"Selamat pagi, Nona ranjangku?"
Sontak aku menoleh ke belakang, mendapati wajah tampan berjambang tipis dihiasi senyuman manis semanis gula-tanpa pemanis buatan-menatapku dalam dengan sorot matanya yang teduh penuh arti.
Tunggu, jangan tergoda, dia adalah manusia dengan seribu wajah, seribu karakter, dan juga seribu misteri, kutendang perutnya dengan kaki, hingga wajah yang berbinar itu seketika mengernyit menahan sakit. Senyum manis yang mengembang pun berganti dengan eraman mulutnya yang tertahan.
"What the f.u.c.k!" umpatnya.
Benarkan? Dia itu manusia bunglon, sebentar bercahaya seperti malaikat, sebentar lagi bengis seperti iblis baru turun dari neraka.
Aku melompat turun dari ranjang, mengepalkan kedua tangan, membuat kuda-kuda pertahanan, siap melawan jika sampai Tuan Leonel akan melakukan sesuatu.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Tuan Leonel yang masih memegangi perutnya dengan dahi mengernyit tipis, menatapku tajam seperti anjir sheppard yang hendak menyerangku semalam.
"Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan? Kenapa aku di sini? Dan kenapa kau memelukku? Dasar maniak! Monster ranjang, penjahat kel_"
"Ada apa?" suara kecil melengking itu menghentikan ocehanku yang bar-bar.
Dari belakang punggung Tuan Leonel, nampak Darren yang datang, ia duduk di kursi roda, Sisil mendorongnya. Gadis itu sudah sembuh.
"Retania? Kau kenapa? Kenapa berteriak?" tanya Darren menampakkan wajah polosnya yang imut menggemaskan.
Segera kuturunkan kedua tanganku yang mengepal, berdehem pelan, membenahi diri.
"Kau sudah bangun?" aku berjalan melewati Tuan Leonel mendekati Darren, duduk berjongkok di lantai menghadapnya.
"Selamat pagi," ucap Darren sopan.
"Selamat pagi, tampan. Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Apa kau mimpi indah?"
"Aku tidak bermimpi, tapi tidurku nyenyak, hanya saja, tanganku sangat pegal, kepalamu sangat berat,"
"Apa?"
"Iya, kenapa kau tidak pulang semalam? Apa kau takut karena sudah petang? Kau sampai tidur duduk di lantai kamarku, berbantalkan tanganku yang kecil, sampai kurasakan sakit yang sangat, Sisil, apa namanya?"
"Kebas, Tuan Muda," jawab Sisil.
"Iya, kebas."
Aku merasa bersalah setelah mendengar penjelasan dari Darren.
Tuan Leonel duduk di tepian ranjang, dengan gaya duduknya yang anggun seperti biasa, kaki kirinya yang panjang ia silangkan di atas kaki kanan, dan kedua tangan bersedekap sedada, mendengarkan kami yang bicara.
"Maaf," lirihku menyesal.
Darren menggeleng beberapa kali.
"Tidak apa-apa, aku merasa pegal karena tanganku masih kecil. Nanti saat aku tumbuh besar, seperti Daddy, kau boleh tidur berbantalkan tanganku sepuasmu, aku tidak akan kesakitan jika nanti sudah besar, benar kan, Daddy?"
Kulirik Tuan Leonel yang mengangguk membenarkan sambil tersenyum.
"Jadi, kau semalam terbangun karena tanganmu yang pegal oleh kepalaku?"
Darren mengangguk sambil bergumam.
"E em."
"Lalu, bagaimana aku bisa ada di sini? Kenapa aku tidak tidur di kamarmu?"
"Karena aku memanggil Daddy, dia datang, mengangkat tubuhmu keluar dari kamarku, setelah itu aku tidur lagi,"
Aku menoleh pada Tuan Leonel yang sama sekali tak melirikku, hanya menatap teduh putranya sambil terus mengembangkan senyum.
Jadi, dia membawaku pindah kamar atas permintaan Darren. Aku terenyuh oleh sikap manis bocah 6 tahun.
"Tapi aku sangat senang, Retania. Kau ternyata tidak pergi meninggalkanku, terimakasih sudah menemaniku!" ujar Darren sangat sopan. Aku mengangguk, memeluknya tulus penuh cinta.
***
Mandi pagi di kamar mandi semewah ini adalah healing terbaik untuk mengawali hari, bahkan kamar mandi ini jauh lebih mewah dari kamarku, designe elegan sangat terasa kental, dan aku suka semua warna yang bernuansa putih bersih ini.
Usai mandi aku mengeringkan rambut menggunakan hair dryer, cukup lama aku tak mengenakan alat ini, karena punyaku di rumah rusak dan aku belum beli lagi, setiap hari hanya menggulung rambutku dengan handuk untuk mengeringkannya. Dan saat ini aku mengenakan bathrobe bersih yang tersedia banyak di lemari bathrobe. Semua yang ada di mansion Tuan Leonel benar-benar wah dan mewah.
Nyonya Lorena masuk ke dalam kamar yang kutempati, kamar indah bernuansa putih bersih yang terletak tak jauh dari kamar Darren, masih satu lantai, pintu yang saling berhadapan, terpisahkan jarak sepanjang ruang tengah yang dominan dengan warna putih gading mewah di bawah sana.
Nyonya Lorena datang bersama beberapa pelayan yang membawakanku baju ganti di atas nampan emas di tangan mereka.
Celana dan kemeja merk LV, tas, ikat rambut, sabuk, bermerk Hermes, serta sepatu merk Diomand Shoes, juga sebuah jam tangan Chopard 201, sebuah jam tangan yang bertatahkan sekelompok berlian berwarna-warni, termasuk berlian merah muda 15 karat, berlian biru 12 karat, dan berlian putih 11 karat, yang jika tak salah, pernah kubaca di laman berita fashion itu seharga 25 juta US Dollar.
Aku melongo melihat semua barang branded yang kini ada di hadapanku.
"Tuan Dankar dan tuan muda menunggu anda di meja makan mansion utama, sarapan sebentar lagi, silahkan ganti baju, para pelayan akan membantu, lalu mengantar anda ke meja makan," jelas Nyonya Lorena bersikap sopan, setidaknya, ia mencoba melakukan itu, karena masih jelas terlihat jika dia tak menyukaiku. Tentu saja, kesan pertamanya saat bertemu denganku adalah, aku yang menyerahkan diri pada Tuan Leonel seperti seorang ja.lang.
Tunggu, membantu? Para pelayan? Ganti baju?
"Ah,,,, aku,,,, aku bisa ganti baju sendiri, kalian tunggu saja di luar." kuambil celana dan kemeja branded itu, mengabaikan barang yang lainnya, aku tidak perlu, atau sebenarnya sungkan, dengan semua barang itu yang harganya mampu membeli harga diriku, dan aku tak akan berhutang apa pun lagi pada Tuan Leonel, bahkan baju ganti ini akan aku cuci dan kukembalikan lagi nanti.
"Nona," seorang pelayan memanggilku saat aku beranjak untuk pergi, aku berbalik.
"Pakaian dalam anda!"
_
Cengoh.
***
Aku duduk di kursi mewah berukiran naga berwarna gold, di sebelah kiri Tuan Leonel, dan Darren berhadapan denganku, berbatas jarak meja yang panjang, super panjang, dia di sebelah kanan ayahnya.
Di atas meja makan sudah tertata rapi berbagai macam menu makanan, beberapa masih mengepulkan asap, pertanda masih panas.
"Aku sangat senang kau menginap, Re. Rumahku jadi ramai," ujar Darren polos.
Aku mengerti, bocah kecil itu pasti kesepian selama ini, di rumahnya ada begitu banyak orang, namun semua memperlakukannya sebagai tuan muda, bukan layaknya anak-anak yang membutuhkan teman dan perhatian.
"Aku juga senang, kau memiliki rumah yang sangat besar, nyaman, ini adalah istana impian, kau sangat beruntung, Darren, aku sedikit iri padamu, kau tahu? Harga sendok di rumahmu ini jauh lebih mahal dari harga tivi di rumahku," kuangkat sendok, menggoyangkannya pelan memperagakan.
Darren tertawa ringan mendengar celotehku, mungkin ia menganggap apa yang kukatakan hanyalah candaan, padahal memang itulah kenyataannya.
"Kalau kau datang ke rumahku, mungkin kau akan merasa pengap dan panas di sana, kau pasti tidak betah, aku sangat yakin, baru masuk tak sampai duduk pun kau pasti sudah nangis minta pulang."
"Aku tidak begitu!" sahut Darren tak terima.
"Tapi,,,, apa aku boleh ke rumahmu?" Darren terlihat antusias.
"Kau mau?"
"Tentu!"
"Kalau begitu minta izin Daddymu, jika dia memperbolehkanmu pergi ke rumahku, maka aku akan mengajakmu, dan aku akan mempertemukanmu dengan Meta,"
"Meta?"
Darren mengernyit.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Mesri Simarmata
aduh terlalu nominalnya itu. sudah ribuan triliun tuh klo di rupiah kan. ngaco akh
2022-08-27
0
mama yuhu
kuciang 😁☺
2022-08-04
2
Asri Nila Wati
bgus alur critanya lnjutbusqu
2022-07-30
0