"Kenapa kau selalu mengancamku, Tuan? Apa sebenarnya masalahmu? Aku yang bekerja, aku yang lelah, dan aku tak mengganggu dirimu, lantas kenapa kau yang repot memintaku berhenti bekerja dengan alasan ini dan itu? Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
"TUBUHMU!"
DEG
"Nona!" lanjutnya tenang.
Aku mematung terdiam. Satu kata yang Tuan Leonel ucapkan sangat melukai hatiku. Ia hanya menginginkanku karena tubuhku.
"Aku membutuhkanmu, sebagai mainan ranjangku, dan aku tidak suka mainanku disentuh orang lain,"
Nyeri, di dalam sini, sangat.
Buliran-buliran bening itu menggenang memenuhi pelupuk mata, berdesakan menuntut untuk segera kutumpahkan.
Kupalingkan muka ke arah kaca mobil membebaskan mereka luruh satu per satu membasahi pipi, sakit, hatiku sakit.
Segera kuusap wajahku kasar, aku tidak mau Tuan Leonel melihatku menangis, atau dia akan menertawakanku. Dan aku semakin terlihat lemah di depannya.
Mobil berhenti di tepi jalan depan halaman kampus.
"Terimakasih," ucapku cepat tanpa menoleh lagi pada Tuan Leonel. Segera turun dari mobil dan berhambur pergi, lari. Memasuki kampus.
***
Kujalani kegiatan di kampus dengan pikiran yang sedikit kacau, terganggu oleh lontaran kalimat Tuan Leonel tentang tubuhku, mainan ranjangnya.
Ngilu di dalam sini masih terasa sama, ini bukan hanya tentang harga diriku, tapi ini tentang rasa kecewa, kecewa? Entahlah, aku hanya ingin menangis karena ucapannya.
"Iya, kami akan makan siang bersama nanti,"
Suara seorang perempuan yang memasuki toilet menarik perhatianku, aku tengah berada di dalam bilik toilet saat ini, bukan sedang melakukan sesuatu, hanya duduk di atas kloset yang tertutup sekedar ingin menenangkan diri. Diam. Dengan air mata yang sesekali masih berlinang.
"Apa kalian sudah resmi? Jadian?" tanya perempuan lain yang bersama dengannya.
"He em, satu bulan yang lalu,"
Aku semakin menajamkan pendengaran menguping pembicaraan mereka, aku mengenal jelas suara perempuan yang mengaku telah jadian semenjak satu bulan yang lalu, itu suara Pricsilla.
"Kalian akan makan siang di mana?"
"Hanya di restoran dekat apartemenku, kurasa, kebersamaan kami akan berlanjut sampai nanti malam, dan mungkin dia akan menginap,"
"Sungguh?"
Jantungku berdegup kencang mendengar obrolan mereka, apakah mereka tengah membicarakan Erick? Kuharap tidak. Please, jangan, sudah terlalu banyak masalah menderaku akhir-akhir ini. Jika benar-benar harus menerima satu lagi masalah tentang pengkhianatan, pasti deritaku benar-benar sempurna sudah.
"Sssuut,,,, diam, jangan keras-keras, kami kan masih belum go publik," dengkus Pricsilla pada temannya.
Tawa kedua perempuan itu menggema memenuhi toilet, setelah itu suasana kembali hening, mungkin mereka telah pergi.
"Makan siang? Restoran dekat apartemen Pricsilla?" gumamku dalam hati. Aku harus pergi. Membuktikan sendiri kecurigaanku, benar, atau salah.
Kuusap wajah karena sisa air mata dengan kasar, membuka ponsel yang ada di genggaman, menggulir layar pada laman pesan. Ada beberapa pesan masuk yang belum kubaca, tak sadar karena aku terlalu fokus menggalaukan omongan Tuan Leonel.
Erick
"Aku ingin kita break, hanya sementara waktu, sampai kau yakin bahwa kau benar-benar mencintaiku, atau tidak."
Kedua mataku sontak membulat membaca pesan dari Erick yang ia kirim 30 menit yang lalu.
Break?
^^^"Apa maksudmu? Kau memutuskanku?"^^^
Kukirim pesan balasan yang hanya centang satu, sial, bahkan profil Erick kosong, apa dia memblokir nomorku? Kenapa? Apa salahku?
Hatiku tidak tenang, ingin segera bertemu dengan Erick menanyakan maksud serta apa alasannya meminta break?
Kutekan panel memanggil, tidak terhubung, nomorku benar-benar telah diblokir.
Kulihat pesan lain yang kuterima dan belum sempat kubaca.
Tn. Leonel
Hanya sebuah gambar, foto dirinya yang tengah menemani Darren bermain robot-robotan.
Aku mencebik, apa maksudnya? Kurang kerjaan. Kuabaikan pesan Tuan Leonel itu tanpa berniat membalasnya. Aku masih sakit hati pada Tuan Leonel atas ucapannya pagi tadi saat di mobil. Dan aku juga tengah banyak pikiran karena Erick saat ini.
Kubuka pintu Toilet, lari keluar, aku harus segera bertemu dengan Erick.
***
Bus tingkat merah yang kutunggu belum juga ada yang datang, berdiri di halte kala musim panas memang sangat menyebalkan, panas, debu, polusi.
Hingga kulihat seseorang yang menaiki motor butut Piaggio 471 warna kuning menghampiriku. Lengkap dengan helm bogonya yang lucu.
"Mau ke mana?"
Bass, aku sangat senang, dia datang sebagai penyelamatku hari ini.
***
Aku meminta Bass untuk mengantarku ke rumah Erick, dan tentu saja dia mau.
Kami terus mengobrol saat di jalan, tak jarang aku yang hanya bisa menjawab hah heh hah heh karena tak bisa mendengar dengan jelas apa yang Bass katakan.
Skip.
Rumah Erick sepi, asisten yang menjaga mengatakan jika Erick baru saja keluar, sekitar 10 menit yang lalu. Apa mungkin dia bertemu dengan Pricsilla di restoran dekat apartemen yang Pricsilla sebutkan tadi?
Lekas kutarik tangan Bass untuk berpindah tempat, mengantarku menuju sekitaran apartemen Pricsilla, entah di restoran mana, menurut maps, di sekitar sana ada tiga restoran berbeda, dan aku harus memeriksa satu persatu.
"Sebenarnya ada apa? Kalian bertengkar?" tanya Bass mengulang dua kali, karena pertanyaan pertamanya kusahuti, hah?
"Tidak, kami tidak bertengkar!" jawabku sambil berteriak.
Bass semaksimal mungkin melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, meski tetap saja, satu dua kendaraan lain di jalan melaju melewati kami lebih cepat.
"Erick meminta break tanpa alasan, aku harus tahu apa alasannya, kenapa dia meminta break secara sepihak? Dan bahkan ia telah memblokir nomorku!" teriakku dalam sekali yang langsung bisa di dengar Bass tanpa harus mengulang.
"Pria akan meminta break pada pasangannya ketika dia mulai merasa bosan, atau ada wanita yang lain,"
"Hah? Apa?"
***
Aku dan Bass memasuki restoran pertama, sangat ramai, ini saatnya jam makan siang, sedang membludaknya tempat makan oleh para pelanggan.
"Kau cari ke sebelah sana, aku yang akan cari ke sebelah sini," Bass memberi instruksi.
"He em," kami mulai bergerak, menyusuri tempat restoran yang terbilang luas, di sekitaran sini adalah Kasawan hunian orang-orang yang lumayan elite.
Beberapa pelayan yang berpapasan menanyakan kebutuhanku dengan sopan, apa butuh meja? Pesan makanan atau apa, dan kujawab ramah sedang mencari teman.
"Bagaimana?" aku dan Bass bertemu di titik utama depan pintu kaca keluar masuk.
Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Bass.
Ia lekas menggandengku keluar dari restoran pertama, menuju restoran tujuan yang kedua. Sama seperti tadi, kami membagi tugas, dan hasilnya nihil, sampai pada restoran ketiga. Tak kami temukan Erick maupun Pricsilla.
Aku mulai lelah, lagi-lagi rasanya ingin menangis, kenapa Erick tega?
Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 3 sore, sepertinya kami banyak menghabiskan waktu untuk mencari di restoran dan mengukur jalan, apa acara makan siang Pricsilla telah usai?
"Kau tahu apartemen temanmu, itu?" tanya Bass saat kami sudah berada di area parkir restoran ke tiga.
"Tahu,"
"Kita ke sana," Bass mengulurkan helm bogo padaku, dan langsung kuterima.
Kami kembali melaju menaiki motor antik Bass menuju apartemen Pricsilla, membelah jalan kota London yang cukup panas.
***
Hatiku berdebar dengan degup jantung yang kencang, mengangkat tangan bersiap menekan tombol bel pintu apartemen Pricsilla, hingga Bass menahanku.
"Tunggu, kau, ke sana," tunjuk Bass ke arah ujung.
"Biar aku yang menekan bel pintu,"
Aku menurut, jika Pricsilla tahu aku yang datang, mungkin dia akan enggan membukakan pintu, mungkin. Jika dia memang ada di rumah.
Bass menekan bel pintu, menunggu beberapa saat, belum ada yang membukakannya, kemudian menekan lagi dan kali ini pintu langsung terbuka.
"Yeah?" Pricsilla. Itu suara Pricsilla.
"Maaf, apa ada Tuan Erick datang ke mari? Ada pesan yang harus saya sampaikan,"
"Dia mengatakan padamu, jika dia datang ke mari?" tanya Pricsilla menyelidik, aku yang mendengar obrolan mereka dari balik dinding mendengarkan dengan seksama. Apa itu artinya Erick tidak datang.
"Yah," jawab Bass sopan.
"Keterlaluan, dia bilang hubungan kami harus dirahasiakan, kenapa memberi tahu orang lain," gerutu Pricsilla membuatku semakin gugup. Apa itu artinya Erick memang ada di dalam sana?
"Tunggu sebentar, biar aku panggilkan," lanjut Pricsilla.
Kakiku mulai terasa lemas, tubuhku gemetaran, benarkah Erick dan Pricsilla?
Beberapa waktu kemudian, Pricsilla datang.
"Iya?" seru suara yang tak ingin aku dengar, Erick. Itu dia.
Bass yang tadinya menunggu sambil berdiri memunggungi pintu apartemen, berbalik dan mereka semua berhadapan.
"Bass?" lirih Erick penuh tanya.
Aku segera mendekat, menunjukkan diri, dan nampak jelas raut muka Erick yang terkejut atas kehadiranku.
"Kau bajingan, Erick," kudorong bahu Erick secara kasar, dan dia hanya diam, menunduk merasa bersalah.
Kutatap bengis Pricsilla yang menatapku tidak suka, memeluk lengan Erick dari belakang.
Air mataku menetes, hati yang sudah berkali-kali patah ini tetap sakit saat lagi-lagi harus terluka.
***
Kenapa selalu ada pengkhianatan dalam sebuah hubungan? Jika sudah tidak suka, katakan saja yang sebenarnya, kenapa harus menjalin hubungan lain sebelum menyelesaikan hubungan yang lama? Tidakkah mereka dapat berpikir jika hati yang terluka ini akan menyisakan trauma? Satu orang yang membuat hati patah, namun hati ini mati rasanya pada siapapun nantinya yang akan menjamah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Nurjayani Yani
pasti selingkuhannya erick, prisil
2022-08-09
0
mama yuhu
gak masalah juga eee.. kau kan masih ragu dgn perasaamu pd erick
2022-08-04
1
Sweet Girl
kepergok khan Ric....
2022-07-28
0