"Kakaaak!" teriak adik Ara yang kini sudah berusia sebelas tahun. Dia sibuk membuka-buka tasnya sembari masuk ke kamar Ara.
"Kakak di mana buku PR-ku?" tanyanya bingung.
Ara yang masih setengah terjaga kemudian mengucek matanya dan menguap sebentar. Lalu dia meregangkan tubuh dan mendekati sang adik.
"Khansa, kamu semalam mengerjakan PR-nya di mana?" tanya Ara.
"Di kamar Bunda, semalam aku dibantu Bunda."
"Ya sudah, kamu bertanya ke Bunda, Kakak mau mandi dulu, nanti terlambat mengantar kamu ke sekolah," pungkas Ara lalu berjalan lesu ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya supaya segar dan bisa melupakan mimpi buruk yang berulang-ulang tayang setiap malam.
Lima belas menit berlalu, saat ini Ara tengah mematung di depan cermin setelah dirinya menyegarkan badan. Perlahan dia mengambil toner dan meratakannya ke wajah cantik miliknya. Wajah yang sangat terlihat nyaris sempurna tanpa cacat itu begitu bersih dan cantik. Membuat siapa saja pria di luaran sana pasti langsung terpana olehnya.
Usai memakai toner, Ara menyalakan kipas portabel miliknya dan mendekatkannya ke wajah supaya tonernya segera meresap ke kulit. Dingin udara yang dihasilkan membuatnya nyaman, perlahan Ara menutup matanya dan tersenyum. Meski setelahnya dia kembali cemberut karena teringat dengan kisah hidupnya yang terasa menyesakkan.
Daripada merasa badmood pagi ini, Ara segera menyelesaikan rangkaian skincare-nya supaya bisa langsung mengantar adik kembarnya, menyibuki diri supaya tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang selalu menyelimutinya
Serum, moisturizer, cream pagi, sunscreen, foundation, dan bedak tabur tipis sudah menghiasi wajah cantik Ara yang makin membuatnya tampak jelita. Ara tidak memakai make up berlebihan, hanya foundation, bedak, lip tint, dan maskara di bulu mata kesayangannya. Namun, hal itu justru menambah kesan jika dia begitu natural kecantikannya. Benar-benar akan membuat pria atau pun wanita menatap kagum padanya.
Setelah selesai dengan urusan wajah, Ara menyemprotkan pakaiannya dengan parfum, lalu kembali menatap cermin sembari sedikit-sedikit merapikan tampilannya.
"Kakak, ayo! Nanti kesiangan!" teriak Keisha, kembarannya Khansa.
"Iya, sebentar!" jawab Ara sedikit berteriak sembari mengambil tas jinjing miliknya.
Pagi ini setelah mengantar Khansa dan Keisha ke sekolahnya, Ara langsung pergi ke salon miliknya. Salon itu merupakan sumber pendapatan Ara sehingga bisa menghidupi Bunda dan kedua adiknya hingga saat ini. Meski sebetulnya, bukan hanya itu sumber pendapatan yang Ara dapatkan satu setengah tahun belakangan. Ada satu kegiatan yang dia anggap sebagai pekerjaan yang dia sembunyikan dari Bunda. Dirinya bersikeras tidak akan memberitahu Bunda atau siapa pun itu mengenai hal ini, karena dia sendiri tahu betul jika apa yang dia lakukan itu tidak baik dan justru akan membuat Bunda kecewa padanya.
Ara tidak tahu apa yang harus dia kerjakan untuk mendapatkan uang setelah Bunda dan Ayahnya berpisah. Uang tabungan semakin menipis kala itu, karena digunakan untuk keperluan sehari-hari dan biaya sekolah SMK serta sekolah si kembar. Bundanya belum mendapatkan pekerjaan yang tetap sehingga kebutuhan sehari-hari menggunakan uang tabungan, meskipun nominalnya cukup besar, tetapi tetap saja akan habis jika selalu digunakan.
Mengingat masa-masa itu, Ara kembali sedih, tapi buru-buru dia tahan air matanya supaya tidak membasahi pipi yang sudah dia poles dengan skincare dan make up. Akan repot dan Ara malas rasanya jika harus mengulang make up-nya jika air mata itu jatuh. Ditambah Khansa dan Keisha terus memanggilnya untuk segera berangkat sekolah membuat Ara terlepas dari nostalgianya dengan masa lalu dan segera keluar dari kamar.
"Kakak lama sekali! Sebentar lagi masuk! Sudah pukul tujuh! Kami tidak mau terlambat!" omel Khansa sembari menggendong tasnya.
"Ayo, Kak!" tambah Keisha mendesak Ara.
"Kakak belum makan," imbuh Diana yang juga berada di sana, tapi segera dibalas gelengan oleh Ara.
"Aku makan di luar saja, Bunda. Kasihan mereka kalau terlambat," jawabnya. "Aku pamit, Bunda. Bye!" Ara mengecup sekilas pipi Diana.
Diana mengangguk kemudian perlahan balas mencium pipi ketiga putrinya. Kegiatan itu memang selalu terjadi setiap akan pergi sekolah, dia ingin anak-anaknya tidak merasa kekurangan kasih sayang. Meski ayah mereka tidak ada di sini, dan seolah membuang mereka enam tahun yang lalu, tapi Diana bersikeras akan memberikan kasih sayang yang berlipat-lipat pada ketiga putrinya supaya tidak sedih karena tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah.
Jarak dari rumah ke sekolah si kembar tidak terlalu memakan waktu yang banyak. Segera Khansa dan Keisha turun dari mobil dan berpamitan pada Ara. "Terima kasih, Kakak." Keduanya nencium tangan Ara.
"Balas Kakak, dengan belajar yang rajin dan dapatkan nilai terbaik," tanggapan yang sama yang hampir selalu Ara katakan pada kedua adiknya.
Setelah melihat kedua adiknya masuk ke dalam gerbang sekolah dengan aman, Ara melanjutkan perjalanannya menuju salon.
Ketika sendiri di dalam mobil, lagi-lagi pikiran Ara berselancar ke mana-mana, dia memang tak bisa sendiri, jika ada waktu sendiri, dia akan menghabiskannya dengan melamun masa lalu yang begitu menyesakkan. Meskipun Ara tidak ingin mengingat itu, tetapi tetap saja semua kenangan buruk itu selalu hadir menemani kesendirian Ara.
"Maaf, aku hanya mencintai Maya." Kalimat yang paling menyakitkan untuk Bunda Ara yang jelas diingat oleh Ara.
Jahat. Benar-benar jahat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Aycha Aia Cw Libra
☺️☺️☺️
2022-11-03
0