Bagian 3

...BUCIN...

...(Butuh Cinta)...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 3...

...------- o0o -------...

Aku tersenyum. Malu? Mungkin. Karena ruang perpustakaan, bagiku, adalah sarana tepat untuk mencari tambahan ilmu, di samping sebagai tempat untuk mengalihkan rasa lapar di waktu istirahat. Makan siang itu sesuatu yang tabu. Biasa, efesiensi biaya hidup kaum indekosan selama menetap di perantauan.

"Aku sedang mencari bahan makalah untuk mengerjakan tugas mata kuliah, Mbak. Eh, Del," jawabku memberi alasan. Agak sedikit menyesal karena untuk pertama kali memanggil orang yang baru dikenal dengan namanya langsung.

"Kelihatannya kamu gape (pintar) juga, Lya. Di kelas pun kamu termasuk siswa yang paling menonjol," kata Della. Menatapku tajam. Seakan tengah menguliti sekujur tubuh ini dengan sayatan bias bola matanya.

"Ah, ndak juga, Del. Biasa saja, kok." Mendadak wajahku terasa panas. "Mbak Del juga sedang mencari bahan makalah?"

Della tersenyum kecut. "Pusing gue, Lya. Otak gue gak bisa diajak kompromi kalo udah ngadepin mata kuliah yang satu ini. Rempong ... tahu gak?"

"Itu sebabnya Mbak Del banting-banting buku dan pensil ke atas meja tadi?" tanyaku tiba-tiba ingin menggodanya.

"Dari tadi elu merhatiin gue?" Bukan bernada membentak atau galak, tapi lebih ke perasaan malu jadi bahan perhatian atas ulahnya, pikirku.

"Maaf, Mbak Del. Ndak sengaja."

"Mbak Del ... Mbak Del .... " ujar Della menirukan sapaanku barusan. "Udah gue bilang jangan manggil gue 'mbak'. Gimana, sih, lu?"

"Woy! Berisik!" seru salah seorang pengunjung perpustakaan memberi peringatan.

"Sorry!" jawab Della sambil merengut. "Eh, makan siang, yuk. Gue yakin elu pasti belum makan, kan?" ajak gadis itu padaku.

Berpikir sejenak, lalu kujawab, "Terima kasih, deh, Del. Aku di sini aja. Masih nyari bahan."

Della memaksa. "Udah! Ayo, makan. Gue traktir elu, deh. Tenang aja."

"Bukan masalah itu, tapi .... "

"Rejeki gak boleh ditolak, Non! Let's go!" Della menarik lenganku. Terpaksa menurut. Mengikuti langkah gadis itu menuju ruang kantin. "Elu pesen sendiri, deh. Terserah," kata Della begitu tiba di tempat tujuan.

"Aku .... "

"Gak usah mikir lamhay. Gue yang bayar!" Gelak tawa Della kembali membahana. Kali ini tak akan ada yang protes. Semua bebas bersuara keras, tak seperti saat berada di ruangan perpustakaan tadi.

"Aku juga punya uang, kok, Del. Bisa bayar sendiri," kataku mencoba berdiplomasi. " ... atau sekalian aku bayarin makananmu juga, cukup uangnya."

Della tertawa. "Iya, gue percaya elu punya duit, Cuy. Tapi gue kudu tanggung jawab karena gue yang ngajak elu ke sini. Oke?"

"Terserah kamu saja, deh, Del."

"Nah, begitu, dong. Lebih enak, kan?"

Aneh, hampir di setiap ujung omongan, Della selalu tertawa. Mungkin sudah karakternya seperti itu. Periang. Jauh dari kesan angkuh yang selama ini kusangkakan.

"Ikut gabung, dong!" Satu suara berat datang di sela-sela acara makan siang kami. Milik seorang laki-laki muda perlente berwajah klimis oriental. Mirip bintang-bintang telenovela yang sering menghiasi layar televisi beberapa waktu lalu. Andre, begitu nama yang kutahu tentangnya. Masih teman satu kelas namun tak pernah sekali pun berbincang langsung seperti sekarang ini.

"Ngapain lu ke sini? Tempat lain masih banyak yang kosong," seloroh Della galak.

"Ya, gue pengennya di sini. Sambil ngelihatin elu, Del," jawab Andre menggoda Della.

"Basi!" rutuk gadis di sebelahku, namun dengan ekepresi wajah bersemu. "Bilang aja minta traktiran, Cuy."

"Kurang lebih kayak gitu," balas Andre dilanjutkan dengan tawanya. Sejenak mata laki-laki itu melirik ke arahku. "Elu berdua ... sekarang ... temenan?"

Aku menoleh pada Della.

"Suka-suka guelah. Apa urusan elu pake nanya-nanya? Kayak wartawan infotainmen aja lu," jawab Della masih bernada galak.

Andre tertawa. "Elu yang namanya .... "

"Alya," jawabku setelah beberapa saat menunggu Andre menyebutkan nama.

"Iya, Alya. Gadis asal jawa yang ngekos di daerah Slipi, kan?" Andre mencoba menebak. Aku dan Della saling berpandangan.

"Kok, elu tahu?" tanya Della heran. "Beneran elu tinggal di sana, Lya?" Aku mengangguk.

"Gue, kan, sering maen ke sana. Itu tempat kosannya si Alex. Makanya gue tahu," jawab Andre sambil mencomot makanan di piring Della. Gadis itu segera menepisnya.

"Jorok lu!"

Andre mengekeh.

Selanjutnya obrolan pun berjalan begitu saja. Santai penuh keakraban. Saat itu pula aku mulai mengenal Della, sekaligus Andre.

Jalinan pertemanan di antara kami kian terikat kuat. Terutama aku dengan Della. Hampir setiap berada di area kampus, tak pernah saling berjauhan. Tak sungkan-sungkan dia meminta bantuan mengerjakan tugas kuliah. Dengan senang hati kulakukan. Bahkan beberapa kali gadis itu sengaja berkunjung ke tempat kos, hanya sekedar berbagi curhatan. Tidur dan makan bersama sudah bukan sesuatu yang aneh.

Di waktu bersamaan, seiring dengan semakin akrabnya aku dengan Della, diam-diam Andre melakukan hal senada. Sapaan basa-basi hingga ajakan jalan-jalan bersama pun sering dia ungkapkan. Aku merasa ada perhatian berlebih dari laki-laki blasteran Spanyol itu padaku, ketimbang sama Della. Entahlah, apakah hanya perasaan saja ataukah memang benar begitu adanya. Yang jelas, bias mata Della setiap kali bertemu Andre pun terlihat lain. Suka? Aku tak tahu. Sementara di balik dada ini tak ada rasa sama sekali terhadap Andre, kecuali hanya menganggapnya sebatas sahabat biasa.

...------- o0o -------...

"Cuy, elu betah tinggal di kontrakan ini?" tanya Della suatu saat ketika bermain ke tempat kosanku.

Aku melirik sejenak sambil merapikan pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Gadis itu melihat-lihat sekeliling ruangan berukuran 4X4 meter ditambah ruang dapur sempit. Hanya bisa dimasuki seorang saja.

"Aku sudah terbiasa hidup sederhana, Del. Bagiku, ndak masalah walau harus tinggal di mana juga," jawabku santai. "Lagipula, ini kontrakan termurah yang bisa aku tempati di sini. Lumayan untuk belajar hidup hemat."

Della menoleh. "Yang gue tanya elu betah kagak?"

"Lumayan betah, Del."

"Hhmm ... berapa elu bayar sebulannya?" tanya Della kembali.

Aku menarik napas sejenak. "Tak lebih mahal dari uang jajan kamu sebulan. Hehehe."

Della tersenyum kecut. "Dengan fasilitas MCK bersama di luar ruangan itu?"

Aku mengangguk.

"Gila! Pasti elu sering ngantri ama penghuni kamar sebelah, ya?" Della menggeleng beberapa kali.

"Artinya aku harus bangun lebih pagi kalo ndak mau ikut ngantri. Gampang, toh?" jawabku diiringi tawa perlahan.

Della hanya merespon dengan seringai kecutnya. Setelah hening sejenak, kemudian gadis itu berkata, "Padahal kalo elu mau, elu bisa tinggal bareng gue. Gratis, Cuy. Sekalian nemenin gue di rumah."

Aku menghentikan aktivitas, menatap Della yang sedang memainkan ponsel. "Maksud kamu?"

Della mengalihkan pandangan ke arahku. "Ya, pindah. Tinggal di rumah gue," jawabnya dengan gaya cuek. "Gue, kan, anak tunggal. Suatu waktu, sering ditinggal bokap keluar kota. Kalo udah gitu, paling gue minta ditemenin ama tetangga sebelah, Bi Mamas. Dia yang sering gue pintain tolong."

...^^^BERSAMBUNG^^^...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!