Anak Berbakti
Saat Gani pulang kemarin, Aminah—ibunya, menceritakan semua tentang warga desa, termasuk Usfi dan keluarga barunya yang tampak bahagia.
“Jangan kau tanya, kenapa seorang ustadz seperti bapak si Usfi itu mau menikahkan anaknya dengan orang seperti Anwar ... mungkin saja niatnya agar orang itu tobat, tidak lagi kencing di mana-mana,” kata Aminah sambil menikmati masakannya.
Aminah sengaja masak saat Gani datang. Sudah lama sekali laki-laki itu tidak merasakan masakan emaknya. Walaupun, sempat kecewa dengan anaknya, tapi, sebagai orang tua pasti akan menerimanya kembali, sebesar apa pun kesalahannya.
“Tapi, apa benar sekarang Juragan itu tobat sesudah kawin sama Si Onah?”
“Ya. Kayaknya begitu, Emak sering lihat dia Jumatan, pake peci ke mana-mana. Terus gak lagi bawa perempuan ke pos sayuran!”
“Emak masih kerja di pos syuran dia, Mak?”
Pos sayuran adalah nama yang disebut oleh para penduduk untuk, tempat di mana Anwar melakukan pekerjaannya sebagai pengumpul sayur mayur dari para petani di beberapa desa, seperti kentanh, Kubis, wortel, buncis kacang panjang, daun bawang dan lain-lainnya. Setelah terkumpul, dia mengemasnya dalam karung-karung yang sudah di beri lebelnya, kemudian di kirim dengan menggunakan truk ke berbagai pasar di ibu kota.
Semasa masih muda, Aminah turut menjadi buruh di sana, memilih sayuran dan mengemasnya, tapi kini, setelah kematian suaminya, dia tidak sanggup lagi bekerja.
“Gak ... Emak udah tua, semua kebutuhan sudah dipenuhi adikmu dan suaminya. Altiana beruntung, Mak juga beruntung dapet mantu kayak dia, Gan. Alhamdulillah!”
Gani mengangguk-angguk, sambil menghabiskan nasi dan telur balado khas buatan emaknya. Makanan khas Minang yang serba pedas itu, adalah salah satu kesukaan Gani. Walaupun, mereka tinggal merantau di kampung orang, tetap saja kalau soal makanan tidak akan merubah kesukaan.
Daerah tempat mereka tinggal adalah kawasan yang masih dekat dengan kota terbesar di negeri ini berdiri. Jadi, wajar kalau ada banyak suku tinggal dalam satu kompleks pedesaan. Namun demikian, mereka tetap hidup rukun dan damai tidak saling beradu kekerasan apalagi merasa suku merekalah yang paling kuat.
Pagi itu, setelah matahari meninggi dan mengajak makhluk di bumi untuk beraktivitas. Tampak Aminah, orang tua Gani satu-satunya itu, memasuki rumah dengan langkah perlahan, hatinya sudah lega karena berhasil menemui Juna, pengusaha sukses lele jumbo itu, akan datang melihat Empang. Wanita itu mendekati Gani, sembari berharap akan segera terjual hari ini.
Sementara Gani tengah membersihkan rumput dan membetulkan pagar yang mengelilinginya sejak pagi.
“Gan! Pak Juna mau ke sini nanti siang katanya, ayo! Cepat beresin pagarnya, udah belum?”
“Udah, Mak! Makasih ya, Emak tersayang, sudah mau repot-repot ke rumah Pak Juna.”
“Ya biar cepat saja kau lunasi hutangmu itu, kalau bukan Mak sayang sama kau, tak mungkin Mak ke sana, Gan!”
“Mak! Harus dengan apa Gani balas jasa Mak Bapak ini?” Gani berkata sambil berjalan cepat memeluk perempuan tua itu penuh kasih.
“Kau doakan saja Bapakmu ... juga buat Mak biar tetap sehat. Ingat, Gan ... tidak ada amalan yang paling baik buat orang tua yang meninggal selain doa anaknya yang Sholeh.”
“Tapi, Mak ... Gani ini bukan anak yang Sholeh. Waktu Bapak meninggal saja aku tak tahu, aku Cuma bisa lihat makamnya saja.”
Gani teringat saat tiga bulan yang lalu, dia masih mengalami hal tersulit dalam hidupnya. Dia tidak tahu kabar tentang kedua orang tuanya, karena sengaja memutuskan semua hubungan dari mereka.
Semua sanak familinya yang ada di kampung pun, tidak tahu harus memberikan kabar duka ini kepada Gani melalui siapa, karena mereka juga tidak tahu keberadaan Gani di mana.
Saat kematian Aminudin—bapaknya, Gani masih sangat sibuk waktu itu. Dia harus mengurus Anas, bapak mertuanya yang masuk rumah sakit, sedangkan Asma istrinya pun tengah melahirkan anak pertama mereka. Ibu mertuanya, Asti, memilih menunggu kelahiran cucunya.
Jadilah Gani begitu diandalkan oleh keluarga itu dalam segala hal, termasuk biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Dia tidak tahu harus membiayai semua keperluan keluarga itu dari mana, dia pun berhutang ke sana kemari. Kepada semua teman dan beberapa pelanggannya.
Kalau di kumpulkan, total hutangnya mencapai angka 300 juta. Semua itu sudah termasuk biaya melahirkan, membeli semua keperluan bayi, operasi bapak mertua, serta biaya pemulihan pasca operasi. Tentu saja termasuk biaya pemakaman jenazah beliau.
Jangan tanya kenapa, kan, sudah dioperasi, dan ikut kemoterapi pasca operasi kankernya, tentu saja Gani tidak bisa menjawab karena hak mencabut nyawa sepenuhnya ada di tangan Allah. Apa pun alasannya sebagai manusia biasa, Gani tidak mengeluhkannya.
Atas kehendak Allah juga semua usahanya seperti sia-sia di mata manusia, tapi, tidak ada yang sia-sia di mata Tuhan tentunya.
Saat itu, Gani pikir tinggal memikirkan bagaimana membayar utangnya, saja. Namun, nasibnya masih harus lebih sengsara.
Beberapa pekan yang lalu, saudara dari Anas datang, dengan entengnya bilang, kalau rumah itu adalah miliknya. Tentu saja dia heran, tapi tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tinggal di sana dan menikahi Asma, tanpa tahu lebih dalam soal keluarga mertuanya.
“Jadi, karena sekarang Anas sudah tiada, maka saya merasa tidak harus membalas budinya lagi.” Kata paman istrinya itu.
“Gimana ceritanya, Paman, kok bisa begitu?” tanya Asma waktu itu.
“Dulu, Mas Anas sepakat sama saya, mau menempati rumah ini, sampai akhir hayat saja. Saya tidak berharap dia meninggal lebih dulu, tapi ternyata takdir berkata lain,” kata sang paman lagi.
“Mas Anas pernah menolong saya waktu itu, dan saya mengizinkan keluarganya tinggal di sini secara cuma-cuma. Mas Anas bilang, yang perlu dibalas budi adalah dirinya, jadi cukup sampai akhir hayatnya saja, kalian bisa tinggal di sini!” kata pria itu membuat Gani, dan ibu mertuanya saling bertatapan heran. Perjanjian yang janggal, bukan?
Pria itu berkata lagi, “Nah ... sekarang, kan, saya tidak berhutang budi kepada anak istri Mas Anas. Jadi, saya minta rumah saya kembali. Saya akan menjualnya, karena butuh uang dan kalau soal rumah ... saya sudah punya di kampung,” kata orang itu panjang lebar.
Jadi, begitulah akhirnya Gani bagaikan jatuh tertimpa tangga pula, hingga mereka memutuskan untuk mengontrak rumah. Lalu, Gani mengatur keuangan di mana mereka harus benar-benar berhemat. Dia harus bekerja lebih giat, untuk membayar hutang dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk membayar kontrakan.
Selama tiga bulan penuh, mereka harus sering mengencangkan perut. Ibu mertuanya kemudian jatuh sakit setelahnya, membuat mereka harus lebih hemat lagi, karena tidak ada uang tambahan, untuk makan. Lama kelamaan, Asma tidak kuat, hingga dia memutuskan untuk bekerja menjadi buruh pabrik.
Gani memang tidak mengeluh karena dia sadar jika atas kemauannya sendiri dia berutang, hingga, utang itu pun ditanggungnya sendiri pula, tanpa membebani istri dan ibu mertuanya untuk ikut membayar.
“Gan, tapi, Mak heran kenapa tak kau bawa anak istrimu kalau kau memang sudah menikah? Kau bisa tunjukkan pada Usfi, kalau kau pun bahagia di sana tanpa dia!” tanya Aminah sambil membereskan perkakas, bekas Gani membaguskan pagar bambu yang mengelilingi kolam ikan mas di belakang rumah mereka.
“Mak, jangalah Emak tanya soal itu!”
“Loh, kenapa?”
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ🦂⃟ᴘɪᷤᴘᷤɪᷫᴛR⃟️𝕸y💞hiat
kenapa punyq anak istri berasa ditutup2in ya
2022-11-09
4
🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞
nahhhh betul si emak.. knp pula ngk d ajak kalau udah puya istri dan anak... 🤔🤔🤔🤔🤔
2022-11-02
7
✨🥀🪴N.𝐀⃝🍒✨
betul kata si emak kenapa tidak dibawa pulang kampung saja anak dan istri mu
2022-10-24
15