"Siapa kau?" tanya anak laki-laki kecil itu.
"Darren?"
"Iya, aku!"
Aku melangkah memasuki kamar Darren dengan mengulas senyum semanis mungkin untuk menunjukkan kesan baik dalam pertemuan pertama kami.
"Nona?" suster itu bertanya. Ia berdiri menghadapku.
"Saya Retania, guru baru Tuan Muda,"
"Guru?" seru Darren dengan suara cemprengnya yang melengking, khas anak kecil. Jika dilihat dari badannya, mungkin ia berusia 6 atau 7 tahun.
Darren menatapku dengan sorot mata menelisik padaku dari ujung kaki sampai ujung kepala, seolah mencari salah atau pun celah dari diriku.
"Kau tidak terlihat seperti seorang guru, apa kau mau menipu?" anak ini, mulutnya lumayan tajam di usianya yang masih sangat kecil. Mau heran, tapi anak ben. ih Tuan Leonel.
Aku melihat penampilan diriku sendiri, mulai dari sepatu kets, celana jeans, dengan kaos putih lengan pendek, dan tas punggung warna hitam yang kukalungkan di lengan sebelah kiri, memang tak meyakinkan berprofesi sebagai seorang guru dengan penampilan seperti ini.
"Aku masih kuliah, belum lulus, tapi aku bisa mengajarimu," aku duduk berjongkok di depannya, menggantikan posisi suster yang meletakkan obat dan gelas di atas nakas.
Darren memicingkan matanya, menatapku tajam, manik hitam bulat itu mengingatkanku dengan mata Tuan Leonel, persis.
"Kau seorang siswa?" tanya Darren.
Aku menggeleng.
"Bukan, mahasiswa."
"Apa itu?"
"Ehm,,,, yah,,,, aku masih belajar, sama seperti seorang siswa, tapi satu tingkat lebih tinggi," kuperagakan tangan kananku yang terangkat sedikit lebih tinggi dari tangan kiriku.
"Setinggi ini?" seru Darren mengangkat tangannya lebih tinggi.
"Iya, setinggi ini." kusejajari tangan Darren dengan mengangkat tanganku lebih tinggi.
"Setinggi ini?" seru Darren lagi berusaha mengangkat tangannya lebih tinggi, ia bahkan berjingkat berusaha berdiri, dan seketika wajahnya yang semula nampak ceria berubah muram.
Ia menurunkan tangannya cepat. Ada amarah yang tergambar di raut wajahnya, kecewa, sedih.
"Pergi, kau!" Darren tiba-tiba mendorongku. Aku yang tidak siap tersungkur ke belakang jatuh ke lantai. Menatap nanar anak kecil itu yang kuyakin kecewa dengan keadaan dirinya sendiri yang lumpuh.
"Sisil?" teriak Darren memanggil nama suster, wanita muda itu langsung menghampiri Darren, mendorong kursi rodanya, membawa Darren menuju ranjang.
Aku terdiam untuk beberapa saat, mencoba mencerna yang terjadi, mencoba memahami apa yang dirasakan anak itu.
Aku berdehem pelan, berdiri, kemudian mendekat ke arahnya, suster yang bernama Sisil itu mengangkat tubuh Darren, mendudukkannya di tepi ranjang.
"Khem, kau sudah ingin tidur, Tuan Muda? Sesore ini? Ck, pria macam apa yang tidur di waktu sore, itu tidak gentle." ocehku mencoba menarik perhatiannya, duduk di sampingnya mengacuhkan tatapannya yang menatapku sinis.
"Siapa yang mau tidur? Memangnya orang yang beristirahat itu hanya tidur? Kau sedang apa di sini? Kehadiranmu tidak di terima di sini, cepat pergi!" ketus Darren mendorong bahuku, membuat tubuhku bergerak pelan, tenaganya tak cukup kuat untuk bisa menjatuhkanku kali ini karena aku sudah dalam posisi siap.
Aku menghela napas kasar, melepas sepatu kemudian naik ke atas ranjangnya, merebahkan tubuh di sampingnya.
"Ini sangat nyaman, ranjangmu sangat empuk," seruku mencari topik lain.
"Kau bicara apa? Semua ranjang sama saja,"
"Siapa bilang? Ranjangku tidak seempuk ini, kau tahu? Punggungku selalu sakit tiap kali aku bangun tidur. Bukan seperti milikmu ini, ini sangat nyaman, sepertinya aku akan betah jika tiduran di sini,"
"Berhenti bicara dan cepat pergi, kau ini sangat cerewet,"
"Dan kau sangat menggemaskan, rasanya aku ingin menggigit pipi apelmu itu,"
"Pipi apel?"
"Iya, merah dan bulat," gelak tawaku pecah melihat ekspresi kesal yang Darren tunjukkan, membuat anak laki-laki kecil itu benar-benar terlihat lucu.
"Jadi, kau tidak mau belajar?" tanyaku mulai ke topik utama.
"E em," kepala Darren menggeleng sambil mengarahkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan, menolak.
"Baiklah, aku juga malas, kau tahu? Aku terpaksa melakukan ini karena ancaman ayahmu, dia itu seperti monster saat marah, aku sangat takut dan terpaksa menuruti perintahnya, untuk datang mengajarimu,"
"Monster? Daddy?"
"Oh, kau memanggilnya Daddy? Yah, Daddymu seperti monster," aku berekspresi semenyeramkan mungkin yang aku bisa, mengangkat kedua tanganku memperagakan aku seperti monster besar.
Kini gelak tawa Darren yang menggema memenuhi seluruh sudut ruangan.
Kukeluarkan ponsel, memainkannya, membuka applikasi game online yang tersemat beberapa pelajaran dasar anak-anak.
Suara dari game tersebut sukses menarik perhatian Darren.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Darren penasaran, ia ikut merebahkan diri di sampingku, Sisil membantunya, meluruskan kedua kakinya, kemudian menyelimuti tubuhnya sampai batas perut.
"Bermain," jawabku santai, memainkan game di layar ponsel.
"Game? Ini seru!" suara Darren terdengar antusias, senyumku mengembang, umpanku dimakan.
"Kau boleh bermain game? Daddy melarangku mamainkan game, aku bosan setiap hari hanya disuruh belajar," keluh Darren sedih.
"Iissh iiisshh iisshh,,,, Daddymu itu benar-benar monster sialan, anak setampan dirimu dilarang main game, dan hanya disuruh belajar, benar-benar kejam,"
"Kalau begitu, pinjami aku ponselmu, aku juga ingin bermain game," tangan Darren hendak merebut ponselku, dan aku bergerak lebih cepat mengangkatnya sedikit menjauh.
"No, no, no, game ini sangat sulit, hanya bisa dimainkan oleh anak-anak pintar, sepertiku,"
"Benarkah?"
"Hem,,,, seperti ini, kau bisa mendapatkan samurai baru untuk melawan musuh, jika kau bisa menjawab pertanyaan yang diberikan."
"Sini, biar kumainkan, aku bisa menjawabnya!"
Kuberikan ponselku, pelajaran pertama dimulai dengan menyenangkan dan tanpa perlawanan.
Aku menggunakan metode ini dalam mengajari Darren matematika, sedikit belajar dan lebih banyak memainkan permainan, Darren terlihat sangat senang, tak hentinya ia tertawa saat memenangkan permainan, dan ia serius dalam menjawab setiap soal. Mendengarkan rumus yang kuajarkan. Penjumlahan dasar.
***
Dua jam berlalu.
"Kau harus pergi?"
"Iya, aku masih ada pekerjaan lain," jawabku sambil memakai sepatu.
"Bisakah kau tetap tinggal? Temani aku bermain sebentar lagi," suara Darren melemah.
"Besok aku akan datang, tapi sekarang, aku harus pergi,"
"Janji? Kau akan kembali?" binar mata hitam bulat itu membuatku tidak tega, Darren sangat menggemaskan.
"Janji, aku pasti akan datang kembali."
Aku berpamitan, Darren masih terus menatapku saat aku keluar dari kamarnya, kuulas senyum manis melihatnya dari pintu sebelum aku benar-benar melangkah pergi.
***
Suasana cafe mulai ramai oleh para pelanggan yang berdatangan, aku bergegas mengenakan seragam pelayan di ruang staf, sedikit terlambat karena tadi bus tingkat merah yang kutunggu tak kunjung datang.
Aku segera berlari ke pantry. Menemui Bass yang terlihat cemberut karena kesal.
"Sorry,,,," lirihku pelan pada Bass yang mencebikkan bibirnya, Senyumku mengembang, Bass tidak bisa marah padaku padahal kemarin aku sudah membuatnya dalam kesulitan, dan hari ini pun datang terlambat, dia pasti sangat kewalahan, harus mengerjakan semuanya sendirian.
Kuraih nampan yang sudah berisi kopi, untuk pelanggan yang berada di meja nomor delapan.
Aku berjalan keluar dari pantry, menuju meja pelanggan, lalu menyajikan pesanan mereka.
"Silahkan,"
"Terimakasih," kuulas senyum manis sebagai balasan ucapan terimakasihnya. Kemudian memutar badan.
"Aaahh?" teriakku kaget, melihat seseorang yang sudah berdiri tegap menjulang di hadapanku dengan sorot mata tajam seperti hunusan pedang.
Monster itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Imas Juniarti
mantap
2022-08-05
0
mama yuhu
kasian kau eeee.. masih muda tp d kejar terus dgn kebutuhan kakakmu.. semangat
2022-08-04
1
mama yuhu
re pintar membujuk makax Lionel suka dia mengajar anakx
2022-08-04
1