"Emilio?"
Segera kubuka pintu mobil dan keluar.
"DUGH!" Erick jatuh tersungkur ke jalan beraspal. Ia yang memulai melayangkan sebuah pukulan namun dengan cekatan Emilio menangkis bahkan mencengkeram tangan Erick, menariknya kasar kemudian menendang perut Erick.
"Aaahhh,,,," Erick mengernyit kesakitan, memegangi perutnya yang barusan ditendang Emilio.
Emilio hendak kembali menyerang, namun aku segera melerai mereka.
"Hentikan! Kumohon hentikan."
Emilio terus menatap Erick dengan tatapan dingin yang sangat tenang, tanpa mengeluarkan sepatah katapun, seperti biasanya, diam tak memberi tanggapan, bergerak membuat tumbang lawan. Ia benar-benar menyeramkan.
"Erick?" aku menghampiri Erick, duduk berjongkok di hadapannya, membantunya berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku khawatir.
"Apa masalahmu? Kenapa kau menabrak mobilku?" teriak Erick marah, masih mengernyit menahan sakit sambil memegang perut.
Tak ada tanggapan, Emilio hanya diam berdiri mematung tanpa pergerakan, juga tanpa suara barang selirih pun.
"Erick, sudah, ayo kita pergi." kutuntun Erick untuk kembali masuk ke dalam mobil, dan dia menurut, sepertinya tendangan yang dilayangkan Emilio ke perutnya benar-benar keras, hingga Erick tak berniat untuk melayangkan pukulan balasan, dahi Erick berkeringat, pasti sangat sakit.
Kubantu Erick duduk di jok kemudi, setelah menutup pintu, aku berlari berputar mengitari mobil, sebelum aku membuka pintu, kulirik mobil Tuan Leonel, dalam cahaya keremangan, kulihat pria penuh kuasa itu yang menatapku tajam dari dalam mobilnya, duduk dengan tenang, anggun penuh kharisma, seperti biasa.
Aku memutus tatapan mata kami, membuka pintu dan masuk ke dalam, duduk di jok sebelah Erick, mobil melaju meninggalkan tempat kejadian perkara.
***
"Kau pulang?"
Aku berpapasan dengan Kak Rachel saat masuk ke dalam rumah.
"Selamat malam," seruku malas, mungkin karena lelah, atau entahlah, mungkin juga karena kejadian barusan.
"Ada apa?" tanya Kak Rachel yang tengah membuat bingkisan parcel pesanan orang, ia berdiri, aku memeluknya erat, butuh sandaran.
"Aku lelah," lirihku bermanja.
Kak Rachel mengelus punggungku, kami melepas pelukan, senyum manisnya mengembang.
"Minta libur, istirahat di rumah dengan cukup,"
Aku mengangguk menanggapi.
"Kak Harry belum pulang?" tanyaku.
"Sudah tadi sore, tapi berangkat lagi, dia mendapat pekerjaan baru, menangani sebuah proyek, tapi jaraknya jauh, di luar kota," jawab Kak Rachel bernada sesal.
Aku mengangguk menanggapi. Kemudian melangkah.
"Aku masuk kamar," ucapku seraya meninggalkan Kak Rachel.
"Kau sudah makan?" teriak Kak Rachel bertanya.
"He em, Kakak tidurlah, lanjutkan besok pekerjaannya, jangan terlalu capek!" teriakku dari dalam kamar.
Terdengar Kak Rachel yang berteriak menyahuti, entah mengatakan apa, aku tak dapat mendengarnya dengan jelas.
Aku menjatuhkan diri di atas ranjang, tengkurap, melepas sepatu dengan kaki, benar-benar lelah, seakan tenagaku terkuras habis dan aku sangat lemah.
Mataku mulai terpejam, sangat berat, aku tak ingin mandi, hanya ingin langsung tidur. Masuk ke alam mimpi. Namun denting ponsel tanda pesan masuk membuyarkanku yang hampir lelap.
Tn.Leonel
"Putuskan berandal sialan itu,"
Sontak kedua mataku membulat, pesan yang dikirim Tuan Leonel sangat? Aneh?
^^^"Apa maksud anda?"^^^
"Kekasihmu itu, berandal sialan."
^^^"Jangan ikut campur, itu urusan saya,"^^^
"Kau akan menyesal, dia bukan pria baik,"
^^^"Siapa anda sehingga bisa mengatakan jika Erick bukan pria yang baik? Aku mengenalnya sudah lama, dia mencintaiku, dan aku pun mencintainya,"^^^
"Dia mengkhianatimu,"
Dahiku mengernyit, dari mana Tuan Leonel mengetahui jika Erick mengkhianatiku?
^^^"Aku sendiri yang akan memutuskan apakah dia mengkhianatiku, atau tidak."^^^
"Kau sangat keras kepala,"
^^^"Memang,"^^^
^^^"Lagi pula apa masalah anda? Anda sendiri juga bukan pria yang baik, anda bahkan tega merenggut kehormatan seorang gadis yang tengah putus asa."^^^
Kuhapus kembali pesan terakhir yang kukirim dengan cepat, tapi sayang, centang dua tadi langsung berwarna biru tanpa sempat berwarna abu-abu, bodoh, kenapa aku membahas hal itu, aku sendiri yang datang menyerahkan diri. Dan Tuan Leonel sudah membantuku.
Tak ada balasan, tulisan online di bawah nama Tuan Leonel telah berubah menjadi terakhir di lihat.
Kuletakkan ponsel di dekat bantal, kembali terbayang kejadian dua tahun lalu, di mana aku mendatangi mansion Tuan Leonel sambil berlari menembus dinginnya malam untuk meminta pertolongan. Itu adalah malam yang sangat mengerikan.
"Lupakan, lupakan Retania, kenapa kau terus mengingat malam kelam itu? Tidur, iya, tidur, aku butuh tidur, tidur saja, selamat malam." ucapku pada diri sendiri.
***
"Kau tetap masuk kuliah? Bukankah kita sudah membicarakannya semalam? Kau butuh istirahat," Kak Rachel menggerutu sejak pagi tadi, karena aku tetap bersiap akan keluar, menjalani rutinitas hari-hariku yang padat dan melelahkan.
"Lain kali, Kak. Aku harus masuk kuliah sekarang, dalam semester ini aku sudah bolos beberapa kali, jika nilaiku sampai buruk, aku bisa kehilangan bea siswa,"
Terdengar helaan nafas kasar dari Kak Rachel.
"Maafkan Kakak, andai dulu Kakak_"
"Sssuutt,,,, aku mencintaimu," kucium pipi Kak Rachel bergantian kiri dan kanan, kemudian meraih tas punggung mengalungkannya di lengan kiri.
Aku tahu apa yang akan Kak Rachel katakan, dia pasti menyalahkan diri sendiri karena sakit kanker hati, hingga tabungan peninggalan ayah habis untuk biaya pengobatannya.
Aku tak menyesal, sungguh, aku sangat mencintai Kak Rachel dan rela mengorbankan apa saja demi dirinya. Termasuk harga diriku.
"Aku berangkat!" teriakku sambil berlari, meraih sepotong sandwich di atas piring yang akan aku makan di jalan.
"Hari-hati," seru Kak Rachel.
"Yes, Madam!"
Aku melangkah keluar dari rumah, menutup pintu kembali, menuruni anak tangga depan rumah kami, kemudian berjalan cepat melewati trotoar menuju halte bus. Kuliah pagi.
Aku terus mengunyah, menggigit sandwich yang tadi kubawa, makan disepanjang jalan. Hingga kulihat dari arah depan sana sebuah mobil hitam mewah mengkilap yang sudah sangat kukenal.
Tuan Leonel.
***
"Butuh tumpangan, Nona?"
Kuputar bola mata malas, gayanya sama, tapi nanti juga pasti berubah, sepertinya selain manusia dengan seribu karakter, julukan bunglon juga pantas diterimanya.
"Brak," pintu kututup, aku sudah duduk di jok belakang samping Tuan Leonel. Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota London yang padat lancar, dengan kendaran lain yang saling kebut-kebutan. Semua orang sibuk dan gugup di pagi hari.
"Kuliah pagi?" tanya Tuan Leonel.
"Hem," aku hanya bergumam karena mulutku penuh dengan makanan.
"Pulang kuliah langsung ke rumah, Darren sudah menunggumu,"
Aku tersedak, mendengar nama si pangeran kecil yang tampan, aku merindukan bocah itu, padahal baru sehari tak bertemu.
Tuan Leonel mengulurkan sebotol minuman yang ia dapat dari Emilio, aku menerimanya dan lekas meminumnya.
"Terimakasih," seruku sambil mengembalikan botol minuman ke tangan Taun Leonel. Ia melempar botol minuman itu ke depan sembarangan, mendarat di jok depan sebelah Emilio.
Aku terperangah, dengan mata melebar dan mulut menganga, melihat tingkahnya yang Kunilai, bertindak sesukanya.
"Tutup mulutmu itu atau aku akan membungkamnya dengan bibirku,"
Deg.
Kedua bibirku segera berkatup, menutup rapat. Mengalihkan pandangan ke depan. Mencoba kembali tenang.
"Bagaimana ciumannya? Apa dia menciummu lebih baik dariku?"
Sontak aku kembali menoleh menatap Tuan Leonel yang masih dengan gaya sama saat ia naik mobil, duduk anggun dengan kaki kiri yang ia silangkan di atas kaki kanan, namun kali ini, kedua tangannya mengatup di lutut, bersandar nyaman pada punggung jok. Menatap datar lurus ke depan.
"Aku tidak membicarakan hal pribadi, Tuan," ketusku kesal, ia ternyata melihat Erick yang menciumku semalam di mobil, apa itu yang menjadi alasannya dia menabrak mobil Erick dari belakang? Kenapa?
Sebuah senyum remeh tersungging di bibirnya, tak lagi memberi komentar tapi senyum remeh itu mampu membuatku merasa geram.
"Ada yang ingin aku katakan," ucapku berani. Ia tak menanggapi tapi aku tahu ia menungguku melanjutkan bicara.
"Aku tidak bisa resigne dari cafe, apa pun yang akan anda lakukan, aku tetap akan bekerja di cafe."
"Kau ingin melawan? Merindukan hukuman?"
"Kenapa kau selalu mengancamku, Tuan? Apa sebenarnya masalahmu? Aku yang bekerja, aku yang lelah, dan aku tak mengganggu dirimu, lantas kenapa kau yang repot memintaku berhenti bekerja dengan alasan ini dan itu? Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
"TUBUHMU!"
DEG
"Nona!" lanjutnya lebih tenang.
Aku mematung terdiam. Satu kata yang Tuan Leonel ucapkan sangat melukai hatiku. Ia hanya menginginkanku karena tubuhku.
"Aku membutuhkanmu, sebagai mainan ranjangku, dan aku tidak suka mainanku disentuh orang lain,"
Nyeri, di dalam sini, sangat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
ida fitri
duh tuan leonel masih penasaran aja sama tubuh retania ketagian ya😄😄😄😄
2022-08-09
0
Ilyoen Hajar Siti
i like this novel
2022-08-05
0
mama yuhu
kenapa nyeri?
kamu juga yg menyodorkan diri kok
2022-08-04
1