Proyeksi

Laudi terus menangis sampai kelelahan. Ia terduduk meringkuk di balik satu-satunya pintu di ruangan tersebut. Rasa lapar dan haus mulai menyerang gadis itu. Laudi mencoba bangkit lagi dan hendak mencari jalan keluar lain. Namun saat ia bangun berdiri, sekonyong-konyong di hadapannya muncul sebuah batu pipih yang terlihat sangat mencolok meski berwarna hitam.

Batu itu tergeletak begitu saja tak jauh dari tempatnya berdiri. Laudi yakin kalau tadi batu itu tidak ada di sana. Batu itu mungkin hanya sebesar genggaman tangan Laudi. Tidak ada yang aneh dari batu itu selain fakta bahwa ada sesuatu yang mencolok dari benda tersebut. Batu pipih itu seperti berpendar keperakan. Cahayanya sangat redup dan halus, hingga sulit ditangkap oleh mata biasa. Namun entah mengapa Laudi bisa terpancing begitu saja untuk menyadarinya.

Selama beberapa detik, Laudi hanya berdiri mematung menatap batu pipih aneh di depannya. Ada dorongan yang begitu kuat untuk mengambil batu tersebut, seolah dengan cara itu, Laudi mungkin bisa bebas dari malapetaka ini. Sungguh pemikiran yang aneh. Akal sehat Laudi tentu saja menolak mengikuti insting itu. Ia berusaha mengabaikan batu itu lantas kembali berkeliling ruangan untuk mencari jalan keluar. Rasa lapar sudah menggerogotinya.

Beberapa menit lagi berlalu. Tidak ada tanda-tanda pintu keluar lain di sana. Jendela pun tidak ada. Hanya kisi-kisi sempit yang tidak mungkin dilalui oleh tubuh manusia dewasa. Ruangan itu juga sepenuhnya kosong. Laudi bahkan sudah mencoba mendobrak pintu, tetapi tetap tidak berhasil. Pintu itu sekeras tembok beton yang dibangun dengan kokoh.

Sekali lagi Laudi menghela napas putus asa. Ia sudah tidak menangis. Akan tetapi rasa panik masih menyerangnya, membuat kedua tangan gadis itu gemetaran. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Pandangannya kembali tertuju pada batu pipih yang berpendar keperakan. Kenapa batu itu lagi-lagi menarik perhatiannya? Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, akhirnya Laudi memutuskan untuk mendekati batu tersebut sambil menghela napas.

“Yah, nggak ada salahnya juga. Cuma ambil batu ini,” gumamnya pada diri sendiri. Tindakannya mungkin terasa tidak rasional. Namun, ia toh juga tidak punya cara lain untuk keluar dari tempat tersebut. Maka, dengan hati-hati, Laudi pun meraih batu pipih itu dalam genggamannya.

Begitu kulit Laudi menyentuh batu itu, tiba-tiba kesadarannya berubah. Laudi tidak lagi berada di dalam ruangan asing yang kosong dan gelap lagi. Alih-alih, gadis itu kini berada di sebuah tempat yang jauh lebih luas, tak bersekat dan serba hitam. Meski begitu, cahaya-cahaya kecil keperakan tampak memenuhi latar hitam tersebut, layaknya bintang-bintang yang jumlahnya jutaan.

Laudi tidak yakin dirinya berada di mana. Namun, ia merasa begitu akrab dengan tempat itu. Tubuhnya kini terasa sangat ringan, dan ia pun menyadari bahwa dirinya tengah melayang-layang di semesta tersebut. Tepat setelahnya, ia mendapat pemahaman bahwa dirinya bukan lagi berada di raga perempuan bernama Laudi. Dia bukanlah Laudi. Itu adalah kesadarannya jauh sebelum dirinya menjadi manusia. Dia adalah bagian dari jagat bintang-bintang ini!

Pemahaman itu lantas membawanya melompat pada kesadaran lainnya. Segalanya bergerak sangat cepat, berpusar di hadapannya seolah menyedot tubuhnya lantas memecahnya menjadi banyak bagian. Ia kini berada di suatu tempat yang penuh cahaya. Titik-titik cahaya bergerak di sekitarnya, begitu dekat, begitu akrab. Dirinya sendiri adalah salah satu cahaya itu.

Tidak ada yang membuatnya tertekan lagi di sana. Semua terasa damai, indah dan menyenangkan. Ia menyadari bahwa tubuh cahayanya itu adalah pecahan dari kesadarannya yang sebelumnya di jagat semesta. Ia sudah memecah menjadi banyak makhluk cahaya yang bergerak bersama dalam satu kesatuan. Segalanya di tempat itu berdenyut dengan irama yang sama. Ia adalah makhluk cahaya.

Detik berikutnya, kesadarannya kembali berpindah. Kini Laudi berada di tempat yang lebih berwarna. Ia berada di sebuah hutan yang sangat aneh. Dedaunan dan bunga-bunga raksasa berbentuk unik melingkupinya. Semuanya berwarna mencolok. Merah, hijau, kuning dan sebagainya. Semua warna itu begitu terang seperti lampu neon yang menyilaukan mata. Ia menyadari tubuhnya masih mengambang di udara, tetapi sekarang sudah terasa memiliki massa. Tidak seringan sebelumnya.

Laudi melihat seluruh tubuhnya ternyata merupakan gabungan jutaan renik kecil-kecil yang menyatu membentuk sosok perempuan berkulit biru. Ia bisa melonggarkan rekatan tubuhnya dan membaur dengan alam sekitar. Berbelit dengan bunga-bunga atau dedaunan, lantas kembali menyatu menjadi sosok perempuan berkulit biru lagi. Setelah mengetahui bagaimana cara tubuhnya bekerja, kesadara Laudi kembali terlempar ke tempat lain.

Ia kini berada di tempat yang lebih padat. Tubuhnya terasa lebih berat dan arus gravitasi mulai mengikatnya. Ia berdiri di sebuah bangunan heksagon yang bergerak memutar dengan perlahan. Sejauh mata memandang, sebuah kota modern nan canggih memenuhi daratan itu.  Ada bangunan-bangunan heksagon setinggi langit yang berpilin pelan. Bangunan-bangunan itu berwarna hitam dan entah bagaimana ia tahu bahwa seluruh arstektur di sana terbuat dari batu onyx. Di langit ia melihat kendaraan-kendaraan terbang yang berseliweran menurut rute masing-masing.

Kali ini Laudi mengetahui identitasnya. Sebalok pemahaman itu muncul begitu saja di benak gadis itu. Namanya Qhael. Ia adalah seorang peneliti dari Ras Maldekian. Ia yakin tengah memiliki misi, tetapi entah kenapa ingatan tentang hal itu terasa begitu samar. Ia tidak bisa mengingatnya.

Saat tengah berusaha keras, tiba-tiba dibelakang punggungnya sesorang berjubah hitam dengan wajah tirus dan bola mata yang berbeda warna muncul. Ia berbicara dengan bahasa asing yang entah bagaimana bisa dimengerti oleh Laudi.

“Kita hanya harus bertahan sebentar lagi, Qhael,” ucap sosok itu sembari menatap langit yang kini berubah merah, sewarna darah.

Mendadak rasa pedih mendera Laudi. Hatinya sesak dan pilu setelah mendengar kalimat tersebut. Entah bagaimana Laudi sadar bahwa peradabannya kini berada di ujung tanduk. Sebentar lagi, mereka akan musnah. Langit yang sewarna darah itu menunjukkan segalanya. Semua orang akan mati, termasuk dirinya. Perang besar tidak terhindarkan.

“Semoga kita bisa bertemu lagi, Igved.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Laudi. Ia berbicara bahasa asing yang terasa begitu akrab baginya.

Tak lama setelah berkata demikian, kesadaran Laudi kembali terlempar. Semuanya berpusar dengan cepat dan tubuh Laudi kembali tersedot dalam aliran ruang dan waktu. Beban tubuhnya semakin berat, dan dia kini kembali didera rasa lapar serta haus yang amat sangat.

Laudi sudah berada di ruangan kosong yang gelap lagi. Perutnya mual setelah melalui perjalanan galaktik yang begitu intens. Tanpa bisa dicegah, Laudi berlutut di atas lantai dan mulai muntah-muntah. Namun yang keluar dari mulutnya hanyalah cairan pahit yang kekuningan. Asam lambung. Sebenarnya sudah berapa lama ia berada di dalam ruangan itu? Laudi sudah tidak terlalu memikirkannya. Kini dia sudah mengingat segalanya. Alasan ia berada di sana, berada di bumi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!