Bagian 2

...B U C I N...

...(Butuh Cinta)...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 2...

...------- o0o -------...

"Tapi gak sampe ngejadiin elo pembokat di sini juga kale, Cuy," timpal Della tiba-tiba.

"Del .... " Om Bram kembali mendelik.

"Tapi bener, kan, Pah?" Della melirik ke arah papahnya. "Lagian Alya tinggal di sini juga atas permintaan Della sendiri, kok. Daripada buang-buang duit buat bayar kost yang jauh dari kampus. Belum lagi elu kudu ngeluarin duit buat ongkos angkot. Mendingan di sini ama gue. Elu, kan, sahabat gue sendiri, Cuy."

Aku tersenyum kembali. "Iya, gue paham itu, kok, Del. Terus kalo gue pengen ikut bantu-bantu di rumah ini, apa itu salah?"

"Asal jangan dalam rangka elu mau merebut hati bokap gue yang keren ini aja, deh, Cuy. Hahaha." Gelak Della kembali pecah.

Kali ini aku tak bisa tersenyum. Sisa nasi yang sedang kutelan tiba-tiba terasa berhenti begitu saja. Menyumbat lubang pernapasan, hingga batuk berulang-ulang.

"Della! Kamu makin ngaco aja, deh, Sayang," seru Om Bram seraya menyodorkan segelas air putih padaku. "Minum dulu, Lya."

"Terima kasih, Om," jawabku usai mereguk air. Tenggorokan kembali lega. Batuk pun ikut berhenti.

"Kamu ini kalo ngomong asal ceplos aja, Sayang. Lihat, tuh, sahabatmu sampai merah begitu mukanya," tambah Om Bram sambil memperhatikanku.

"Gak apa-apa, Om. Della emang begitu. Alya udah terbiasa, kok." Aku berusaha menghindari tatapan mata tajam itu. Hati ini seakan luluh tak berdaya jika laki-laki itu sudah menatap sedemikian rupa.

"Abis makan, bagian gue yang nyuci piring, ya," kata Della setelah beberapa saat semua terdiam. Menikmati sarapan hingga ludes tak tersisa.

"Biar gue aja, Del. Sekalian nyari keringat sebelum mandi entar," cegahku sambil beranjak dari kursi.

"Gak bisa! Gue yang nyuci piring. Elu, kan, udah masak, Cuy."

"Gue aja."

"Gue!"

"Gue!"

Terdengar tepukan tangan keras sekali diiringi suara membahana, "Oke, ladies! Saat ini juga Papah atau Om permisi pamit, berangkat kerja. Kalo mau berantem silakan dilanjut, tapi jangan sampe bikin seisi rumah ini ancur. Oke, guys?"

Aku dan Della terdiam. Gadis itu menghambur peluk dan menyalami papahnya. "Hati-hati di jalan, Pah."

Sempat merinding dan membayangkan jika pada saat posisi berpelukan itu tadi adalah aku dengan Om Bram. Tapi itu tak mungkin dilakukan, karena aku bukanlah siapa-siapa laki-laki itu. Dia hanya melambai sesaat sambil tersenyum. "Om berangkat dulu, ya, Alya. Terima kasih atas masakannya."

Hanya sebatas itu. Tak ada lanjutan lain. Sampai kemudian, sosok Om Bram menghilang bersama Pajero-nya di tikungan jalan depan.

...------- o0o -------...

Beberapa tahun lalu, aku menginjakkan kaki di tanah asing. Sebuah kota besar yang dipenuhi ragam manusia dari berbagai latar. Bangunan tinggi menjulang serta sesaknya gas kentut bermacam jenis kendaraan. Berlalu-lalang hampir tiada henti sepanjang waktu. Malam yang seharusnya hening melenakan, justru semakin riuh dengan kesibukan manusia-manusia pencari kemilau dunia. Aku, gadis kampung yang terbiasa hidup di tempat asri penuh peradaban, harus belajar beradaptasi sedikit demi sedikit, agar bisa bertahan untuk sebuah harapan. Melanjutkan jenjang pendidikan atas dasar tekad serta impian.

Berbekal uang tabungan hasil penjualan beberapa petak tanah warisan orangtua, kini aku menetap di sebuah tempat terasing di pinggiran kota. Tinggal di rumah sederhana dengan sedikit ruang kecil dan pembatas ala kadarnya. Hanya ada dua. Ruang depan yang biasa digunakan untuk tidur sekaligus menerima kunjungan kawan, serta dapur sempit dan pengap. Betah? Sejujurnya tidak. Biaya sewa terjangkau, itu alasan utama mengapa aku masih bertahan di sana. Di samping karena jarak terdekat ke kampus, tempat menggantungkan asa untuk masa depan.

Della, seorang gadis mandiri dari keluarga berada, memang bukan orang pertama yang kukenal. Sebelumnya hanya sebatas teman sekelas. Tertutup, canggung, cuek, dan terkesan angkuh. Itu kesan awal saat pertama kali melihat sosok yang satu ini. Nyatanya tidak seperti itu. Berbalik penuh kala kami mulai mengenal satu sama lain. Itu pun secara tak sengaja ....

BRAK!

Suara buku tebal dibanting keras ke atas meja mengejutkanku, saat berada di ruang perpustakaan. Terlihat sesosok gadis berkulit putih mulus merengut sambil memijit-mijit kepala, disertai dengkusan napas beberapa kali. Kesal? Mungkin. Aku tak begitu peduli. Lebih memilih melanjutkan bacaan pada buku yang tergenggam. Tentunya setelah menggeleng-geleng atas sebuah konversi rasa di balik dada ini.

TRAK!

Kali ini suara pensil yang menghentak permukaan meja, terayun cepat dari jemari lentik berkuku cat warna merah. Berasal dari arah sama seperti tadi. Gadis berkulit mulus.

"Permisi, Mbak. Boleh aku ikut duduk di sini?" tanyaku basa-basi. Menghampiri sosok yang terlihat sedang dirundung kesal itu.

"Silakan," jawabnya tanpa melirik sedikit pun. "Emangnya tempat duduk kamu di sana kenapa? Gak nyaman?"

Aku tersenyum. "Di sana sepi. Ndak ada teman."

Gadis itu menoleh dengan raut muka datar. "Terus saya kudu nemenin kamu, begitu?" Judes amat, pikirku. "Di meja lain masih ada beberapa orang. Kenapa milih di sini?"

Sejenak kutarik napas panjang, mencoba menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghentak. "Baiklah. Kalau Mbak ini merasa terganggu, biar aku pindah lagi, ya, Mbak. Permisi," jawabku seraya bersiap bangkit dari kursi.

"Eh, tunggu!" Gadis itu menahan gerakku. "Baperan amat, sih, kamu? Segitu aja udah tersinggung."

"Maaf .... "

"Duduk aja di situ. Santai. Gak bakal gue ganggu lagi, kok," ujarnya kemudian. Mulai mengganti kata 'saya' ke 'gue'. Aku rasa itu karakter yang sebenarnya. Asli.

"Terima kasih, Mbak." Aku kembali mengenyakkan bokong. Batal berpindah tempat, menuruti keinginan gadis itu.

Beberapa saat lamanya hening. Tak ada percakapan susulan. Sampai akhirnya sosok di depan itu berkata, "Gue Della. Kamu siapa?"

Aku segera mengalihkan pandangan dari barisan kalimat yang sedang dibaca. Lalu mengulurkan telapak tangan mengajak salaman. "Aku Alya, Mbak."

"Kamu sekelas ama gue, kan?" tanyanya usai membalas salam.

Aku mengangguk. "Enggih, Mbak."

Senyum kecut menyeruak dari bibir gadis itu. "Panggil nama gue aja. Della. Gak usah pake 'mbak' gitu."

"Aku ndak terbiasa, Mbak. Ndak sopan."

"Gak apa-apa, kok. Gue jadi ngerasa lebih tua dari kamu kalo dipanggil 'mbak' gitu." Gadis bernama Della itu tertawa. Disambut beberapa pengunjung perpustakaan dengan memberikan kode melalui suitan kecil disertai telunjuk yang melintang di depan bibir mereka. "Sorry, guys!" ujar Della disertai kekehan pelan. "Kamu dari jawa, ya?"

"Enggih, Mbak. Eh .... "

Della mendecak. Entah kesal ataukah protes atas sapaanku barusan. "Gue sering lihat kamu lebih banyak ngabisin waktu istirahat di perpus, ketimbang di tempat lain. Kantin, misalnya?"

...BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!