong-ngomong sedari tadi Laudi tidak bertemu dengan sosok Molden, monster yang biasa menjadi penjaga inang Corux yang sedang diinkubasi.
"Di luar lumayan parah. Tapi kalau mau, kami bisa bantu kalian keluar dari sini." Leo menawarkan diri.
"Kamu yakin kita bisa keluar dari sini. Hewan-hewan buas itu berkeliaran terus di sekitar sini." Sang pria berseragam safari tampak sangsi.
"Hewan buas? Kalau cuma hewan kebun binatang itu bukan masalah besar," tandas Leo sambil lalu.
"Masalahnya ... mereka kayak kerasukan apa gitu. Terus jadi lebih ganas, ngeri banget," sahut sang pria berseragam sembari bergidik.
"Kerasukan? Maksudnya?" tanya Leo penasaran.
"Leo, bentar. Kalau dipikir-pikir, dari tadi kita nggak ketemu sama Molden penjaga di mana-mana. Nggak mungkin tempat inkubasi seluas ini nggak dijaga sama Molden," ujar Laudi berubah waspada.
Leo tampaknya merasakan keganjilan yang sama. Kedua orang itu lantas kembali menajamkan insting dan intuisi mereka untuk membaca situasi.
"Sebaiknya kalian tetap di dalam. Tutup pintu rumah kaca ini sampai kita jemput lagi," kata Laudi sembari memasukkan alat penyembur api ke dalam portal dimensinya. Sebagai gantinya, ia memanggil sebuah pistol otomatis besar berwarna hitam.
Semua orang yang ada di dalam rumah kaca sontak tercengang melihat apa yang dilakukan oleh Laudi itu. Leo sendiri tak kalah gesit. Setelah membantu mengunci pintu kaca, ia pun membuka portal dimensi. Kali ini, hewan yang dia keluarkan adalah seekor ular kobra raksasa yang melata perlahan keluar dari dalam portal. Ukuran kobra itu sangat amat besar. Diameter perutnya saja mencapai satu meter, sementara panjang tubuhnya yang melata mungkin sekitar tiga puluh meter.
"Udah lama nggak ketemu, Basil," ucap Leo sembari mengusap kepala Basil yang dua kali lebih besar dari tubuh Leo sendiri.
Semua orang jelas tercengang melihat makhluk yang dipanggil Leo. Namun Laudi sudah pernah beberapa kali bertemu dengan basil. Ular itu jauh lebih galak dari ibu tiri. Sangat cocok digunakan untuk berburu.
"Menurutmu bentuk Molden di sini kayak gimana? Entah kenapa feelingku agak nggak enak soal hewan kerasukan itu," kata Leo sembari memperhatikan hutan lebat di sisi rumah kaca.
"Yah, selama ini feelingmu emang nggak pernah salah, kan," sahut Laudi mengangkat bahu.
Tepat setelah Laudi menanggapi kalimat Leo tersebut, dari balik gelapnya hutan, tiba-tiba mulai bermunculan hewan-hewan penghuni kebun binatang yang menggeram penuh ancaman. Laudi segera mengangkat pistolnya, dan Basil pun mendesis marah ke arah hewan-hewan itu. Meski begitu, mereka berdua masih menahan serangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments