Aku berdiri mematung di depan gerbang besar tinggi menjulang mansion Tuan Leonel, sesekali menoleh kebelakang dengan raut mukaku yang menahan kesal.
Di sana, di atas balkon lantai dua, Tuan Leonel menghadap ke arahku, menyunggingkan senyum penuh kemenangan, sedikit membungkuk dengan kedua lengan bawah yang menahan di atas dinding pembatas balkon.
"Buka gerbangnya! Atau aku akan terus berteriak!" teriakku yang ditanggapi gelak tawa oleh Tuan Leonel.
Aku menggeram kesal, mengacungkan jari tengah ke arah Tuan Leonel yang justru semakin terbahak sampai terpingkal.
Dia menahanku, memintaku datang ke kamarnya, jangan harap, aku tidak akan lagi menurutinya dan terperangkap oleh permainannya.
Aku memilih berdiri di depan gerbang besar berwarna hitam nan elegan ini, menahan hawa dinginnya udara malam yang mulai menembus tulang, dari pada harus masuk ke dalam mansion Tuan Leonel dan dia akan menjeratku. Lebih baik aku kedinginan di luar.
Ponselku berdering,
Tn.Leonel memanggil,,,,
Kugeser panel hijau menerima panggilannya, menatap ke arah balkon di mana dirinya berada.
"Masuklah, Nona, pintu rumahku selalu terbuka untukmu," ucapnya santai tanpa beban, kami saling menatap dalam, aku yang menatapnya kesal, dan dia yang terus melebarkan senyuman.
"Never!" jawabku yakin.
Tawa Tuan Leonel menggema.
"Anjing-anjingku sedang lapar, Nona, aku tidak bisa menyelamatkanmu jika Lorena sudah mengeluarkan mereka dari kandang," ancam Tuan Leonel menggetarkan hati, aku sangat takut dengan hewan itu, dulu saat masih kecil sepulang sekolah aku pernah dikejar anjing tetangga kala masih tinggal di perumahan dalam gang.
"Jangan mengancamku, Tuan. Aku,,, aku,,,," bingung, aku tidak tahu harus mengatakan apa, rasa panik menyelimuti hati.
Gonggongan anjing dari taman sebelah kanan mansion mengagetkanku. Sontak aku berjingkat.
Dua ekor anjing keluar bersama seorang pria berpakaian serba hitam, memegangi tali yang mengikat leher anjing-anjing itu di tangan kanan dan kirinya, dan wanita bertubuh subur itu, Nyonya Lorena, ia berdiri menyunggingkan senyum sinis yang menatapku tak suka. Matilah kau, mungkin begitu umpatnya dalam hati.
Aku mematung dengan tubuh gemetaran, kedua anjing hitam berjenis shepherd itu terus menggonggong, menyalak ke arahku.
"Cepat masuk," kudengar Tuan Leonel berbicara pelan penuh penekanan dari sambungan telepon.
"Three,,, two,,,, one_"
Pria berpakaian serba hitam melepas tali kedua anjing yang ia genggam, melepaskan hewan buas itu yang berlari cepat ke arahku.
"Tuan,,,," teriakku berlari menuju pintu utama mansion yang terbuka.
Kedua anjing yang mengejarku tepat di belakang, pintu utama sebentar lagi kucapai, tapi entah mengapa langkah kakiku terasa begitu berat untuk kugerakkan.
"Brak!"
Nafasku terengah dengan dadaku yang naik turun, aku berhasil mencapai pintu utama, masuk ke dalam mansion dan menutup rapat pintu besar berukiran naga emas ini sebelum anjing-anjing itu berhasil menerkamku.
Aku menelan saliva kasar, kakiku serasa tak menapak tanah, lemas, lunglai, kau tahu, perasaan hampir berada dalam celaka namun akhirnya kau selamat, lega.
Aku bergidik ngeri, membayangkan kedua anjing buas itu akan menangkapku, mengoyak tubuhku, sangat menakutkan.
Derap langkah seseorang yang menuruni tangga utama menghadap pintu menarik perhatianku, Tuan Leonel berjalan menuruni anak tangga itu dengan sangat santai, terkesan anggun. Memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana di sisi kiri dan kanan. Ia terus berjalan ke arahku.
Senyum yang mengembang mempertegas bahwa ia memang tak terkalahkan.
"Butuh nafas bantuan, Nona?"
"Gila, Tuan Leonel gila," umpatku dalam hati.
Kami berdiri berhadapan dengan suasana menegang, aku marah, aku ingin memukulnya, tapi tidak bisa, tidak ada daya dan upaya yang bisa membuatku melakukan itu.
"Kenapa kau sangat keras kepala? Aku memintamu ke kamarku, kenapa kau malah keluar dari mansion dan berteriak di depan gerbang, mengganggu tidur semua orang,"
Tak kutanggapi kalimat yang terlontar dari mulut Tuan Leonel. Ingin rasanya kutendang inti tubuhnya itu agar ia kalang kabut kesakitan, tapi aku masih takut mati.
"Apa kau tak merindukan kamarku?" kaki Tuan Leonel berjalan maju satu langkah, membuatku panik, semakin mendekat.
Aku menggelengkan kepala cepat beberapa kali.
"Kau baik-baik saja?" tangan kanan Tuan Leonel terulur menyentuh wajahku, mengelus lembut pipiku dengan punggung tangannya yang kekar, terus bergerak turun perlahan hingga menyusuri area leher.
Ia semakin mendekat, bergerak maju satu langkah lagi sambil menundukkan kepala, menepis jarak di antar kami, mendekatkan wajahnya pada wajahku.
Kurasakan hembusan nafasnya yang berat, menerpa hangat wajahku yang pasti sudah bersemu merah.
Kupalingkan muka karena aku mulai tak kuat dengan tatapan matanya yang seperti itu, sorot mata sayu yang lembut, hatiku terusik, dan kurasakan hatiku berdesir, pelan.
"I want you," bisik Tuan Leonel dengan suara lirih di telingaku.
Aku mendongak, bibirku menyentuh tipis pipinya karena jarak kami yang begitu dekat.
Reflek kudorong kasar dada Tuan Leonel dengan kedua tangan, dan aku langsung berlari kencang menuju mansion sebelah kiri, melewati lorong demi lorong yang panjang menuju kamar Darren, benar, kamar Darren adalah pilihan terbaik agar aku selamat, Tuan Leonel tidak akan berani melakukan apapun padaku jika aku di sana.
Aku sampai di ruang tengah bernuansa putih gading, menoleh ke belakang memastikan apakah Tuan Leonel mengikuti, tidak, dia tidak ada, kulanjutkan langkah kakiku berlari menaiki tangga berkarpet mewah warna gold, masuk ke dalam kamar Darren, menutupnya rapat dari dalam.
Aku kembali terengah, dada sesak, perut melilit sakit, keringat bercucuran, jantung berdegup tidak normal, sialan, Tuan Leonel sukses membuatku kerepotan. Tapi aku bernafas lega, setidaknya sekarang aku sudah berada di kamar Darren, aku aman.
Kulihat anak laki-laki kecil yang sangat tampan itu, terlelap dalam mimpinya yang indah.
Aku melangkah mendekatinya, membenarkan selimut yang sedikit berantakan.
"Kau pasti sangat sedih dengan keadaanmu seperti ini, Darren. Kau pasti ingin menjalani hidupmu dengan normal di luar sana seperti anak-anak yang lain. Kau pasti ingin berjalan, berlari, bermain bola, kejar-kejaran, kau pasti sangat bosan, selama ini hanya terkurung dalam istana mewah ini, namun kau tak dapat melakukan apapun selain hanya diam menuruti semua perintah ayahmu,"
Melow, melihat wajah lugu nan polos itu yang tenang dalam lelap, andai ada yang bisa kulakukan untuk membuatmu merasa senang, aku pasti akan melakukannya.
"Kenapa ayahmu tak memberikan kehidupan bebas di luar sana untukmu? Kenapa Tuan Leonel justru menahanmu? Menyembunyikanmu dari dunia? Kenapa dia tidak mengizinkanmu bermain bersama teman sebayamu? Apa dia tidak mengerti bagaimana perasaanmu selama ini? Kasihan sekali," kuhela nafas kasar.
"Aku akan mengajakmu jalan-jalan besok agar kau senang, aku janji," kukecup tulus kening Darren, hatiku menghangat kala melakukannya. Aku menyayangi anak ini, anak dari pria yang membuat hidupku penuh dengan masalah. Ralat, membantuku menyelesaikan masalah namun dengan mengganti masalah yang baru untukku.
Kuletakkan tas punggungku yang mengalung di bahu kiri, di lantai dekat nakas, kemudian aku duduk di lantai dekat ranjang Darren, menjatuhkan kepala di ranjangnya berdekatan dengan tubuh Darren.
Kuelus tangan kecil yang sangat putih pucat, halus, lembut seperti kulit bayi, kukecup beberapa kali punggung tangan mungil itu. Tersenyum membayangkan andai Darren bisa berjalan. Andai ia bisa berlari dengan kedua kakinya sendiri.
Aku mulai menguap, rasa kantuk yang membuat kedua mataku terasa sangat berat mulai mendera, perlahan mataku terpejam dan aku tertidur.
***
Kurasakan hangat bias mentari pagi menerpa wajahku, dan kucium aroma harum, lembut nan wangi memenuhi penciumanku.
Lamat-lamat kedua mataku mulai terbuka, sipit, melihat semburat mentari pagi yang cerah nan indah dari kaca jendela yang terbuka.
Tirai-tirai kain sutra berwarna putih yang menjuntai ke lantai itu bergerak meliyuk perlahan oleh hembusan angin.
Kuhirup dalam aroma pagi yang sangat menenangkan memenuhi rongga paru-paru.
"Aaahh,,,," mengembuskan nafas lega usai menghirup dalam udara segar.
"Apa aku di surga?" cicitku tak sepenuhnya sadar, yah, bodohnya aku yang merasa tengah berada di alam mimpi.
"Kau ingin merasakan surga? Kita bisa menciptakan surga dunia bersama jika kau mau,"
DEG
Kedua mataku membulat sempurna, bangun dari pikiran yang sadar setengah.
Aku terkejut mendapati diriku sendiri, yang tengah berbaring di atas ranjang empuk berukuran king size dengan sprei putih bersih.
Sebuah tangan kekar berurat melingkar di pinggangku hingga bagian perut depan.
"Selamat pagi, Nona ranjangku?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
mama yuhu
kau tidak lelah kah... berlari teruss ree🙄🙄
2022-08-04
1
mama yuhu
kau tidak dakek kah.. berlari terusss ree🙄🙄
2022-08-04
0
Diii
ga bisa romantis ya tuan ini....ngomong yg halus gitu
2022-08-01
0