Cindy terus berjalan sambil menunduk menuju ruang kepala sekolah. Ia benar-benar tidak menyangka jika orang yang ia bonceng tadi merupakan orang buta. Tapi ada satu yang menjadi pertanyaan Cindy, kenapa cowok tadi menggunakan sepeda? Padahal kan dia buta?
"Bodoh amat lah."
Sesampainya di depan ruang kepala sekolah, Cindy menatap pintu di depannya itu kemudian menghela napas. Tanpa pikir panjang lagi dia langsung membuka pintu tersebut dan kemudian memberikan salam untuk orang yang berada di dalam.
"Kamu murid baru itu ya?" tanya kepala sekolah seraya mempersilakan Cindy untuk duduk di depannya.
Cindy pun duduk di bangku yang berhadapan langsung dengan kepala sekolah. Ia tersenyum canggung karena tidak biasa bertatap muka dengan kepala sekolah barunya itu.
"Setelah kami berdiskusi dengan guru lain, kamu akan kami tempatkan di kelas XII IPA 1. Kami sengaja meletakkan kamu di sana karena kami rasa kamu adalah murid yang pintar dan juga kamu benar kan pernah mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik di sekolah mu kemarin?"
"Iya Pak."
Kepala sekolah itu tersenyum lalu membuka berkas yang ada di depannya. Berkas itu merupakan data-data dari Cindy.
"Nama kamu Cindy Aryana Luvinta? Nama yang cukup bagus," puji kepala sekolah itu membuat Cindy tersenyum malu sambil mengangguk, "Kamu bisa panggil bapak dengan sebutan pak Memet."
"Iya Pak."
Sang kepala sekolah memperbaiki kecamatannya lalu menatap kepada seorang asisten nya untuk menujukan di mana kelas Cindy.
"Ayo Non ikut saya. Saya akan antarkan ke kelasnya Non."
Cindy berdiri dan memberikan salam hormat untuk kepala sekolah tersebut. Kemudian perempuan itu pun lantas berbalik dan pergi mengekori sang asisten yang akan mengantarkannya ke kelas barunya.
Ia menarik napas dalam-dalam ketika telah berada di luar ruangan. Rasanya ia seperti mati kutu saat berhadapan dengan kepala sekolahnya itu. Apalagi dengan kumis tebal yang dipunyai pak Memet membuat Cindy tidak berani berbicara banyak.
Cindy menyusuri koridor sekolah ini dan menatap setiap kelas. Ia tersenyum mendapati kelas yang ia tatap selalu ada guru yang sedang mengajar. Rasanya Cindy merindukan suasana itu.
"Ini Neng kelas kamu. Cepat masuk nanti kamu ketinggalan pelajaran lagi. Nanti kan rugi."
"Iya Pak. Terima kasih ya," ujar Cindy sembari tersenyum ramah kepada orang tersebut.
"Sama-sama Neng."
Orang yang mengantarkannya tadi telah berlalu hingga tingglah Cindy sendirian di depan pintu kelas. Pintunya tertutup, Cindy yakin cara itu sengaja dilakukan agar menambah konsentrasi siswa dalam belajar.
Ragu-ragu ia hendak mengetuk pintunya hingga pada akhirnya Cindy yakin untuk mengetuk pintu tersebut.
Tok tok tok
"Masuk," perintah suara yang berada di dalam ruangan tersebut.
Cindy menghela napas menyiapkan mentalnya. Ia tersenyum yakin jika mulai hari ini adalah lembaran baru. Didorongnya pintu tersebut kemudian dia berjalan masuk.
"Oh kamu yang murid baru itu ya?" tanya guru tersebut lalu berdiri dari tempat duduknya.
Cindy menatap ke depan dan menelan salivanya saat melihat semua mata tertuju padanya.
"Perkenalkan dirimu Nak."
"Iya Buk." Cindy tersenyum kepada mereka semua dan tampak para kaum laki-laki yang melihat senyumannya jadi salah tingkah, "Perkenalkan nama saya Cindy Aryana Luvinta dan bisa dipanggil Cindy."
"Boleh tau nggak nomor hp berapa?"
"Kalau nggak bisa nomor hp barang nama Instagram aja."
"Sudah punya pacar belum? Kalau belum Abang daftar Dek."
Cindy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus merespon mereka seperti apa. Dia menatap ke arah gurunya.
"Kalian semua diam. Malu-maluin aja," marah sang guru kepada anak muridnya yang berkicau tadi. "Cindy kamu bisa duduk di samping Uci. Yang namanya Uci angkat tangan!"
Uci pun mengangkat tangan. Melihat di mana tempatnya duduk lantas Cindy langsung menuju ke tempat duduknya itu.
"Eh Cindy sebentar!"
Cindy pun berhenti melangkah dan berbalik pelan-pelan. Ia tersenyum seperti cengiran kebingungan kepada gurunya itu.
"Ada apa Buk?"
"Panggil ibu dengan sebutan Ibu Rahma."
"Oh iya Buk."
Cindy pun menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugupnya. Jantungnya sekarang benar-benar tidak berfungsi dengan normal.
Dia berjalan menuju tempat duduknya dan duduk di samping Uci. Ia menatap Uci yang tersenyum padanya dan Cindy membalas senyuman Uci tersebut juga dengan senyum bersahabat.
"Hay! Kenalin nama Gue Cahaya Suci, panggil aja Uci," ucapnya seraya memberikan tangan ke arah Cindy.
Cindy menjabat tangan tersebut lalu berkata, "Salam kenal Suci, semoga kita jadi sahabat."
Uci melepaskan telapak tangannya yang bertautan dengan telapak tangan Cindy. Kemudian menatap ke arah depan memastikan gurunya tidak terfokus padanya.
"Eh Cindy lo tadi datang ke sini bareng Rendi yang buta itu ya?" tanya Uci pada Cindy.
Cindy yang tadi sedang mengeluarkan buku dari tasnya langsung menatap ke arah Uci. Rambutnya yang sebahu tersebut ia sampirkan ke samping.
"Iya, emang kenapa? Gue juga baru tau kalau dia buta. Ajaib banget kan dia buta tapi bisa main sepeda. Hebat bukan?"
Uci menyengir seperti tidak sependapat dengan Cindy. Ia menggaruk pipinya sembari memikirkan sesuatu.
"Lo nggak ada merasa malu gitu jalan sama si buta? Kalau gue sih malu."
"Emang kenapa harus malu? Eh bentar, bentar, jangan-jangan dia di sini nggak punya teman lagi? Benar kan gue?"
Uci nampak menghela napas lalu mengangguk. Sementara Cindy tak percaya setelah mengetahui itu.
Namun ia berusaha memendam rasa sedihnya itu di dalam lubuk hati yang terdalam. Tanpa bertanya pun Cindy sudah mengetahui jika Rendi adalah salah satu korban bully di sekolah ini.
Ia menggigit bibirnya gelisah, ia sangat kasihan dengan cowok itu. Tapi ia juga tidak tau harus berbuat apa. Dirinya saja tidak mengetahui di kelas mana Rendi berada? Ingin bertanya dengan Uci tapi ia merasa Uci seakan enggan membahas tentang Rendi.
"Anak-anak kerjakan latihan di halaman dua puluh sampai dua puluh tiga." Cindy spontan menatap ke arah sang guru lalu membuka buku cetakannya sesuai halaman yang diberitahu guru tersebut.
"Baik Buk!!"
"Soalnya dicatat Buk?!" tanya seorang siswa yang duduk di bagian paling belakang.
Semua murid menatap ke arah cowok itu dan kemudian kembali menatap ke arah sang guru. Mereka bergidik ngeri melihat sang guru yang melotot.
"Tidak! Soalnya kamu lihatin aja terus sampai pulang!"
"Oh gitu ya Buk."
Ibu Rahma tampak frustrasi mendengar ucapan tersebut. Ia memijit jidatnya seraya duduk kembali ke bangkunya.
"Yah dicatatlah Shomad!! Kamu itu ya ketahuan banget malasnya!"
Semua orang tertawa kecil mendengar Shomad yang mendapatkan kemarahan dari sang guru. Cindy hanya tersenyum sedikit sebab sudah berbulan-bulan ia tak merasakan suasana seperti ini.
"Eh murid baru ada pena dua nggak? Pena gue hilang nih gegara dimaling tetangga sebelah. Pinjam dong!"
Cindy yang sedang asyik menulis pun menghentikan kegiatannya. Ia menatap pada orang yang bertanya padanya tadi.
"Sebentar gue cari dulu."
"Cepetan jangan lama-lama!!"
Cindy mengangguk lalu membongkar isi tasnya mencari keberadaan penanya. Namun ia tidak ada mendapatkan satu pun pena. Dengan helaan menyesal ia memandang pada orang itu.
"Nggak ada. Maaf ya!"
"Ya udah nggak papa!"
Perempuan tersebut memanggil nama gurunya lalu mengungkapkan sesuatu.
"Buk permisi dulu ya ke kantin mau beli pena! Pena saya hilang Buk dimaling tuyul jadi-jadian!"
"Nggak ada. Nggak ada kantin-kantinan. Kamu tidak boleh ke luar! Duduk dan kerjakan tugas kamu. Kamu ada tugas, kan?!"
"Ada sih Buk, tapi gimana mau ngerjainnya kalau nggak ada pena," keluh Imel sembari menekuk wajahnya.
"Ini pakai pena ibu aja. Awas kamu setelah ini ngeluh-ngeluh pena hilang. Harusnya sebelum berangkat itu kamu harus siapkan segala kebutuhan buat sekolah. Ketahuan banget kamu tidak pernah baca buku," sarkas ibu Rahma yang terasa mengena di hati. Ia sudah pusing dengan kelakuan anak muridnya pasalnya hampir setiap hari pena di kelas selalu hilang. "Ibu peringatkan bagi kalian yang suka maling pena segera bertobat karena nanti ibu akan panggil pak Ustad buat ngerukyah kelas ini!"
"Baik Buk!!"
Sedang fokus-fokusnya para murid mengerjakan tugas yang diberikan Ibu Rahma, namun tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu dari luar. Semua orang terganggu dan menatap ke arah pintu itu, tapi berbeda dengan Cindy yang nampak cuek dan tetap melanjutkan mencatat soal.
Melihat siapa yang datang semua orang berdecak malas. Mereka seakan menyesal telah menatap ke arah pintu hingga kehilangan waktu beberapa detik untuk mencatat.
"Eh Rendi bagaimana kamu? Sudah sembuh, kan?"
Mendengar nama Rendi disebut membuat Cindy kontan langsung menatap ke depan. Ia tidak percaya jika Rendi berada di kelas yang sama dengannya.
"Sudah Buk. Sudah nggak sakit lagi kok."
"Bagus kalau begitu dan kerjakan tugas di halaman dua puluh sampai dua puluh tiga. Nanti ibu bisa kasih kamu rekaman suara."
Rendi mengangguk sembari tersenyum. Ia meraba jalan dengan tongkatnya menuju mejanya yang berada di barisan depan. Cindy bisa melihat jika di samping Rendi tidak diisi siapa-siapa.
"Maaf Buk mengganggu! Boleh saya pindah tempat duduk?!" tanya Cindy membuat semua orang kebengongan terutama Uci teman sebangkunya.
"Lo mau ke mana Cin? Lo nggak betah ya duduk sama gue?!"
Cindy melirik Uci lalu menyunggingkan senyumnya, "Enggak gitu Ci."
"Memang kamu mau duduk di mana Cindy?"
"Saya mau duduk di samping Rendi." Cindy melirik Rendi yang sepertinya terkejut dengan permintaannya, "Kasihan dia Buk. Dia pasti butuh bantuan!"
"Ya sudah kalau begitu!"
"Makasih Buk."
Para murid yang berada di kelas itu merasa heran dengan Cindy. Namun Cindy hanya menyikapi mereka dengan biasa saja. Ia memungut buku-bukunya lalu membawanya ke tempat duduk barunya yang di samping Rendi.
Ia meletakkan perlengkapan belajarnya di atas meja lalu mengitari meja dan duduk di kursi. Dengan jarak yang begitu dekat, Cindy bisa melihat mata Rendi yang berkaca-kaca.
"Kamu Cindy yang tadi?"
"Iya aku Cindy yang tadi. Jujur ke aku kamu itu sebenarnya buta apa enggak sih?" pertanyaan dari Cindy membuat Rendi yang semula tersenyum lebar langsung menunduk dengan sedih. Melihat itu Cindy merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya.
"Iya aku memang buta."
"Tapi kenapa kamu bisa main sepeda? Terus juga kenapa kamu sekolah di sini nggak di sekolah khusus gitu? Itu kan lebih mudah?"
Dengan posisi tempat duduk mereka yang berada di depan tentu dapat dilihat dengan jelas percakapan mereka terutama sang guru yang berhadapan langsung.
"Rendi, Cindy, kerjakan tugas kalian. Kalau tidak bisa baru kalian bicara."
Cindy menatap sang guru lalu menyengir, "Iya Buk!" Dia kemudian memandang Rendi. "Maafkan aku."
_________
Tbc
Jangan lupa kritik dan sarannya. Like atau vote dan komen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments